Fajar Terakhir

“Bayangkan, selama seribu tahun gelombang api ini menyerbu ke arah kita, sementara kehidupan berlangsung begitu bahagia di dunia, tak sadar bahwa selama itu dunia ditakdirkan musnah. Dan sekarang inilah akhir kehidupan.”
“Bayangkan, selama seribu tahun gelombang api ini menyerbu ke arah kita, sementara kehidupan berlangsung begitu bahagia di dunia, tak sadar bahwa selama itu dunia ditakdirkan musnah. Dan sekarang inilah akhir kehidupan.”
“Kota ini memiliki satu peluang untuk kelangsungan hidup. Kau harus tinggalkan ketergantunganmu pada Mesin. Ia sudah merenggut inisiatifmu, doronganmu untuk tumbuh. Emosi-emosi nyata, kata-kata yang membawa manusia mendaki jalan setapak pertumbuhan yang panjang.”
“Sekarang tentara Merah dan otak Nazi ada di pihak yang sama seperti seharusnya, dunia akan segera jadi milik kita—untuk diperlakukan sesuka kita!”
“Ada seorang pria yang masuk ke ruang referensi hampir setiap hari untuk memeriksa buku-buku dari Rak 45. Karena dia biasanya datang pada saat-saat sepi, aku punya banyak waktu untuk mempelajarinya.”
Nilai teramat tinggi tidak perlu meresahkanmu. Tak pernah terjadi kekurangan pangeran bursa dan raja manipulasi yang keranjingan saham. Sadarilah fakta bahwa spekulan sama banyaknya dengan masyarakat.
Kita menaati pancasila bukan untuk alasan duniawi murni semata, tapi karena Buddha mengadopsi mereka sebagai fondasi Ajarannya (Jalan menuju Ketersadaran), dan karena mereka telah senantiasa menyiapkan jalan untuk Ordo Orang Tercerahkan dari semua zaman.
Dengan sia-sia mereka mencoba membayangkan seperti apa kematian. Si kaya bersedia memberikan semua uang dan semua barang mereka jika mereka bisa sekadar memperpendek umur. Tanpa perubahan apapun, terus hidup selamanya terasa menjemukan.
“‘Makhluk’ itu tetap dekat-dekat denganku untuk sebuah tujuan pasti. Dan aku juga yakin bahwa tujuan ini ada sangkutpaut langsung dengan kesehatanku, bahkan dengan kehidupanku.”
“Kerabat jauhmu mati dan mewariskan semua uangnya padamu! Maaf kau sudah repot melakukan perjalanan panjang tapi...Aku rasa aku tak bisa berikan angka! Kau tahu, dia menyimpan tabungannya di sebuah loteng...dan itu terlalu banyak untuk dihitung!”
Mereka lantas mengubah seluruh psikologimu—segala yang kau percayai tentang kehidupan. Kau mungkin akan keberatan dengan itu, jika kau sadar; tapi mereka bekerja begitu halus sampai-sampai kau tak pernah mengira apa yang sedang terjadi padamu!
“Kata-kata kalian sendiri membuat jelas bagiku bahwa tidak ada yang tersisa untuk kalian selain membicarakan hal-hal misterius; pun aku tak punya kapasitas untuk memutuskan perkara di antara kalian setelah apa yang kudengar dari kalian.”
Hubungan antara kepercayaan dengan tindakan tidaklah sederhana. Orang-orang sering berubah kepercayaan tanpa perubahan perilaku yang lumayan, sementara mereka kadang mengadopsi bentuk-bentuk perilaku baru tanpa perubahan lumayan pada kepercayaan mereka.
“Sepertinya kita berhasil! Polisi takkan terpikir mencari kita di tempat begini! Aku dapat ilham! Kita bisa sembunyikan duitnya dalam kantong atau semacamnya! Hei, tidakkah kau pikir sebaiknya kita beli sedikit sembako agar ini tampak bagus?”
Kaum Tartar Beijing, seperti halnya Negara-negara Besar Sekutu, berbaris di bawah delapan panji. Sejak awal dinasti mereka, mereka sudah dikenal oleh bangsa China sebagai Pachi—delapan panji—sejak mereka melintasi tembok besar dan menyerbu Beijing.
Konon ada kehormatan di kalangan pencuri, tapi kita tidak menantikan hal demikian di kalangan negarawan. Jadi semangat bernegara dinastik ini menyebar turun dan keluar melalui pembauran, melalui ajaran dan teladan, ke seluruh populasi bawah.
Seluruh kesulitan ini murni fiksi. Tentu saja kami tidak mengakui keriilan Māyā, tapi di saat yang sama kami juga tidak berpendapat bahwa ia tak riil dari sudutpandang empiris. Secara empiris ia sat (eksis); dunia ada, tapi ia Māyā.
Aku belum pernah mendengar cerita-cerita lebih liar dari itu, dan aku sudah biasa dengan naskah-naskah fantasi. Maka, ketika aku melihat satu naskah berjudul “Sebuah Peringatan Untuk Manusia Masa Depan”, aku membaca halaman pertama dan berhenti.
“Akan datang masa ketika para pemuda tidak terbata-bata tentang apa yang telah ada. Terisi penuh oleh masa kini, pencipta penuh masa depan, tak tunduk dan berkuasa atas semuanya, manusia akan berdiri di bumi yang dia taklukkan. Dan ketika dia sudah berkuasa atas semua, dia akan menjadi dewa.”
“Tiga tahun ini,” sambung Kapten, “sudah kita habiskan dalam cinta terdalam, seolah kita diciptakan untuk satu sama lain, tapi jika kau dipanggil dengan cara ini, itu menunjukkan kasih-sayangnya tidak dangkal.”
“Kota ini memiliki satu peluang untuk kelangsungan hidup. Kau harus tinggalkan ketergantunganmu pada Mesin. Ia sudah merenggut inisiatifmu, doronganmu untuk tumbuh. Emosi-emosi nyata, kata-kata yang membawa manusia mendaki jalan setapak pertumbuhan yang panjang.”
Di kuil dan sekolah, kita “mengambil” pancasila yang memberadabkan ini, tapi itu tidak cukup; pancasila harus “mengambil” kita, “membawa kita” seperti kata pepatah populer, hidup dalam diri kita, hidup dengan dan melalui kita.