Skip to content
Arab dan Turki – Relift Media

Arab dan Turki Bacaan non-fiksi sejarah

author _J. F. Scheltema_; date _1917_ genre _Sejarah_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ Pemberontakan-pemberontakan Arab terhadap kekuasaan Turki adalah hasil alami, dan dari awal hampir tak ada setahun berlalu tanpa satu pemberontakan atau lebih berkembang di sana-sini antara Laut Merah dan Teluk Persia, Gurun Suriah dan Samudera India. Persengketaan antara bangsa Arab dan bangsa Turki, yang kini menarik perhatian dunia dengan salah satu perkembangan terakhirnya, yaitu pemberontakan Syarif Agung Mekkah terhadap suzerenus-nya di Konstantinopel/ Istanbul, sama sekali bukan perkembangan anyar seperti yang dipikirkan sebagian orang. Sejak Khalifah-khalifah Abbasiyah Baghdad menjadi boneka di tangan para pretor Turki, dan asistensi efektif yang diberikan oleh Ertuğrul dan keempat ratus pengikutnya dari klan Utsmani kepada Pange­ran Seljuk Alaeddin menegakkan kedudukan militer mereka, sudah ada saling permusuhan antara para perampas kuasa dalam Islam itu dan anak-anak tanah kelahiran Islam, Tanah Suci-nya. Oleh karenanya, semenjak Turki mulai mendo­minasi atau lebih tepatnya mencoba mendominasi Arabia, pemberontakan-pemberontakan Arab terhadap kekuasaan Turki adalah hasil alami, dan dari awal hampir tak ada setahun berlalu tanpa satu pemberontakan atau lebih ber­kembang di sana-sini antara Laut Merah dan Teluk Persia, Gurun Suriah dan Samudera India. Jauh dari meniru bangsa Romawi yang dulu mengeroyok Asia Kecil dan wilayah-wilayah berbatasan dari Barat, senantiasa rajin menghapus perbedaan rasial, para penakluk baru dari Timur tidak peduli pada amalgamasi/pencampuran ras-ras tundukan mereka, meremehkan bahkan kebijakan bijaksana para negarawan ksatria terdahulu dari agama mereka sendiri; padahal tidak ada homogenitas di antara mereka. Bangsa Turki membenci bangsa Arab lantaran temperamennya yang mudah meluap, dan bangsa Arab menemukan bahan ejekan dalam kelam­banan Turki, dalam kerja lembam akal Turki. Di antara orang Arab dan orang Turki, yang sangat kontras secara fisik dan mental, tidak mungkin ada tarikan atau keserasian. Karenanya, putera-putera gurun tak berbayang di bawah langit tak berawan, yang sudah keras kepala dalam kesetiaan mereka kepada para ketua suku yang ditunjuk dengan per­setujuan bersama, terbukti sangat menyusahkan untuk para Khalifah yang suka ikut campur dari wangsa Osman. Terkecuali mereka yang punya alasan pribadi untuk tahan dengannya, orang-orang Arab tidak mengakui Khilafah Uts­mani sebagai institusi yang dititahkan oleh Tuhan. Bagi mereka, klaim-klaim suzerenitas Sultan Utsmani tidak ber­sandar pada hak spiritual apapun yang diberikan kepada orang Quraisy, yang terpilih di antara suku-suku mereka sendiri, melainkan bersandar pada hak kekuatan, asalkan itu bisa memaksa ketaatan. Di sini kami tak bermaksud mem­bahas signifikansi Khilafah secara umum atau legitimasi Khi­lafah Utsmani secara khusus; cukuplah dikatakan bahwa apapun otoritas yang ingin dijalankannya di Semenanjung Arab, itu harus didukung oleh tenaga yang sangat kuat. Maka tangan besi Sultan Utsmani menegakkan hak kontrolnya atas Hijaz beserta selebihnya, terutama atas Mekkah yang dihor­mati dan Madinah yang berkilau; dan, di sisi lain, dari status penjaga dua kota ini, secara de facto, jika bukan de jure, diper­oleh haknya atas Khilafah, terlepas dari keadaan bahwa di berbagai masa dalam sejarah Islam, Tempat-tempat Suci-nya dan Khilafah dapat berkembang tanpa satu sama lain. Tangan besi “Para Pelayan Dua Kota Suci”-nya Osmanli/Uts­mani, seperti halnya tangan besi Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyah, atau nama lain apapun yang digunakan para pe­nguasa Arabia yang terlewatkan, tidak menggunakan pedang jenis Zulfikar, tak terkalahkan, memaksa, dan membatasi setiap orang. Anak-cucu Ali (menantu Nabi dan pemilik masyhur dari pedang masyhur itu) termasuk di antara orang-orang yang paling keberatan terhadap dan menentang cam­purtangan orang luar dalam urusan negeri mereka, yang mereka lebih suka jalankan menurut kemauan mereka sen­diri, sebuah corak yang memberi gairah lebih tinggi pada permusuhan antarsuku Arab dan mengakibatkan lahirnya beberapa kepangeranan kuasi-independen yang senantiasa bertengkar. Di Hijaz, kepangeranan Mekkah, yang timbul dari awal-mula demikian, bukanlah pengecualian dari kaidah pepe­rangan tiada akhir yang disebabkan oleh dendam dan urgensi pembalasan, yang asyik menyibukkan keluarga-keluarga per­tama negeri itu yang berjuang memperluas pengaruh dengan perluasan tanah-tanah leluhur mereka. Di sela-sela penyer­gapan terhadap suku-suku dan klan-klan di luar batas perta­lian dekat, para anggota dari satu keluarga berperang dengan satu sama lain memperebutkan jatah terbesar dari pemba­gian barang rampasan mereka, terutama ketika kematian pe­mimpin mereka menyebabkan pertentangan terkait suksesi­nya yang melahirkan konflik bersenjata di antara sanak-familinya dalam proses pembagian ulang terus-menerus. Abu Muhammad Ja’far dari al-Musawi, sebuah cabang Hasa­niyah, merebut Mekkah pada tahun antara 951 dan 968. Seba­gai Syarif Agung pertama, yakni ketua para syarif dalam pengertian yang sebenarnya, dia memulihkan ketertiban komparatif dalam kekacauan yang lahir dari serbuan des­truktif dari kaum sektarian penganut doktrin Hamdan Qar­mat dan melanggar kesucian dan membawa pergi batu hitam suci Ka’bah ke ibukota mereka, yang mereka simpan selama sepuluh tahun. Kesyarifan Agung tidak mengantarkan keda­maian tak terputus untuk sebuah negeri di mana perseteruan tiada henti penduduknya berarti pergolakan tiada akhir dengan beralihnya otoritas dari satu tangan ke tangan lain sampai Wangsa Hasyimiyah berusaha memiliki pengaruh di sebagian besar Hijaz dan menundukkannya kepada kemauan mereka dalam kadar tertentu selama paruh akhir abad 20. Tapi, kekuasaan mereka, bahkan atas Mekkah, yang tidak di­relakan ataupun dipersengketakan oleh para Khalifah Abba­siyah, tidak terus dibiarkan leluasa oleh para perampok-ksa­tria yang berkerumun, terutama oleh para pangeran muda suka berkelahi yang memerintah di Madinah. Akibatnya, domain Mekkah mereka, yang bertambah atau berkurang sesuai peruntungan perang, turun naik seperti bulan yang melalui fase-fasenya. Lebih seringnya, Taif menjadi miliknya di sisi Timur dan Jeddah di sisi Barat, dan pemilikan pela­buhan [Jeddah] menambah kemudahan warga kota untuk merampok para peziarah, “para tamu Allah”; menjamu mereka, dari dulu sampai sekarang, adalah pekerjaan “para tetangga Allah”. Pada pembukaan abad 13, seorang kepala suku yang berani berusaha, bernama Qatadah, mengakhiri dinasti Hasyimiyah. Juga dibiarkan hampir seorang diri oleh para tuan mereka, dia dan suksesornya dari keluarganya menga­lami pergulatan tak kurang keras dengan musuh-musuh sekerabat mereka sendiri untuk mempertahankan cengkera­man atas Kesyarifan Agung Mekkah. Meski demikian mereka berhasil mempertahankannya tanpa putus selama 600 tahun. Sekitar pertengahan masa jabatan mereka itu, pada 1517, Hijaz ikut merasakan nasib Suriah dan Mesir, menjadi provinsi Kekaisaran Utsmani. Syarif Agung Muhammad Abu al-Barakat menyatakan hormat kepada Sultan Salim I, me­ngirimkan kunci-kunci Ka’bah di atas piring perak besar kepadanya. Tunduk pada otokrasi militer wangsa Osman, yang meminjam kilau lebih mengkilap dari sebuah despo­tisme teokratis hampir mati yang dibentuk dengan cetakan ortodoks Muslim, para Syarif Agung berangsur-angsur mem­bebaskan diri dari tendensi-tendensi Syiah yang arus politik­nya (kini tak terpakai) dulu membuat mereka berhubungan akrab dengan Zaidiyah Arabia Selatan. Memulai persekusi terhadap bekas teman-teman mereka, sebagai Sunni mazhab Syafi’i, ortodoksi mereka tetaplah dicemari kelonggaran dan penyimpangan yang masuk ke dalam Islam karena kele­mahan manusia, menodai ajaran-ajaran aslinya.
Judul asli : Arabs and Turks<i=1LGpb4jIKq7fhzNZdZaN1Vq6s4BTpxKRZ 423KB>Arabs and Turks
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, April 2025
Genre :
Kategori : ,

Unduh