Ketika kita katakan bahwa M. Comte telah menegakkan filosofinya menjadi sebuah agama, kata “agama” tidak boleh dipahami dalam pengertian yang biasa. Dia tidak mengubah sikap negatifnya terhadap teologi: agamanya adalah tanpa Tuhan.
Ketika kita katakan bahwa M. Comte telah menegakkan filosofinya menjadi sebuah agama, kata “agama” tidak boleh dipahami dalam pengertian yang biasa. Dia tidak mengubah sikap negatifnya terhadap teologi: agamanya adalah tanpa Tuhan. Dalam mengatakan ini, kita sudah cukup untuk membujuk sembilan per sepuluh pembaca, sekurangnya di negara kita sendiri, agar memalingkan muka dan menutup telinga mereka. Tidak memiliki agama, meski ini cukup menjadi aib, adalah ide yang dengannya mereka sudah setengah terbiasa; tapi tidak memiliki Tuhan, dan berbicara tentang agama, menurut mereka adalah sebuah kerancuan sekaligus kemungkaran. Di antara sepersepuluh sisanya, sebagian besar mungkin akan berpaling dari apapun yang menamakan dirinya dengan nama agama sama sekali. Di antara keduanya, sulit untuk menemukan audiens yang bisa dibujuk untuk mendengarkan M. Comte tanpa prasangka kuat. Tapi, supaya adil terhadap opini apapun, itu semestinya dipertimbangkan bukan semata-mata dari sudutpandang lawan, tapi dari sudutpandang akal yang mengemukakannya. Meski sadar itu golongan sangat kecil, kita mencoba-coba untuk berpikir bahwa sebuah agama dapat eksis tanpa kepercayaan kepada Tuhan, dan bahwa sebuah agama tanpa Tuhan dapat menjadi, bagi Kristiani sekalipun, objek kontemplasi yang mengandung pelajaran dan menguntungkan.
Sebenarnya, apa syarat-syarat yang diperlukan untuk menyusun sebuah agama? Harus ada sebuah kredo, atau pendirian, yang menuntut otoritas atas seluruh hidup manusia; sebuah kepercayaan, atau set kepercayaan, yang diadopsi dengan hati-hati, menyangkut takdir dan tugas manusia, dan orang beriman dalam batinnya mengakui bahwa semua tindakannya mesti lebih rendah daripada takdir dan tugas itu. Terlebih, harus ada sebuah sentimen yang terhubung dengan kredo ini, atau bisa dibangkitkan olehnya, secara cukup kuat untuk memberinya secara praktek otoritas atas perilaku manusia yang dituntutnya secara teori. Adalah sebuah keunggulan besar (meski tidak sepenuhnya wajib) bahwa sentimen ini sampai mengkristal, boleh dibilang, pada sebuah objek konkret, kalau bisa sebuah objek yang eksis secara riil, meski hanya hadir secara ideal, terlebih lagi dalam kasus-kasus penting. Teisme dan Kristen menawarkan objek demikian kepada orang beriman; tapi syarat-syarat dapat dipenuhi oleh sebuah objek lain meski tidak dengan cara yang betul-betul ekuivalen. Dikatakan bahwa siapapun yang mempercayai “sifat Ananta Tugas”, sekalipun dia tidak mempercayai hal lain, adalah religius. M. Comte mempercayai apa yang dimaksud dengan sifat ananta tugas, tapi dia merujuk kewajiban tugas—selain semua sentimen pengabdian—kepada sebuah objek konkret, yang ideal dan sekaligus riil: Ras Manusia, dikonsepsikan sebagai kesatuan sinambung, yang meliputi masa lalu, masa kini, dan masa depan. Eksistensi kolektif agung ini, “Grand Etre” (“Keberadaan Akbar”) ini, demikian dia mengistilahkannya, meski perasaan-perasaan yang bisa dibangkitkannya tentu saja sangat berbeda dari perasaan-perasaan yang mengarah kepada seorang Entitas ideal sempurna, memiliki (sebagaimana dia desak dengan kuat) keunggulan ini terhadap kita, bahwa ia betul-betul membutuhkan pelayanan kita, yang tidak mungkin dibutuhkan oleh Yang Maha Kuasa, dalam pengertian tulen istilah ini; dan M. Comte berkata bahwa, dengan mengasumsikan eksistensi seorang Providens Tertinggi (yang dia sama sekali tidak sangkal ataupun tegaskan), cara terbaik dan bahkan satu-satunya agar kita bisa menyembah atau melayani-Nya dengan patut adalah dengan berusaha sunggh-sungguh untuk mengasihi dan melayani Entitas Agung lain itu, yang Providensi inferiornya telah menganugerahi kita semua manfaat yang kita terima berkat kerja keras dan kebajikan generasi-generasi terdahulu. Tak cocok dengan kebiasaan jika kita menyebut ini sebuah agama; tapi istilah yang diterapkan secara demikian memiliki sebuah arti, arti yang tidak diekspresikan dengan cukup oleh kata lain manapun. Orang-orang jujur dari semua kredo mungkin bersedia mengakui bahwa jika seseorang memiliki sebuah objek ideal, di mana ikatan dan rasa tugasnya terhadapnya bisa mengendalikan dan mendisiplinkan semua sentimen dan kecenderungannya yang lain, dan menetapkan aturan hidup untuknya, orang tersebut memiliki agama; dan meski setiap orang tentu saja lebih menyukai agamanya sendiri daripada agama lain, semua harus mengakui bahwa jika objek ikatan ini, dan perasaan tugas ini, adalah agregat saudara-saudara kita sesama makhluk, Agama Kafir ini tidak bisa dengan jujur dan adil disebut agama yang buruk secara intrinsik. Bahkan, banyak orang mungkin tak bisa percaya objek ini mampu mengumpulkan perasaan-perasaan yang cukup kuat; tapi inilah persis poin yang hampir tidak bisa terus diragukan oleh pembaca cerdas tulisan M. Comte; dan kita bergabung dengannya dalam memandang rendah—sebagai irasional dan juga hina—konsepsi fitrah manusia sebagai tak mampu memberikan kasihnya dan mencurahkan eksistensinya kepada suatu objek yang tidak bisa memberikan kenikmatan personal abadi sebagai balasan.
Kekuasaan atas akal, yang dapat diraih oleh ide kepentingan umum ras manusia, baik sebagai sumber emosi maupun sebagai motif perilaku, sudah dirasakan oleh banyak orang; tapi kita tidak tahu apakah siapapun, sebelum M. Comte, menyadari semua kemegahan—yang rentan menimpa ide tersebut—secara lengkap sebagaimana Comte sadari. Itu naik ke dalam ceruk-ceruk masa lalu yang tak dikenal, merangkul masa kini yang bermacam-macam, dan turun ke dalam masa depan yang tak tentu dan tak teramal, membentuk sebuah Eksistensi kolektif tanpa awal atau akhir yang pasti, itu memohon perasaan sang Ananta, yang berakar mendalam dalam fitrah manusia, yang tampaknya diperlukan untuk keberkesanan semua konsepsi tertinggi kita. Bagian terbaik yang kita kenal dari jaring kehidupan manusia yang luas dan terhampar adalah masa lalu yang tak bisa dibatalkan; ini tak bisa lagi kita layani, tapi masih bisa kita kasihi; itu, bagi sebagian besar kita, terdiri dari jauh lebih banyak orang yang telah mengasihi kita, atau yang darinya kita meneima manfaat, selain rangkaian panjang orang-orang yang, melalui kerja keras dan pengorbanan untuk umat manusia, pantas dikenang selamanya dan penuh syukur. Sebagaimana M. Comte katakan dengan sungguh-sungguh, akal-akal tertinggi, bahkan saat ini, hidup dalam pikiran dengan orang-orang agung yang mati, daripada dengan orang-orang yang hidup, dan, selain orang-orang mati itu, dengan manusia-manusia ideal yang belum datang, yang mereka tak pernah ditakdirkan untuk melihatnya. Jika kita menghormati sebagaimana mestinya orang-orang yang telah melayani umat manusia di masa lalu, kita akan merasa kita juga sedang bekerja untuk para dermawan itu dengan melayani apa yang untuknya mereka mencurahkan hidup mereka. Dan ketika renungan yang dipandu oleh sejarah mengajari kita keintiman koneksi setiap zaman umat manusia dengan setiap yang lain, sehingga kita melihat dalam takdir duniawi umat manusia pemutaran sebuah drama besar, atau pelakonan sebuah epik berkepanjangan, semua generasi-generasi umat manusia menjadi tersatukan tak terpisahkan ke dalam citra tunggal, memadukan seluruh kekuasaan ide Keturunan atas akal dengan perasaan-perasaan terbaik kita terhadap dunia hidup yang mengelilingi kita, dan terhadap para pendahulu yang telah menjadikan kita seperti sekarang. Agar daya memuliakan dari konsepsi akbar ini berkhasiat penuh, kita sebaiknya, bersama M. Comte, memandang Grand Etre, Kemanusiaan, atau Umat Manusia sebagai tersusun—di masa lalu—hanya dari orang-orang yang di setiap zaman dan aneka posisi memainkan peran mereka dalam kehidupan secara berfaedah. Hanya dengan dibatasi seperti itulah agregat spesies kita menjadi objek yang layak kita puja. Anggota-anggota tak berfaedahnya sebaiknya dihilangkan dari pemikiran biasa kita; dan ketidaksempurnaan-ketidaksempurnaan yang melekat sepanjang hidup, bahkan pada orang-orang mati yang layak dikenang secara hormat, tidak boleh dicamkan lebih dari yang dibutuhkan untuk tidak memfalsifikasi konsepsi kita akan fakta-fakta. Di sisi lain, Grand Etre dalam keparipurnaannya semestinya mencakup bukan hanya semua yang kita puja, tapi semua makhluk berakal yang kepadanya kita berutang tugas, dan yang memiliki hak atas ikatan kita. Oleh karenanya, M. Comte memasukkan—ke dalam objek ideal yang pelayanannya adalah hukum hidup kita—bukan saja spesies kita sendiri, tapi juga, dalam derajat lebih rendah, pelengkap-pelengkap sederhana kita, ras-ras binatang itu yang memasuki pergaulan nyata dengan manusia, yang mengikatkan diri mereka kepadanya, dan sukarela bekerjasama dengannya, seperti anjing mulia yang memberikan hidupnya untuk sahabat dan dermawan manusianya. Gara-gara ini M. Comte terkena ejekan tak pantas, tapi tidak ada yang lebih benar atau lebih terhormat baginya dalam seluruh kumpulan doktrinnya [daripada ini]. Perasaan kuat yang selalu dia tunjukkan akan jasa binatang-binatang rendah, dan akan tugas-tugas umat manusia terhadap mereka, merupakan salah satu ciri terbaik karakternya.