Apa yang kita sebut doktrin Māyā tidaklah lebih dari sebuah upaya untuk menunjukkan betapa mustahilnya dunia lebih dari sekadar “penampakan” yang berbeda dari “Realitas”, yang mana pada hakikatnya hanyalah Brahman.

Apa yang kita sebut doktrin Māyā tidaklah lebih dari sebuah upaya untuk menunjukkan betapa mustahilnya dunia lebih dari sekadar “penampakan” yang berbeda dari “Realitas”, yang mana pada hakikatnya hanyalah Brahman.
Bahwa asap tidaklah wujud, dan bahwa tembok batu adalah wujud, bahwa bulan tidak bisa digapai dengan tangan kita, dan bahwa meja bisa digapai, semuanya merupakan penyingkapan perabaan, dan bukan penyingkapan penglihatan.
Pikiran manusia masih sangat dikacaukan oleh ketidaksempurnaan kata-kata dan simbol-simbol lain yang dipergunakannya, dan konsekuensi-konsekuensi dari pemikiran kacau ini jauh lebih serius dan luas daripada yang disadari secara umum. Kita masih melihat dunia melalui kabut kata-kata.
Aku dapat katakan bahwa perang dideklarasikan lebih terhadap komunikasi mata-mata ketimbang terhadap mata-mata itu sendiri, sebab tak ada gunanya informasi apa yang berhasil dikumpulkan oleh seorang agen jika dia tak mampu meneruskannya.
“Tarian”-nya ditandai dengan keluwesan, tapi di saat yang sama dengan selingan feminim, kepura-puraan genit, dan kelembutan sentimental; wajah dan kepalanya menyamping, tipe religionisme artifisial sentimental.
Peniruan, rasa kasihan, simpati, semua ini adalah penamaan tak sempurna untuk ikatan kesatuan bersama di antara umat manusia—untuk naluri yang menautkan individu-individu dengan badan umum.
Mereka sedang melompat-lompat riang di sekeliling sebuah objek tengah—sebuah salib terbaring. Kepada salib ini sepasang makhluk merah muda—total jadi empat belas—berlutut dan mengayunkan palu atau godam yang terlihat seperti balok, memaku sesosok manusia.
Kediktatoran harus mampu bertahan hidup di atas kehati-hatian rohaninya sendiri. Itu tidak akan berhasil jika apa yang baik dalam ide-idenya berasal dari lawan-lawannya, dan apa yang berasal dari selain lawan-lawannya adalah buruk.
Penyakit ini, yang akan kita namakan Koreomania, seperti kubilang mulanya disebut korea, atau joget Santo Vitus; tapi istilah-istilah ini kini diterapkan, secara tak terpisahkan tapi tak tepat, pada satu penyakit syaraf lain dan benar-benar berbeda.
“Dia mendapat liputan suratkabar lebih banyak daripada penjahat jaya manapun. Jadi, jika dia sedang menikmati gelombang publisitas saat ini di sebuah persembunyian, apa yang terjadi kalau kita tiba-tiba menarik semua penyebutan dirinya?”