Fajar Terakhir

“Bayangkan, selama seribu tahun gelombang api ini menyerbu ke arah kita, sementara kehidupan berlangsung begitu bahagia di dunia, tak sadar bahwa selama itu dunia ditakdirkan musnah. Dan sekarang inilah akhir kehidupan.”
“Bayangkan, selama seribu tahun gelombang api ini menyerbu ke arah kita, sementara kehidupan berlangsung begitu bahagia di dunia, tak sadar bahwa selama itu dunia ditakdirkan musnah. Dan sekarang inilah akhir kehidupan.”
Timbul di sebuah negeri padang pasir jarang penduduk yang didiami oleh sebuah ras nomaden yang sebelumnya tidak istimewa dalam tarikh manusia, Islam berangkat untuk petualangan besarnya dengan bekingan manusia setipis-tipisnya dan keadaan materil serugi-ruginya.
“Aku, sampai gembira, menemukan ras bangsa yang sama-sama membenci dunia! Deros! Kami segera bermufakat dalam banyak hal! Selama sepuluh tahun kami sudah mempersiapkan! Ketika waktunya tiba, kami akan luncurkan serangan terencana cerdik terhadap semua kota penting dunia, ya kan, temanku?”
Untuk menemui Khalifah, dia harus menjadi seorang Tokoh. Tapi ketika para pengawal Khalifah melihatnya dalam jubah merah padam kaya, mereka keliru mengumumkannya sebagai Pembuat Keajaiban Dari Luar Negeri Salju.
Seorang anggota parlemen, sekalipun dia suka bicara, tidak bisa melakukan pidato dalam sidang sebanyak redaktur menulis artikel dalam sepekan. Dan redaktur mencetak setiap kata, dan menyebarkannya ke hadapan jemaat besarnya.
Kami menikah suatu hari bulan September, dan bulan madu berlalu gembira dengan obrolan terkait buku itu. Tidak ada yang lebih membuktikan dalamnya kasih-sayang George daripada fakta bahwa dia tidak memulai karya besarnya sebelum bulan madu selesai.
Dia memandang kepengarangan bukan sebagai profesi, tapi sebagai sesuatu antara inspirasi dan hobi. Kalaupun itu inspirasi, itu adalah anugerah dari Langit, dan karenanya mesti dibagi dengan seluruh dunia.
Jenderal duduk berat dan mendesah. Keheningan kuat melanda ruangan saat dia menghampar serbet putih di atas paha gemuknya dan meraih ceker ayam. Akhirnya, dia berbalik pada orang-orang gemetar itu dan berkata, “Tembak mereka!”
“Aku bisa melihat kerajaan Islam sedang berkembang dan kekayaan kaum Muslim diperoleh secara halal. Itulah kenapa aku meminta itu. Jika aku ingin membangun benteng dengan perak dan emasku sendiri, aku bisa saja melakukannya. Aku ingin uang Amirul Mukminin membawa berkah padaku.”
Timbul di sebuah negeri padang pasir jarang penduduk yang didiami oleh sebuah ras nomaden yang sebelumnya tidak istimewa dalam tarikh manusia, Islam berangkat untuk petualangan besarnya dengan bekingan manusia setipis-tipisnya dan keadaan materil serugi-ruginya.
Kita menyembah kekuatan-kekuatan alam semesta. Kita harmonis dengan alam semesta dan bukan dengan manusia. Itu tidak berpusat pada manusia. Agama-agama kita tidak berpusat pada manusia. Tidak ada agama-agama purbakala yang berpusat pada manusia.
Apa kau pernah baca salah satu dari novel-novel terlaris ini? Maksudku jenis di mana pahlawannya adalah seorang pesolek Amerika yang jatuh cinta pada seorang puteri kerajaan dari Eropa yang sedang bepergian dengan nama alias?
Jika kita memahami jiwa sebagai aspek subjektif dari unit objektif realitas, kita akan terpaksa untuk mengakui bahwa seluruh dunia bernyalakan sesuatu yang darinya jiwa manusia berkembang dalam evolusi lebih tinggi.
“Aku mendapati dua reporterku sedang berserapah dan menendang-nendang di pekarangan belakang. Yang satu terkubur dalam setumpuk debu batu bara halus, yang satu lagi tergantung pada pagar pancang dari ekor jasnya. Seseorang habis melempar mereka ke luar jendela.”
Para Muslim itu menyerang mereka, dengan penuh keberanian dan tekad besar, tapi tanpa disiplin. Mereka tidak memiliki pemimpin, bahkan tidak pemikul panji, karena gubernur sudah pergi melarikan diri ke kota Carmona, meninggalkan mereka tanpa dukungan yang bisa diandalkan.
Hanya dalam empat puluh tahun dari sekarang, permainan besar negara-negara berdaulat akan berakhir. Suatu metode baru dalam menangani urusan manusia akan diadopsi. Tak ada sepatah katapun tentang patriotisme atau nasionalisme; tak ada sepatah katapun tentang partai.
Bahkan berhala-berhala yang banyak itu tidak memuaskan sifat penyembahan orang Arab pagan. Dia butuh menyembah setiap batu putih dan indah, dan bila mustahil untuk menemukan batu seperti itu, dia, saking primitifnya, menyembah bukit pasir.
“Aku ingin hidup seperti manusia layak—dan aku ingin bisa memperlakukan orang lain dengan layak! Mustahil untuk hidup seperti ini di bawah Komunisme! Aku ingin beritahu dunia tentang kengerian Komunisme!”