Para pemimpin lihai gerakan Pan-Islam modern sudah lama bekerja di atas landasan yang jauh lebih lebar. Mereka sadar tenaga pendorong sejati Pan-Islamisme hari ini terletak bukan dalam khilafah tapi dalam institusi-institusi seperti Haji dan persaudaraan-persaudaraan Pan-Islamis besar.
Seperti semua gerakan besar, Kebangkitan Muslim sangat kompleks. Berawal dari protes Wahabisme yang sederhana dan puritan, itu telah mengalami banyak fase, sangat beragam dan kadang hampir antitetis. Dalam bab sebelumnya kita memeriksa fase yang mengarah ke reformasi evolusioner Islam dan asimilasi nyata semangat progresif, selain bentuk-bentuk eksternal peradaban barat. Di saat yang sama kita melihat para reformis liberal ini sampai sekarang hanyalah kaum minoritas, kaum elit; sementara massa Muslim, yang masih tenggelam dalam kejahilan dan terbangunkan secara tak sempurna dari mati suri panjang, dipengaruhi oleh pemimpin-pemimpin lain yang sangat berbeda—orang-orang yang condong ke jalan militan ketimbang pasifis, dan memusuhi ketimbang menerima Barat. Pasukan-pasukan militan ini, pada gilirannya, kompleks. Mereka dapat dikelompokkan kurang-lebih di bawah konsep-konsep umum yang dikenal sebagai “Pan-Islamisme” dan “Nasionalisme”. Bab ini dicurahkan untuk meninjau yang pertama dari kedua konsep ini, yaitu Pan-Islamisme.
Pan-Islamisme, yang dalam pengertian paling luas adalah perasaan solidaritas antara semua “Mukmin Sejati”, sama tuanya dengan sang Nabi, ketika Muhammad dan para pengikut barunya diikat oleh ikatan akidah dalam melawan rekan-rekan sebangsa yang pagan yang menghendaki kehancuran mereka. Bagi Muhammad, prinsip solidaritas persaudaraan di kalangan Muslim memiliki nilai transenden, dan dia berhasil menanamkan ini begitu dalam pada hati Muslim sehingga tiga belas abad belum melemahkannya. Ikatan antara Muslim dan Muslim hari ini jauh lebih kuat daripada antara Kristiani dan Kristiani. Tentu saja kaum Muslim berperang sengit antar sesama mereka, tapi konflik-konflik ini tak pernah kehilangan aspek pertengkaran keluarga dan cenderung tertunda di hadapan agresi kafir. Rasa solidaritas Islam yang mendalam barangkali sebagian besar menjelaskan genggamannya yang luar biasa pada para pengikutnya. Tak ada agama lain memiliki cengkeraman sekuat itu pada para penganutnya. Islam telah memenangkan teritori-teritori luas dari Kristen dan Brahmanisme, dan telah mengusir Magisme dari muka bumi; tapi tak ada satupun contoh di mana sebuah kaum, sekali menjadi Muslim, pernah meninggalkan akidahnya. Mereka mungkin saja diberantas, seperti bangsa Moor Spanyol, tapi pemberantasan bukanlah kemurtadan.
Solidaritas Islam ditunjang kuat oleh dua di antara institusi-institusi fundamentalnya: “Haji” (atau ziarah ke Mekkah) dan khilafah. Berlawanan dengan pendapat umum di Barat, Haji-lah, ketimbang khilafah, yang mengerahkan pengaruh menyatukan secara lebih konsisten. Muhammad memerintahkan Haji sebagai amal keimanan paling tinggi, dan setiap tahun 100.000 peziarah datang, ditarik dari setiap wilayah dunia Muslim. Di sana, di depan Ka’bah Mekkah yang suci, orang-orang dari semua ras, bahasa, dan budaya bertemu dan berbaur dalam ekstase ibadah bersama, pulang ke kampung halaman mereka dengan menyandang gelar membanggakan, “Haji” atau Peziarah—sebuah gelar yang menjamin penghormatan penuh takzim dari saudara-saudara mereka sesama Muslim selama sisa umur mereka. Implikasi-implikasi politik dari Haji sangat jelas. Nyatanya itu merupakan kongres Pan-Islam tahunan, di mana semua kepentingan iman didiskusikan oleh para delegasi dari setiap wilayah dunia Islam, dan di mana rencana-rencana diuraikan untuk pembelaan dan penyebaran Islam. Di sini hampir semua pemimpin militan Kebangkitan Muslim (Abdul Wahab, Muhammad bin Sannusi, Djamaluddin al-Afghani, dan banyak lagi) merasakan panggilan mendesak kepada tugas mereka.
Adapun khilafah, itu memainkan peran historis besar, terutama di hari-hari pertamanya, dan kita sudah pelajari berbagai peruntungannya. Ciut menjadi bayangan belaka pasca penghancuran Baghdad oleh Mongol, itu dibangkitkan oleh para sultan Turki, yang memangku gelar dan diakui sebagai khalifah oleh dunia Muslim ortodoks. Namun, para sultan-khalifah Istanbul ini tak pernah berhasil memenangkan penghormatan keagamaan yang diberikan kepada para pendahulu mereka dari Mekkah dan Baghdad. Terutama di mata Arab, pemandangan khalifah-khalifah Turki adalah sebuah anakronisme yang dengannya mereka tak pernah bisa betul-betul diakurkan. Sultan Abdul Hamid, tentunya, membuat upaya ambisius untuk membangkitkan kebesaran murni khilafah, tapi kesuksesan yang dia raih lebih disebabkan oleh pasang umum perasaan Pan-Islam ketimbang oleh potensi inheren nama khilafah. Para pemimpin sejati Pan-Islamisme memberi Abdul Hamid sebuah kesetiaan bersyarat belaka atau, seperti al-Sannusi, tegas memusuhi. Ini tidak disadari di Eropa, yang jadi mengkhawatirkan Abdul Hamid sebagai sejenis paus Islam. Bahkan hari ini kebanyakan pengamat Barat tampaknya berpikir Pan-Islamisme berpusat pada khilafah, dan kita lihat para publisis Eropa berdiskusi penuh harap apakah pemeliharaan khilafah oleh sultan-sultan Turki yang tak terpercaya, pemindahtanganannya kepada Syarif Mekkah, atau pemberangusannya total, akan paling memotong sayap-sayap Islam. Akan tetapi, ini sebuah pandangan yang jelas-jelas rabun. Institusi khilafah tak diragukan lagi masih dimuliakan dalam Islam. Tapi para pemimpin lihai gerakan Pan-Islam modern sudah lama bekerja di atas landasan yang jauh lebih lebar. Mereka sadar tenaga pendorong sejati Pan-Islamisme hari ini terletak bukan dalam khilafah tapi dalam institusi-institusi seperti Haji dan persaudaraan-persaudaraan Pan-Islamis besar semisal Sanusiyah, yang akan kubahas sebentar lagi.
Sekarang mari telusuri peruntungan Pan-Islamisme modern. Tahap pertamanya tentu saja adalah gerakan Wahabi. Negara Wahabi yang didirikan oleh Abdul Wahab di Najd dimodelkan dari demokrasi teokratis khalifah-khalifah Mekkah, dan ketika murid Abdul Wahab yang sekaligus pangeran, Saud, melepaskan rombongan fanatiknya ke kota-kota suci, dia membayangkan ini hanyalah langkah pertama dalam penaklukan dan konsolidasi puritan seluruh dunia Muslim. Gagal dalam rencana muluk ini, Wahabisme tetap segera menghasilkan kekacauan-kekacauan politik mendalam di wilayah-wilayah jauh seperti India utara dan Afghanistan, sebagaimana sudah kuceritakan. Akan tetapi, semua kekacauan itu adalah bagian integral dari fase Wahabi, pada hakikatnya protes terhadap dekadensi politik negara-negara Muslim dan dekadensi moral penguasa-penguasa Muslim. Pecahnya kekacauan-kekacauan ini tidak diilhami oleh ketakutan atau kebencian khusus terhadap Barat, sebab Eropa belum serius menyerang Islam kecuali di wilayah-wilayah jauh seperti Turki Eropa atau Hindia, dan karenanya bahaya yang datang tidak disadari.
Namun, menjelang pertengahan abad 19, situasi berubah secara radikal. Penaklukan Prancis atas Aljazair, akuisisi Rusia atas Transkaukasia, dan penguasaan Inggris atas nyaris seluruh India, meyakinkan para pemikir Muslim di setiap tempat bahwa Islam berada dalam bahaya maut jatuh ke bawah dominasi Barat. Pada waktu itulah Pan-Islamisme menyandang karakter yang pada dasarnya anti-Barat yang dipertahankannya sejak saat itu. Mulanya perlawanan terhadap gangguan Barat bersifat sporadis dan tak terkoordinir. Di sana-sini sosok-sosok heroik seperti Abdul Kadir di Aljazair dan Shamil di Kaukasus bertarung secara gemilang melawan para agresor Eropa. Tapi meski para ksatria akidah ini mendapat simpati yang tersebar luas dari kaum Muslim, mereka tidak menerima bantuan nyata, dan jatuh tanpa pertolongan.
Akan tetapi, ketakutan dan kebencian terhadap Barat terus bertambah kuat, dan pada tahun 70-an dunia Muslim disapu dari ujung ke ujung oleh gelombang fanatisme militan. Di Aljazair terdapat pemberontakan Kabyle 1871, sementara di seantero Afrika Utara muncul “Orang-orang Suci” fanatik yang mendakwahkan perang suci, di mana yang terbesar adalah pemberontakan Mahdist di Sudan Mesir, yang mempertahankan diri dari usaha-usaha keras Inggris hingga perebutan Khartum oleh Kitchener di pengujung abad lalu. Di Afghanistan terdapat peningkatan fanatisme intens yang membangunkan gema-gema simpatik di kalangan Muslim India, yang dua-duanya memberi Britania banyak masalah. Di Asia Tengah terdapat jalan masuk fanatisme serupa, berpusat pada persaudaraan Naqsyabandiyah yang berpengaruh, menyebar ke teritori China dan memuncak dalam pemberontakan-pemberontakan besar Muslim China di Turkistan China maupun Yunnan. Di Hindia Timur Belanda terdapat serangkaian pemberontakan, di mana yang paling serius adalah Perang Aceh, yang berlarut-larut tanpa kesudahan, tidak betul-betul terbasmi bahkan sampai hari ini.
Karakteristik penting dari periode keresahan militan ini adalah tiadanya koordinasi. Pemberontakan-pemberontakan ini semuanya berupa ledakan spontan penduduk lokal; tentunya tergerak oleh semangat ketakutan dan kebencian yang sama, dan tersulut oleh harapan fanatik yang sama, tapi tanpa bukti adanya otoritas sentral yang menyusun rencana tetap dan bergerak sesuai program pasti. Pemberontakan-pemberontakan ini terilhami sebagian besar oleh doktrin mistis yang dikenal sebagai “Mahdisme”. Mahdisme tidak dikenal oleh Islam primitif, tak ada jejaknya dalam al-Qur’an. Tapi dalam “hadits”, atau perkataan Muhammad, terdapat pernyataan bahwa sang Nabi memprediksikan kedatangan seseorang yang menyandang gelar “Al Mahdi” yang akan memenuhi bumi dengan keadilan. Dari ini timbul harapan mistis yang tersebar luas dalam kemunculan seorang tokoh berilham ilahi yang akan mengadakan kemenangan universal Islam, membersihkan dunia dari orang-orang kafir, dan menjamin kebahagiaan abadi semua Muslim. Doktrin ini telah mempengaruhi sejarah Muslim secara mendalam. Di berbagai masa muncul pemimpin-pemimpin fanatik yang mengaku sebagai Al Mahdi, “Penguasa Zaman”, dan memenangkan kesetiaan hingar-bingar dari massa Muslim, sebagaimana “Mesias-mesias” tertentu juga menggairahkan kaum Yahudi. Dengan demikian wajar bahwa dalam kecemasan yang bertambah dan kemarahan tunadaya terhadap agresi Barat, massa Muslim berpaling pada harapan mesianik Mahdisme. Tapi Mahdisme, berdasarkan hakikatnya sendiri, tidak bisa mengadakan sesuatu yang konstruktif atau permanen. Itu sebuah api jerami belaka; berkobar ganas di sana-sini, lalu padam, menyisakan massa kecewa dalam keadaan lebih berkecil hati dan apatis daripada sebelumnya.