Dalam agama sejati, seperti halnya di alam, kita memiliki “keesaan dalam kebhinnekaan dan kebhinnekaan dalam keesaan”, atau manusia dalam Tuhan dan Tuhan dalam manusia. Dalam bahasa Yesus, “Sama seperti Engkau, ya Bapak, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau; supaya mereka juga menjadi satu di dalam Kita.”
Di alam, Ketunggalan/Keesaan dan Keanekaragaman/Kebhinnekaan memiliki hak dan kewajiban sah masing-masing. Masing-masing mengisi lingkup semestinya, dan kita memiliki “keesaan dalam kebhinnekaan dan kebhinnekaan dalam keesaan”.
Begitu pula dalam agama. Sebuah agama tanpa keesaan tidak melambangkan Tuhan; tanpa kebhinnekaan ia tidak melambangkan manusia.
Sistem atau susunan yang bertujuan merekonsiliasikan manusia dengan Tuhan mesti melambangkan keduanya. Melebih-lebihkan keesaan dan menghancurkan kebhinnekaan sama dengan menghancurkan kemanusiaan dan menjadikan manusia sebagai budak, padahal agama sejati mesti menjadikannya merdeka.
Melebih-lebihkan kebhinnekaan hingga menghancurkan keesaan sama dengan menyingkirkan Tuhan, dan sebuah agama tak ber-Tuhan tidak bisa mendekatkan Tuhan dan manusia. Jadi ada dua kekeliruan yang ke dalamnya kita dapat jatuh; pertama, mengharapkan keesaan yang terlalu besar; kedua, mengajarkan kebhinnekaan yang terlalu besar.
Doktrin-doktrin esensial penyelamatan menempati pertengahan kencana antara ekstrim-ekstrim ini. Memancar dari Tuhan, mereka merupakan kesatuan sempurna, tapi dalam efek mereka terhadap akal-akal yang berlainan, mereka menghasilkan keanekaragaman yang persis cukup. Jadi, dalam agama sejati, seperti halnya di alam, kita memiliki “keesaan dalam kebhinnekaan dan kebhinnekaan dalam keesaan”, atau manusia dalam Tuhan dan Tuhan dalam manusia. Dalam bahasa Yesus, “Sama seperti Engkau, ya Bapak, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau; supaya mereka juga menjadi satu di dalam Kita.”
Apapun yang lebih atau kurang dari ini tidaklah proporsional. Doktrin-doktrin yang lahir dari manusia adalah serba kebhinnekaan dan nihil keesaan, alhasil serba manusia dan nihil Tuhan. Seandainya Tuhan memilih memerintah manusia tanpa agensi atau kemauan manusia (sehingga dia menjadi sebuah mesin, sepenuhnya bergerak sebagaimana digerakkan), akan terdapat serba keesaan dan nihil kebhinnekaan, atau serba Tuhan dan nihil manusia.
Maka, berhubung agama sejati melambangkan Tuhan dan manusia, kita dapat mengharapkan keesaan maupun kebhinnekaan; juga, dalam cara kerja praktisnya, kekuatan maupun kelemahan. Berhubung kekuasaan besar yang memerintah dan mengatur adalah sempurna, kita dapat menyangka itu akan tumbuh dan berkembang luar biasa ke arah kesempurnaan; tapi, berhubung itu mengandung elemen kelemahan, yang dilambangkan oleh manusia, kita tak perlu kaget jika melihat tonjolan ketidaksempurnaan, tidak perlu pula menyimpulkan tidak ada Tuhan di dalamnya lantaran ada kekeliruan-kekeliruan yang diperbuat.
Berkas-berkas sinar matahari selalu itu-itu juga, tapi mereka menghasilkan keanekaragaman warna sesuai objek yang mereka kenai. Dari tempatku duduk aku bisa menghitung sekurangnya sembilan corak hijau. Ada pula cokelat, biru, kelabu, merah, putih, dst, tapi matahari yang sama “mengerjakan semuanya”. (Aku menggunakan bahasa yang Paulus terapkan pada karunia spiritual untuk tujuan yang jelas.) Kepada jeruk, matahari memberikan dedaunan hijau gelap; kepada ceri, matahari yang sama memberikan hijau lebih terang. Kepada satu bunga diberikan biru, kepada yang lain merah, kepada yang lain putih, kepada yang lain ungu, kepada yang lain beberapa corak warna, tapi semua ini bekerja dengan matahari yang itu-itu juga “yang membagikan kepada mereka masing-masing sesuai kemauannya”. Jadi, melalui kesatuan berkas-berkas sinar matahari, dihasilkan keanekaragaman yang memperindah dunia kita ini. Betapa jelek dan menjemukan jika ada kesatuan/ketunggalan sempurna bentuk dan warna pada semua makhluk alam, tapi betapa kacau dan anorganik jika semua tidak berpadu dalam kesatuan sempurna.