Skip to content
Mengenal Ciptaan Melalui Panca Indera, Dalam Memahami Pengetahuan dan Penamaan Terhadap Benda-benda – Relift Media

Mengenal Ciptaan Melalui Panca Indera, Dalam Memahami Pengetahuan dan Penamaan Terhadap Benda-benda Bacaan non-fiksi sains

author _Alexander Bryan Johnson_; date _1836_ genre _Sains_; category _Lektur_; type _Nonfiksi_ series_title _Risalat Bahasa_; series_no _#2_ Bahwa asap tidaklah wujud, dan bahwa tembok batu adalah wujud, bahwa bulan tidak bisa digapai dengan tangan kita, dan bahwa meja bisa digapai, semuanya merupakan penyingkapan perabaan, dan bukan penyingkapan penglihatan. Eksistensi-eksistensi eksternal terindera dapat dikenai penggolongan yang akan merujuk setiap eksistensi kepada indera yang memperantarai kita memperoleh pengetahuan tentang eksistensi tersebut. §1.—Ciptaan itu tidak terbatas, entah kita menaksir objek-objeknya secara numeris, atau jangkauannya secara luaran. Kita tidak bisa menemukan kekosongan dengan menembus bumi; kita tidak bisa meninggikan penglihatan kita melam­paui objek-objek ciptaan; kita tidak bisa mengukur kedala­man sempurna samudera. §2.—Untuk memasukkan luasnya eksistensi-eksistensi ini ke dalam pemahaman pasti kita, para naturalis membagi kese­luruhan menjadi tumbuhan, mineral, dan hewan, dengan beragam subdivisi kelas, ordo, spesies, dll. §3.—Para kimiawan memberlakukan penggolongan yang lebih ringkas lagi pada ciptaan. Semua objek dapat dikon­versi, secara kimiawi, ke dalam sekitar empat puluh zat ber­beda; dan para kimiawan menggolongkan objek-objek sehu­bungan dengan zat-zat yang ke dalamnya mereka dapat dikonversi; oleh karenanya, di kalangan kimiawan, semesta direduksi ke dalam sekitar empat puluh zat berbeda. §4.—Untuk memahami relasi antara kata-kata dengan eksis­tensi-eksistensi ciptaan, kita harus merenungkan ciptaan se­cara terpisah dari kata-kata. Ciptaan dapat digolongkan secara lebih pasti, dan kurang bermacam-ragam, daripada penggolongan kimia. Penggolo­ngan ini akan menjadi diskursus saat ini. Kau harus mema­haminya, karena aku tak bisa mengajarimu relasi antara kata-kata dan eksistensi-eksistensi ciptaan, sampai kau bisa merenungkan eksistensi-eksistensi secara terpisah dari kata-kata. §5.—Semesta eksternal dapat dibagi ke dalam rupa, bunyi, rasa, raba, dan bau. Penggolongan yang kuajukan mengacu pada panca indera kita. Dari mereka kita mendapat pengetahuan tentang semesta eksternal; oleh karenanya, dengan menyusun semua informasi (di bawah masing-masing kelima indera) yang diungkap oleh indera, pengetahuan kita tentang se­mesta eksternal jadi dibagi ke dalam lima golongan. Setiap golongan tidak bisa tertukar dengan yang lain. Sebuah segitiga bisa dibedakan dari sebuah lingkaran sebagaimana informasi satu indera bisa dibedakan dari informasi setiap indera lain. Untuk membedakan setiap golongan secara nama dan juga sifat, maka setiap informasi yang diungkap oleh pendengaran, kunamakan suara/bunyi; setiap informasi yang diungkap oleh penglihatan, kunamakan rupa; setiap informasi yang diungkap oleh perabaan, kunamakan raba; setiap informasi yang diungkap oleh penciuman, kunama­kan bau; dan setiap informasi yang diungkap oleh penge­capan, kunamakan rasa. §6.—Rupa, raba, dll dihadirkan kepada kita oleh alam dalam kelompok-kelompok tertentu. Ketika ditinjau sehubungan dengan indera-indera kita, dan dilepaskan dari nama-nama, maka semesta eksternal adalah sekumpulan rupa, bunyi, rasa, raba, dan bau. Alam menghadirkan semua ini kepada kita dalam kelompok-kelompok tertentu. Satu rupa dan satu raba yang selalu bersangkutpaut, kita sebut api. Satu kelompok lain, yang ter­diri dari rupa, raba, rasa, dan bau tertentu (yang bersangkut­paut dalam cara khas alam), kita sebut jeruk. Satu kelompok lain, yang terdiri dari rupa, raba, dan rasa tertentu, kita sebut roti. Satu kelompok lain, terdiri dari rupa saja, kita sebut pelangi. §7.—Rupa dan raba adalah yang paling sering bersangkut­paut. Sangkutpaut yang paling sering di alam adalah rupa yang bersangkutpaut dengan raba. Di antara sangkutpaut-sang­kutpaut ini, satu rupa dan raba kita sebut perak; lainnya emas; lainnya mahoni; lainnya marmer; dan lainnya wol. §8.—Rupa, raba, rasa, dan bau sering bersangkutpaut. Sangkutpaut sering selanjutnya terdiri dari rupa, raba, rasa, dan bau. Kata lemon menamai sangkutpaut jenis ini, dan kata brendi, apel, kuningan, sulfur, minyak, ter, tem­bakau, keju, daging sapi, kayu manis, dll. §9.—Rupa, raba, dan rasa sering dijumpai bersangkutpautan. Pada beberapa sangkutpaut kita menerapkan kata garam, gula, air, madu, susu, gandum, kapur, dll. §10.—Rupa, bunyi, rasa, raba, dan bau, kadang alam meng­hadirkan mereka sendiri-sendiri kepada kita. Dalam beberapa kasus, rupa, bunyi, rasa, raba, dan bau dihadirkan kepada kita secara disjungtif. Satu rupa, yang dihadirkan kepada kita dengan cara demikian, kita sebut rembulan. Satu rupa lain kita sebut cahaya; dan lainnya aurora borealis, meteor, ignis fatuus, dll. Satu raba tertentu yang tidak memiliki sangkutpaut, kita sebut udara. Satu raba lain, kita sebut angin; dan lainnya dingin. Satu bunyi tertentu yang tidak memiliki sangkutpaut, kita sebut gema. Guntur hampir tidak bisa ditandai sebagai bunyi yang tidak memiliki sangkutpaut, sebab itu biasanya bersangkutpaut dengan rupa yang kita sebut kilat. Rasa dan bau tidak pernah dihadirkan kepada kita kecuali dalam sangkutpaut dengan suatu eksistensi lain. Aku mengingat satu pengecualian saja, dan kita menandainya ketika itu terjadi, dengan mengatakan kita merasakan rasa tak enak dalam mulut kita. §11.—Kita harus membedakan antara taraf dan ragam ciptaan, dan kekurangan bahasa. Jumlah rupa yang tak memiliki sangkutpaut sangatlah sedikit, jika kita menaksir mereka dengan jumlah kata-kata yang menamai rupa-rupa tersebut. Namun, mereka jauh lebih banyak daripada yang diimplikasikan oleh mode penaksiran ini. Kata bintang, contohnya, menamakan rupa yang tak memiliki sangkutpaut (rupa yang tidak bersangkut­paut dengan rasa dll apapun) tapi kata yang menamakan satu rupa saja ini menamakan banyak sekali rupa, yang berbeda-beda dalam hal besaran, kilau, warna, bentuk, dll. Aku menyatakan ini agar kau bisa paham bahwa penandaan-penandaan verbal adalah sarana tak memadai dalam me­naksir ragam dan jumlah eksistensi-eksistensi alami. §12.—Rupa yang dihadirkan kepada kita dalam sangkutpaut dengan raba dll adalah juga jauh lebih banyak dan lebih beragam daripada yang diimplikasikan oleh bahasa. Warna-warna sendiri nyaris tak terhingga ragamnya, sementara nama-nama kita untuk mereka adalah kata-kata yang ter­bilang sedikit. Tapi kita tak pernah berupaya menandai sebagian besar rupa dengan sebutan-sebutan spesifik. Ketika aku memandang sebuah kursi, aku melihat sebuah rupa yang berbeda dari apa yang kulihat saat memandang api; tetap saja, bahasa tidak memiliki nama untuk rupa kursi ataupun api saja. Kata kursi dan kata api berlaku masing-masing pada rupa dan raba yang tersangkutpaut. Ketika kita menyebutkan rupa saja, kita mempergunakan perifrasis, dan mengatakan penampakan api, penampakan kursi, dll. §13.—Rasa, bau, bunyi, dan raba jarang ditandai secara spe­sifik dengan nama-nama. Manusia lebih menghemat nama-nama untuk rasa, bau, bunyi, dan raba daripada untuk rupa. Harum, busuk, dan sedikit kata lain adalah satu-satunya yang kita sudi sediakan untuk informasi indera penciuman. Panas, dingin, nyeri, dll adalah satu-satunya yang kita sediakan untuk raba spesifik, padahal alam menghadirkan mereka dalam keragaman tak terbatas. Ketika aku menyentuh besi, aku menyadari sebuah raba yang berbeda dari apa yang kualami ketika menyentuh kayu, sutera, wol, linen, dll; tapi untuk raba-raba ini tak satupun nama disediakan. Kata besi menamai sebuah rupa dan raba yang tersangkutpaut. Hal yang sama dapat dikata­kan untuk kata kayu, sutera, wol, linen, dll. §14.—Kita menciptakan nama-nama ketika kita menganggap mereka bermanfaat. Tapi bukan hanya banyak rupa, bunyi, rasa, raba, dan bau yang tidak memiliki nama secara terpisah; banyak sangkut­paut mereka juga tidak memiliki nama. Kita menamai sangkutpaut-sangkutpaut tersebut hanya ketika kemanfaat­an menuntut kita untuk menandai. Kita menandai rupa dan raba tersangkutpaut tertentu dengan kata persegi, dan lainnya kita namai bulat, rata, dll; tapi seratus bentuk yang dapat disandang oleh sekeping kaca, ketika ia kebetulan retak, kita belum menandai dengan nama apapun. §15.—Sangkutpaut-sangkutpaut alam kadang bisa dipisah­kan. Jika sekeping emas dipegang di depan sebuah cermin, cerminnya akan memperagakan rupa, yakni emas, yang ter­pisah dari raba. Dalam banyak contoh lain, seni bisa memi­sahkan rupa dan raba yang alam sangkutpautkan. Jika kau mencelupkan sebatang tongkat ke dalam air, dan mem­biarkan separuhnya tak terendam, tongkatnya akan mem­peragakan rupa bengkok tanpa raba bengkok. Jika kau me­lihat sebatang lilin, dan dengan jarimu menekan sudut luar salah satu matamu, kau akan mengalami rupa, yakni dua lilin, tanpa disertai oleh raba dua lilin. Jika kau memandangi matahari, dan kemudian memejamkan kedua matamu, atau tanpa memandangi matahari, jika kau tekan sebentar salah satu matamu dengan agak pedih, kau akan melihat beragam warna, tanpa disertai oleh raba-raba apapun yang umumnya disangkutpautkan dengan warna. Jika kau memutar-mutar tubuhmu, dan menghasilkan kepeningan, setiap objek yang kau pandang akan memperagakan rupa, yakni rotasi, tanpa disertai oleh raba. §16.—Raba juga bisa dipisahkan dari rupa yang secara alami bersangkutpaut dengannya. Jika kau menyilangkan jari ketiga dan jari keempat tangan kananmu, dan menumpukan kedua jari tersilang itu pada sebutir peluru, kau akan mengalami raba, yakni dua peluru, tanpa disertai oleh rupa dua peluru. Aku pernah melihat se­buah roda berputar begitu pesat dan rata hingga menghadir­kan raba (yaitu gerak) tanpa rupa. Kebutaan dan kegelapan memisahkan secara efektif semua raba dari rupa tersang­kutpautnya. Bagi orang buta, besi adalah raba saja, api adalah raba saja, sinar matahari adalah raba saja. §17.—Lukisan, sulap, sihir alami, dll. merupakan pemisahan, secara artifisial ataupun spontan, eksistensi-eksistensi ter­indera yang biasanya alam sangkutpautkan. Seni lukis pada prinsipnya merupakan penghasilan rupa yang dipisahkan dari raba penyerta: rupa tonjolan tanpa raba; rupa jarak tanpa raba; rupa bentuk tanpa raba. Wewa­ngian merupakan pemisahan bau mawar, melati, dll dari rupa dan raba yang secara alami bersangkutpaut dengan bau. Ventriloquisme dan mimikri merupakan pemisahan bunyi dari rupa dan raba yang secara alami bersangkutpaut dengan bunyi. Sulap dan sihir alam adalah pemisahan semu atau aktual fenomena-fenomena yang umumnya alam sangkutpautkan; biasanya suatu rupa dipisahkan dari raba tersangkutpautnya. Jika sebuah gelas anggur setengah di­jejali wol katun, dan dicelupkan (dalam posisi terbalik) ke dalam semangkok air, katunnya akan memperagakan rupa, yakni basah, saat kau perlahan-lahan memunculkan gelas anggur. Bagi raba, katunnya akan kering. Rupa jauh lebih sering dan lebih mudah dipisahkan dari raba tersangkut­pautnya, ketimbang raba dari rupa tersangkutpautnya. §18.—Ketika kita melihat rupa, pengalaman saja yang me­yakinkan kita untuk menyangka bahwa itu tersangkutpaut dengan raba. Ignis fatuus adalah rupa, yakni api, tanpa raba. Kekagetan kita terhadap fenomena tersebut, dan keresahan orang jahil, tidak disebabkan oleh rupa, tapi oleh ketiadaan raba ter­sangkutpaut. Kita lupa bahwa pengalaman adalah satu-satunya jaminan yang kita miliki, apapun kenyataannya, untuk menyangka sebuah raba, padahal kita menemukan sebuah rupa. Kita keliru menganggap rupa sebagai bukti bahwa terdapat raba, dan karenanya kita tidak mencurigai kemungkinan kekeliruan ketika kita mempredikatkan ke­wujudan matahari, bulan, dan bintang. Kita menduga kita bisa melihat kewujudan mereka; sebuah dugaan yang me­libatkan absurditas bahwa kita bisa meraba dengan peng­lihatan kita. Ketika kita menatap ruang, dan tahu bahwa tangan kita tidak akan menjumpai perlawanan dalam me­nembusnya, dan ketika kita menatap kaca, dan tahu bahwa tangan kita akan menjumpai perlawanan dalam menem­busnya, pengetahuan dalam kedua kasus bersifat eksperi­mental, dan bukan bagian dari melihat kaca atau ruang. Bahwa asap tidaklah wujud, dan bahwa tembok batu adalah wujud, bahwa bulan tidak bisa digapai dengan tangan kita, dan bahwa meja bisa digapai, semuanya merupakan pe­nyingkapan perabaan, dan bukan penyingkapan penglihatan.
Judul asli : A Treatise on Language: or, The Relation which Words Bear to Things. Lecture II.<i=1XwHx5Abo4OwD2nIhmqGTkpFAasHFx6KD 313KB>A Treatise on Language: or, The Relation which Words Bear to Things. Lecture II.
Pengarang :
Seri : Risalat Bahasa #2
Penerbit : Relift Media, Februari 2023
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Mengenal Ciptaan Melalui Panca Indera, Dalam Memahami Pengetahuan dan Penamaan Terhadap Benda-benda

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2023)