Skip to content
Selamat Datang di Dunia Maya – Relift Media

Selamat Datang di Dunia Maya Bacaan non-fiksi religi

author _Prabhu Dutt Shāstrī_; date _1911_ genre _Religi_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ series_title _Doktrin Dunia Maya_; series_no _#2_ Apa yang kita sebut doktrin Māyā tidaklah lebih dari sebuah upaya untuk menunjukkan betapa mustahilnya dunia lebih dari sekadar “penampakan” yang berbeda dari “Realitas”, yang mana pada hakikatnya hanyalah Brahman. Setelah tinjauan filologis singkat terhadap kata māyā, kini kita beralih ke ide itu sendiri. Kata dan ide tidak boleh tertukar; karena ketertukaran semacam itu menghasilkan beragam asumsi keliru mengenai doktrin māyā terkait dengan tempatnya dalam pemikiran India. Tidak sedikit orang yang dengan lancang menuduh doktrin ini jelas-jelas lahir dan tumbuh belakangan, sebuah pikiran susulan atau sebuah usul berikutan dari beberapa Vedāntin belakangan yang memiliki watak Idealistik murni. Ide Māyā, klaim mereka, sama sekali tidak terdapat dalam risalat-risalat filo­sofis awal umat Hindu, yakni Upaniṣad dll. Tanpa meng­harapkan diskusi apapun mengenai poin ini, kita hanya dapat menyatakan bahwa pemikir-pemikir tersebut me­nurut kami keliru total. Oleh karenanya, tesis utama kami dalam bab ini adalah untuk menunjukkan, dengan bantuan kutipan-kutipan otoritatif yang sesuai dari literatur filosofis kita, bahwa ide Māyā adalah sangat tua—sudah pasti lebih tua dari kata māyā. Kata ini dalam pengertian lazimnya tentu saja terdapat untuk pertama kali dalam Upaniṣad Śvetāś­vatara (iv. 10), tapi idenya dapat ditelusuri sampai ke tahap akhir peradaban Vedik. Kami akan mencoba menunjukkan bahwa konsepsi ini, meski tidak dalam bentuk sistematis dan organik, sudah ditemukan dalam Rigveda dan Upaniṣad-upaniṣad. Filosofi, sebagai pemikiran renungan, atau penimbangan hal-hal secara berpikir, memang betul-betul berawal dari hal-hal; dengan kata lain, benih pertama filosofi mulai muncul dengan upaya untuk menjelaskan realitas-realitas konkret di lingkungan, yakni Semesta. Di dalam dada manu­sia terlihat sebuah kerinduan untuk memahami sumber seluruh eksistensi. Dan berhubung semua perkembangan tinggi adalah dari yang konkret ke yang abstrak, pemikiran pun mengikuti jalan yang sama, dan setelah melalui tahap-tahap di mana berbagai gaya alam, atau beragam elemen lain, seperti air, udara, api, dll, mulai dibayangkan sebagai sumber utama semua eksistensi, tercapai titik di mana “yang banyak” itu ternyata tidak menghasilkan penjelasan me­muaskan akan eksistensinya, dan dirasakan sebuah keingin­an untuk mengetahui misteri ini, kesatuan pokok ini. Dengan kemajuan pemikiran, prinsip kesatuan menarik semakin banyak perhatian, sampai-sampai seawalnya dalam Rigveda i.164 (“ekaṃ sad viprā bahudhā vadanti”—yakni, para penyair berbicara tentang Entitas Satu di bawah beragam nama), multiplisitas dirasa dihasilkan oleh mode bicara semata, tidak riil dengan sendirinya, di mana hanya Yang Satu yang memiliki eksistensi riil. Dengan begitu, dewa-dewa Vedik yang tak terhitung banyaknya mulai dipahami bukan sebagai berperang dengan satu sama lain, tapi hanyalah manifestasi-manifestasi dari Tuhan yang Satu. Monoteisme menaklukkan Politeisme dalam pengertian eksklusifnya. Kitab terakhir Rigveda adalah paling kaya akan kidung-kidung filosofis; banyak darinya bernadakan sentimen yang sama, yaitu “kesatuan/keesaan yang mendasari keanekaragaman”. Spe­kulasi berani kaum Vedik kuno dilukiskan secara indah dalam Rigveda x.129—salah satu dari rekaman paling awal akan sebuah upaya untuk menjelaskan misteri kosmogonik dengan memahami ide kesatuan. Itu merupakan salah satu dari kidung-kidung paling luhur dan agung di dalam Rigveda, dari sudutpandang filosofis maupun sastra, dan merupakan penunjuk sejati ke pemikiran mistik awal umat Hindu. Bagi otak yang agak berprasangka, itu mungkin tampak sebagai secampuran kontradiksi belaka dan sekeping sofistri abstrak. Padahal itu termasuk lagu terbagus yang dapat dibanggakan oleh sastra manapun. Deussen mendeskripsikannya sebagai “monumen filosofi tertua yang paling luar biasa”, dan sudah menerjemahkannya ke dalam bahasa Jerman. Berhubung kidung ini sangat penting untuk maksud kita, kami berikan terjemahan kami sendiri sebagai berikut:
Rigveda x.129 1. Kala itu tidak ada Eksis atau pula Tak Eksis, Tak ada alam udara, tak ada langit; Apa yang menyelimuti semua? Di mana? Dalam pemeliharaan siapa? Apa perairan ada, jurang yang dalam? 2. Itu bukan kematian atau pula kehidupan abadi, Tak ada malam, tak ada penampakan siang; Dia yang dalam spontanitasnya bernafas tanpa udara, Di luarnya tidak ada yang eksis. 3. Kegelapan ada; mulanya diliputi kegelapan, Dunia adalah samudera tanpa pandang bulu; Tapi sebuah benih hamil tersembunyi dalam tempurung, Dia yang dilahirkan oleh kekuatan panas. 4. Di dalamnya mulanya timbul Keinginan, Yakni benih purba pikiran; Akar Eksistensi pada para Bijak Tak Eksis Yang mencari dengan hati bijak ditemukan. 5. Ketika seperti sinar wujud mereka menyebar, Ada apa di bawah? ada apa di atas? Para pembawa benih ada, para kekuatan besar juga, Spontanitas di bawah dan upaya di atas. 6. Siapa yang tahu, sungguh? Siapa di sini bisa katakan? Dari mana itu menjadi? Dari mana penciptaan ini? Dewa-dewa datang lebih belakangan dari penciptaannya, Jadi siapa bisa katakan dari mana semua ini muncul? 7. Dari siapa muncul seluruh penciptaan ini, Apakah dia menghasilkannya atau tidak; Siapa di langit tertinggi yang meninjaunya, Dia tahu betul itu—atau bahkan dia tidak.
Ini menandai permulaan pemikiran filosofis di India. Konsepsi kesatuan pokok dunia ini pula kemudian melahir­kan filosofi Yunani dalam monisme Eleatik. Xenophanes memulai polemiknya melawan antropomorfisme dalam agama rakyat Yunani dan termasuk orang pertama di antara pemikir-pemikir Yunani yang menyatakan “Semua adalah satu”. Tak lama kemudian Parmenides juga mengembang­kan, sebagai prinsip utama miliknya, ide yang sama yaitu kesatuan esensial eksistensi dan pemikiran. Kami memapar­kan fakta ini semata-mata untuk menunjukkan bahwa sungguh wajar dan sah bahwa para penyair Vedik memulai spekulasi filosofi mereka dengan kerinduan mereka untuk memahami kesatuan pokok dunia. Bahwa kerinduan ini alami, hal tersebut ditunjukkan secara cukup oleh tendensi-tendensi yang hampir sama persis yang ditemukan dalam filsafat-filsafat lain, khususnya dalam filsafat Yunani. Sebagaimana di Yunani, begitu pula di India, filsafat terlahir sebagai “anak ajaib”. Garbe, yang telah melakukan banyak sekali karya berguna dalam Sāṅkhya, sayang sekali tidak menyadari semangat orang-orang Arya Vedik dalam menggubah kidung di atas, dan menemukan di dalamnya, selain di dalam kidung-kidung filosofis lain dalam Rigveda, “alur pikiran yang tak jelas dan swa-kontradiktif”. Kami tidak melihat kontradiksi semacam itu. Beragam penjelasan dengan sendirinya ditun­tut oleh sifat misterius persoalan ini. Dapat dikatakan secara sepintas bahwa Eksis dan Tak Eksis yang disebutkan dalam kidung ini tidak berlawan-lawanan (sebagaimana dalam filosofi Yunani awal); sebaliknya, mereka adalah satu, meski mereka adalah dua dari cara kita memandang mereka. Kondisi yang belum berkembang itu, dikenal sebagai kāraṇā­vasthā, disebutkan sebagai Tak Eksis—itu tidak berarti pene­gasian terhadap Eksis; sementara kondisi yang termanifes­tasi disebut dengan nama Eksis.
Judul asli : Development of the Conception of Māyā<i=1RtLC6zAfUyvQDnaP7Erx1vVsFs55Se9_ 529KB>Development of the Conception of Māyā
Pengarang :
Seri : Doktrin Dunia Maya #2
Penerbit : Relift Media, Februari 2023
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Selamat Datang di Dunia Maya

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2023)