Hinduisme mengajarkan bahwa dunia dan semua di dalamnya adalah akibat niscaya dari tindakan niscaya dalam roh universal. Dunia begini, dan begini adanya, semata-mata karena keniscayaan fitrah Ilahi. Menyelidiki lebih jauh alasan hal-hal sama dengan bertanya mengapa pohon mangga menghasilkan mangga.
Gereja Kristus, sepanjang ia merealisasikan idealnya, adalah gereja agresif. Ia menemukan salah satu alasan utama eksistensinya dalam misi untuk mendakwahkan Warta Rahayu ke setiap makhluk. Oleh karenanya, ia pasti gereja proselitisasi, dan mengklaim memiliki dan mendorong kepada manusia bukan salah satu dari banyak agama yang benar, tapi satu dan satu-satunya keyakinan yang dari awal sampai akhir adalah doktrin Tuhan. Tapi jika ini memang misinya, jika ia dikirim untuk menyerang dan bertanding dengan sistem-sistem usang yang telah berabad-abad memegang keyakinan jutaan orang di kalangan berbagai bangsa manusia, jelas bahwa ia semestinya tahu apa yang sedang ia kerjakan. Tidak mungkin ada kerja misionari bijak tanpa tahu dengan siapa atau apa ia bertanding. Jika, karena sikap lemah hati, kita tidak boleh menilai terlalu tinggi kekuatan musuh-musuh kita, maka kita bisa saja, karena sikap sok saleh, berpura-pura mengabaikan atau meremehkannya. Gereja tidak bisa dengan bijak melalaikan studi terhadap sistem-sistem agama keliru yang ia tentang, gara-gara kelemahan atau inferioritas mereka. Sebagai gambaran penting akan kerja yang harus dilakukan ke arah ini, artikel ini bermaksud menunjukkan seringkas dan seumum mungkin pertentangan doktrin antara Hinduisme modern dan Kristen. Agaknya tak ada agama palsu, kecuali Buddhisme, yang memiliki hak setara untuk mendapat pertimbangan filsuf atau apolog Kristen, selain Hinduisme. Entah kita memandang karakter inherennya, atau kekuasaan yang ditunjukkannya untuk memerintah dan mempertahankan keyakinan sebagian besar keluarga manusia, hari ini ia berdiri sebagai salah satu musuh gereja dan kerajaan Kristus yang paling mencolok dan berat. Betapapun ringkasnya penimbangan keyakinan Hindu kali ini, semoga setidaknya cukup untuk menyelamatkan sebagian orang dari rasa percaya diri enteng yang menuntunnya untuk menilai rendah kekuatan seorang musuh, dan sering kali rasa percaya diri itu merupakan pratanda kegentaran karena lambatnya kesuksesan, dan bahkan pratanda kekalahan total.
Penyelidikan terkait apa itu Hinduisme modern tidak boleh dijawab secara singkat. Agama Veda-veda tidak bisa dikatakan eksis. Hinduisme modern bertumpu lebih pada Purána-purána ketimbang pada Veda-veda. Purána-purána sendiri berbeda dari satu sama lain, tanpa kenal kompromi, dalam banyak perkara agama terpenting. Tidak ada pelebih-lebihan dalam kata-kata Mahabarata itu:
“Veda-veda saling kontradiktif; Shástra-shástra saling kontradiktif; semua doktrin orang-orang bijak suci saling kontradiktif.”Kesulitan penyelidikan kita hampir tidak berkurang jika kita mencari jawaban melalui interaksi dan obrolan pribadi dengan masyarakat India. Insting dasar orang Hindu, ide-idenya terkait tuntutan tatakrama, sering mendorongnya untuk menyembunyikan opini aslinya ketika dia mengira itu akan menjijikkan bagimu, dan untuk merelakan dan menyemangati pernyataan-pernyataanmu tentang kebenaran keagamaan. Terlebih, kalaupun kita berhasil mengakses kepercayaan asli masyarakat itu, kita menemukan keanekaragaman opini yang sangat membingungkan. Penamaan sekte-sekte yang berkonflik, yakni Vaishnava, Saiva, Kabírá, Sádh, Sákta, dll, membingungkan bagi penyelidik. Kitab-kitab suci masyarakat tersebut dipahami sedikit saja oleh mereka yang mengaku menyandarkan keyakinan padanya. Aman untuk dikatakan bahwa—kecuali sebagian Bhàgavat Puràna—Ràmàyan (bukan karya Sanskerta klasik karangan Valmìkì, tapi puisi vernakular Hindà karangan Tulsì Dàs, yang tidak dihitung sebagai otoritas final dalam agama) memiliki pengaruh jauh lebih langsung terhadap massa rakyat di India Utara dibanding semua kitab suci terkenal mereka. Tapi di bawah Ràmàyan, yang menceritakan petualangan Ràma, terdapat sebuah filosofi, yang diasumsikan jika tidak diargumenkan sebagai dasar seluruh agama [Hindu]. Dan apa filosofi tersebut? Kaum Hindu mengakui enam sistem filosofi, monistik dan dualistik, sebagai Shàstra atau otoritas kanonis. Di antara keenam ini, pasca konflik berabad-abad, Vedánta (sebuah sistem monisme murni) jadi mendominasi pemikiran sebagian besar masyarakat. Filosofi Vedantik-lah yang punya kekuatan untuk memadukan dan mempersatukan kumpulan kacau-balau kredo-kredo dan kultus-kultus yang menyusun seluruh Hinduisme modern. Oleh karenanya, dalam menunjukkan pertama-tama prinsip-prinsip fundamental filosofi Vedantik sebagai kontras dengan doktrin Kristen, kita akan mengupas doktrin-doktrin itu yang merembesi dan memberi vitalitas dan kekuatan pada Hinduisme modern. 1. Maka, pertama-tama, orang Hindu modern, dalam kesesuaian ketat dengan Vedánta, meyakini bahwa Tuhan hanya satu. Kesatuan/keesaan Tuhan merupakan intisari keyakinannya. Tak hanya kaum terpelajar, tapi juga kaum paling rendah dan paling jahil di tengah masyarakat sepakat dalam ini. Seseorang dapat pergi ke desa manapun, di mana di setiap sisi dia akan melihat pemujaan berhala sekasar-kasarnya, dan bertanya kepada orang pertama yang dia jumpai, berapa banyak tuhan/dewa yang ada, dan dia akan mendapat satu jawaban saja: “Hanya ada satu Tuhan.” Formula Vedantik berikut senantiasa ada di lisan orang-orang yang tak hafal kalimat Sanskerta lain, “Ekambrahmam dvitíyandsti” (“Brahma adalah satu; tidak ada yang kedua”). Dari kata-kata ini mulanya kita akan menyangka Hinduisme selaras dengan Kristen setidaknya dalam ajarannya terkait keesaan Tuhan. Akan tetapi, formula ini mengekspresikan justru antagonisme paling radikal dan tak terakurkan di antara kedua sistem. Sebab orang Hindu, dalam kata-kata tersebut, tidak bermaksud menegaskan bahwa tidak ada Tuhan kedua, tapi bahwa tidak ada hal kedua apapun! Brahma adalah satu karena Dia adalah satu-satunya, dan satu-satunya yang betul-betul ada adalah Brahma. Jika kita selidiki lebih jauh terkait fitrah Entitas Tertinggi, antagonisme antara doktrin Hindu dan Kristen menjadi lebih kentara lagi. Sebab Brahma dikatakan eksis dari keabadian ke keabadian dalam fitrah esensialnya, nirguna (secara harfiah “tanpa ikatan”), yang nampaknya dimaksudkan persis seperti yang dimaksud oleh beberapa filsuf barat kita ketika menyebutkan Tuhan sebagai “tak bersyarat” atau sebagai “absolut”. Ketika dipandang demikian, predikasi Tuhan tidak bisa dibuat. Dia adalah esensi murni, tanpa atribut jenis apapun. Meminjam sebuah ungkapan lazim, Dia adalah “esensi tak kasat mata, tak terlihat, tak berwujud, tak terhingga, dan kekal”; yang kini, dan dulu, dan juga selamanya akan demikian, dan yang di sampingnya tidak ada yang pernah betul-betul ada dahulu, atau sekarang, atau akan. Tapi Tuhan juga dikatakan eksis di saat yang sama sebagai saguna (“dengan ikatan”), atau dengan atribut. Dengan kata lain, jika diterjemahkan ke dalam fraseologi barat, Tuhan eksis sebagai bersyarat di alam semesta, dan hanya dapat diketahui oleh manusia-manusia sebagai demikian. Terkait ini Tulsì Dàs, sang penyair agung masyarakat India Utara, mengungkapkan: “Tak bersyarat dan sekaligus bersyarat adalah fitrah esensial Brahma; tak terlukiskan, tak bisa dimengerti, tanpa awal, dan tanpa semisal Dia.” Dan ini adalah doktrin Hinduisme modern menyangkut fitrah Entitas Tertinggi. 2. Sebagai konsekuensi dari dogma sebelumnya adalah dogma fundamental berikutnya dalam filosofi Hindu, yang berkenaan dengan fitrah semesta roh dan materi yang zahir ini. Apa dunia ini, dan apa jiwa-jiwa? Terhadap ini, jika pernyataan-pernyataan di atas dianggap benar adanya, tentu saja hanya satu jawaban bisa diberikan. Jika Tuhan adalah satu-satunya eksistensi riil, maka jiwa dan dunia, sebagai entitas-entitas yang berbeda dari-Nya, tidaklah eksis. Apapun mereka kelihatannya, itu bukan mereka; dan apapun mereka bukan kelihatannya, hanya itulah mereka. Pertama, ambil kasus jiwa. Aku bagiku sendiri tampak sebagai sebuah persona, berbeda dari dunia, dari persona-persona manusia lain, dan dari Tuhan. Tapi ini semua keliru. Pada kenyataannya, jiwaku, sebagaimana pula setiap jiwa lain, adalah Deitas/Tuhan esensial. Masyarakat umum di setiap tempat [di India] menyebut jiwa sebagai “bagian dari Tuhan”. Tapi di saat yang sama mereka akan menegaskan bahwa Tuhan adalah akhand, “tak bisa dibagi”, sehingga dari sini setiap jiwa adalah Esensi Ilahi total; dan itu persis doktrin Vedantik ketat! Jadi seseorang dapat pergi ke desa India manapun dan bertanya kepada petani pertama yang dia jumpai, siapa Tuhan, dan dia pasti akan mendapat jawaban, “Jo boltà hai, wahì hai”, “Yang bicara, dialah Dia”. Jadi, sementara Kristen mengasumsikan kebenaran testimoni sadar terkait personalitas, Hinduisme mengingkarinya bulat-bulat. Tapi anggap saja semua hal terkait jiwa ini benar adanya, lantas apa dunia kasat mata dan nyata ini? Ia tampak riil, juga tampak sebagai sesuatu yang lain dan berbeda dari diriku, dan oleh karenanya bukan Esensi Ilahi. Terhadap pertanyaan ini seorang Pundit kemungkinan besar akan menjawab dalam sebuah baris Sanskerta familiar, “Brahma satyan jagan mithyà jivo brahmavaiva náparah”, “Brahma eksis hakiki, dunia [eksis] palsu; jiwa adalah Brahma, tidak ada yang lain”. Ide yang sama diekspresikan dalam sebuah nyanyian indah India Selatan, sebagai berikut:
“Tuhan mungkin terlihat terhampar di ruang; tapi aku, Yang memandang begitu lama, gagal melihat. Tapi kini, demi Sivam, aku menyatakan semua Yang ada adalah Tuhan; tapi apa yang kulihat bukan. Itu dan seribu keburukan dunia Bukanlah Tuhan atau tidak hakiki. Mereka adalah Màyà.”Di sini tentu saja terdapat kontradiksi. Dunia adalah [dunia] dan lagi bukanlah [dunia]. Para pundit mencoba menanggapi kesulitan ini dengan membedakan eksistensi sebagai tiga jenis—yakni, páramárthika, vyávahárika, dan prátibhásika, yang dapat diterjemahkan sebaik-baiknya sebagai “riil”, “praktis”, dan “zahir/semu”. Eksistensi “riil” dinyatakan untuk Brahma saja, yang merupakan entitas inti dari semua entitas. Eksistensi “zahir” diilustrasikan sebagai berikut: Aku melihat seutas tali di tanah, dan salah mengiranya sebagai seekor ular; eksistensi ular tersebut dikatakan “zahir”. Itu jelas-jelas bukan kasus non-eksistensi absolut, karena memang ada sesuatu di sana. Tapi itu bukan eksistensi riil, karena apa yang tampak sebagai ular bukanlah ular. Karenanya ular eksis, tapi hanya secara zahir. Jenis eksistensi ketiga diilustrasikan oleh kasus seorang manusia yang bermimpi, misalnya bahwa dia sedang berdagang, dan memberikan dan menerima uang. Kata mereka, uang tersebut eksis tidak secara pasti, páramárthikam, dalam realita; tidak pula prátibhásikam, sebagaimana dalam kasus tali yang salah dikira sebagai ular, sebab dalam kasus ini tidak ada realitas yang objektif menurut pikiranku sendiri. Meski demikian uang tersebut eksis vyávahárikam, “secara praktis”; sebab dalam mimpiku aku berdagang dengan itu dan itu untukku menjadi alasan kepedihan atau kesenangan, seperti uang riil. Selama aku tidur, bagiku uang tersebut seolah-olah uang riil. Begitu pula eksistensi dunia. Ia tidak memiliki eksistensi yang terpisah dari Esensi Ilahi, sebagaimana uang si pemimpi tidak memiliki eksistensi yang terpisah dari pikiran si pemimpi. Tapi karena aku menggunakan dunia ini, dan menerima kesenangan dan kepedihan darinya, bagiku ia dapat dikatakan memiliki eksistensi “praktis”. Namun, banyak pihak lebih suka menyamakan keadaan kasus ini dengan eksistensi ular dalam contoh tadi. Sebab memang ada sesuatu di sana yang menjadi alasan penilaian keliru, “Ini adalah ular”, meski memang itu bukan ular, tapi tali. Menurut argumen mereka, begitu pula halnya dengan dunia. Memang ada sesuatu yang dihadirkan kepada persepsiku, namun bukan sebuah dunia sebagai sesuatu yang berbeda dari Brahma, tapi Brahma esensial. Brahma memang tidak menjadi dunia, sebagaimana tali dalam ilustrasi tadi tidak menjadi ular. Tapi ular tidak bakal tampil kecuali tali ada di sana. Dan begitulah dunia bagi Brahma. Dengan demikian kita menemukan antagonisme-antagonisme lain antara Kristen dan Hinduisme. Kristen mengasumsikan dualisme esensial antara materi dan roh, antara jiwa-jiwa dan Tuhan. Ia juga mengasumsikan bahwa manusia adalah apa dia kelihatannya—sebuah persona. Lebih lanjut, ia mengajarkan bahwa Tuhan, dalam pengertian apapun, bukanlah sebab materil atau alasan belaka dari eksistensi dunia, melainkan sebab efisiennya. Semua ini Hinduisme ingkari.
Judul asli | : | The Antagonisms Between Hindooism and Christianity<i=1HZkfGHaDvq6feemI8CZpZVgbAIRv3Wql 518KB>The Antagonisms Between Hindooism and Christianity (1883) |
Pengarang | : | Samuel Henry Kellogg |
Penerbit | : | Relift Media, April 2024 |
Genre | : | Religi |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |