Skip to content
Sufisme Panteistik – Relift Media

Sufisme Panteistik Bacaan non-fiksi sosial

author _Alfred von Kremer_; date _1868_ genre _Sosial_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ Tendensi ekstatik para asketik Islam dan para Sufi belakangan timbul dari permulaan-permulaan ini. Kala itu, seperti saat ini, fase-fase perasaan yang berasal dari diri sendiri dinisbatkan pada sebab-sebab luar; sejak zaman paling lampau manusia telah mencari di luar mereka Tuhan yang mereka kandung di dalam.

1. Makna Mistikisme Islam

Hukum moral yang diumumkan oleh Musa 3.000 tahun lampau cocok dengan yang mengatur manu­sia hari ini, terlepas dari berbagai tahap kebudayaan mereka; ajaran-ajaran moral seorang Buddha dan Konfusius cocok dengan ajaran-ajaran Injil, dan dosa-dosa yang—menurut Kitab Kematian bangsa Mesir kuno—akan manusia pertang­gungjawabkan kepada para hakim akhirat adalah tetap dosa-dosa setelah 4.000 tahun berlalu. Jika hakikat Kausa Per­tama gaib sampai dipahami sama sekali, itu hanya mungkin jika mempertimbangkan prinsip-prinsip moral tetap yang setiap manusia miliki dalam dadanya. Oleh karenanya, ide Tuhan bukanlah urusan pemahaman, tapi urusan perasaan dan hati nurani. Mistikisme selalu menganggapnya demi­kian, dan oleh karenanya selalu punya daya tarik kuat bagi porsi umat manusia emosional dan mudah tergugah yang dilipurnya dalam ujian dan penderitaan. Maka, setiap agama lebih ditujukan untuk emosi ketimbang untuk pemahaman, dan karenanya mereka semua mengandung tendensi mistik. Mistikisme Islam dan Kristen memiliki banyak titik kontak, dan melalui mistikisme, barangkali untuk pertama kalinya, akan terjembatani jurang lebar yang memisahkan Islam dari Kristen, dan dengan demikian dari peradaban modern. Se­jauh berbagai agama mengekspresikan ideal-ideal kebaikan dan kebenaran, mereka mendekati satu sama lain sebagai manifestasi prinsip moral yang tetap. Karena menduga ini, orang-orang Mu’tazilah (atau para pemikir bebas dalam Islam), di masa ketika Eropa terbaring dalam kebingungan intelektual dan moral yang mendalam, memperjuangkan sa­lah satu dari ide-ide yang—meski segera terendam lagi dalam badai arus zaman—terus bekerja dalam diam dan akhirnya muncul sebagai pemenang. Pada hari ketika Muslim tak lagi melihat hanya kemahakuasaan Tuhan, tapi juga kebajikan Tuhan, dia akan serta-merta memasuki kembali lingkaran bangsa-bangsa besar berada, di mana dia dulu memenang­kan tempat pertama, meski hanya sebentar. Mungkin tidak terlalu fantastis untuk menggembar-gem­borkan—sebagai pertanda kemenangan mistikisme moral atas kekakuan dogmatis Islam—fakta bahwa sultan saat ini, Sultan Muhammad V, disabuki dengan pedang Osman oleh ketua para darwish Maulawiyah, sebuah sekte yang didirikan oleh guru mistik agung Jalaluddin Rumi dari Ikonium/Konya. 43 tahun silam seorang Orientalis Persia Mirza Kasim Beg menulis dalam Journal Asiatique:
“Satu-satunya suara dalam Islam yang bisa membawa pada reformasi adalah doktrin mistikisme.”

2. Fase-fase Awal

Periode ketika asketisisme yang diamalkan oleh para Sufi awal berubah ke dalam panteisme penuh lamun­an yang menjadi ciri Sufisme belakangan adalah akhir abad 3 sesudah Muhammad. Ini memasukkan elemen baru ke dalam Islam, elemen yang selama berabad-abad melancar­kan pengaruh kuat pada kebudayaan kebangsaan, dan masih beroperasi parsial saat ini. Konsepsi Tuhan dan relasi antara yang anta dan insani dengan yang ananta dan ilahi sejak masa ini menjadi subjek utama penyelidikan dan perenung­an. Orang yang ditakdirkan untuk pertama kali mengungkap­kan secara pasti ide-ide tersebut, yang selama ini asing bagi Sufisme Arab, adalah seorang pekerja miskin, seorang pe­nyisir katun, yang menyandang nama Hallaj. Dia adalah orang Persia yang di-Arabisasi, lahir di Persia, tapi dididik di Irak, di mana dia menikmati keistimewaan diajari oleh Junaid. Kisah hidupnya sebagaimana diwariskan oleh para penulis Syiah atau Sunni sangat dibesar-besarkan. Namun, jelas dia memiliki banyak sekali murid yang mentakzimkan­nya sebagai pembimbing spiritual mereka dan menisbatkan padanya kemampuan hampir supranatural. Popularitasnya yang terus bertambah sangat menyinggung para mullah orto­doks, yang menggerakkan pihak berwenang untuk menuntut­nya dan berhasil mengadakan pengeksekusiannya pada 922 M. Sebelum kematiannya dia mengalami penyiksaan hebat, yang dia pikul dengan ketenangan luar biasa. Alasan penghukumannya dinyatakan bahwa dia meng­anggap dirinya inkarnasi/jelmaan Tuhan. Murid-muridnya menghormatinya sebagai wali pasca kematiannya. Mereka menisbatkan padanya perkataan masyhur, “Aku adalah Kebe­naran” (yakni Tuhan), yang mereka pahami dalam pengertian panteistik. Dia konon mengajarkan doktrin inkarnasi Tuhan dalam manusia dan mengucapkan seruan:
Segala puji bagi Yang Maha Tinggi Yang telah meng­ungkapkan kemanusiaan-Nya dan menyembunyikan kemegahan Ketuhanan-Nya yang maha kuat. Barang­siapa memurnikan diri dengan pemantangan dan me­nyucikan diri dari setiap jejak kedagingan, kepadanya Roh Tuhan masuk, sebagaimana itu memasuki Yesus. Ketika dia telah mencapai derajat kesempurnaan ini, apapun yang dia kehendaki terjadi, dan apapun yang dia lakukan dilakukan oleh Tuhan.
Surat-suratnya kepada para muridnya konon diawali dengan formula, “Dari Tuan segala Tuan kepada hamba-hamba-Nya.” Murid-muridnya menulis kepadanya:
Wahai Roh-nya Roh! Wahai Tujuan tertinggi dari yang suci: Kami bersaksi bahwa Kau telah menjelmakan Diri-Mu dalam wujud Husain si penyisir katun (Hallaj). Kami berlindung kepada-Mu dan berharap pada rahmat-Mu, wahai Yang Mengetahui rahasia-rahasia.
Keaslian fragmen-fragmen ini memiliki banyak sandaran, tapi tidak sepenuhnya pasti. Namun, sebanyak ini jelas, bahwa murid-murid Hallaj pasca kematiannya memandang­nya sebagai entitas ilahi. Ibnu Hazm, seorang pengarang terpercaya yang menulis hanya 150 tahun sesudah eksekusi Hallaj, berkata demikian dengan tegas. Ghazali, yang menu­lis sekitar 50 tahun kemudian lagi, tidak menyebutkan ini, tapi melindungi Hallaj dari tuduhan penistaan dengan me­nafsirkan seruannya (“Aku adalah Kebenaran”) dalam pe­ngertian panteistik, dan mempermisikannya dengan me­ngaitkannya pada kecintaan berlebihan kepada Tuhan dan pada esktase mistik. Di tempat lain dia mengatakan:
Selubung pertama antara Allah dan hamba-Nya adalah jiwa hamba-Nya. Tapi kedalaman tersembunyi hati manusia adalah ilahiah dan diterangi oleh cahaya dari atas; sebab di situ tercermin Kebenaran abadi secara utuh, sehingga itu melingkupi alam semesta dalam dirinya sendiri. Nah ketika seseorang menujukan pan­dangannya pada hatinya sendiri yang diterangi secara ilahi, dia disilaukan oleh nyala keindahannya, dan ungkapan “Aku adalah Tuhan!” keluar dari mulutnya dengan mudah. Jika dari tahap ini dia tidak maju lebih lanjut dalam hal pengetahuan, dia sering jatuh ke dalam kesalahan dan hancur. Seolah-olah dia meng­izinkan dirinya sendiri disesatkan oleh cetus kecil dari samudera cahaya Tuhan, alih-alih mendesak maju untuk memperoleh lebih banyak cahaya. Alasan peni­puan diri ini adalah bahwa dia, yang di dalam dirinya Yang Supranatural tercermin, salah mengira dirinya sebagai itu. Jadi warna sebuah gambar yang terlihat dalam sebuah cermin kadang tertukar dengan cermin itu sendiri.
Hallaj tidak lebih dari perlambangan sebuah ide lama, bersumber dari India, yang dia padukan dengan Sufisme, dengan demikian memberi arah yang sama sekali baru pada pemikiran Islam, arah yang penting, lantaran membawa kepada perkembangan konsepsi Tuhan yang sama sekali baru. Bahkan sebelum Hallaj, doktrin inkarnasi/penjelmaan telah muncul dalam Islam. Khalifah Ali diriwayatkan sebagai demikian, dan karenanya dimuliakan oleh kaum Syiah. Sekte Khattabiyyah menyembah Imam Jafar Sadiq sebagai Tuhan. Sebuah sekte lain meyakini Roh Ilahi telah turun pada Abdul­lah bin Amr.
Judul asli : Pantheistic Sufism<i=191z_IX7lBgV9Xh3-0CslkgY92VfLq8sG 280KB>Pantheistic Sufism
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Mei 2024
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Sufisme Panteistik

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2024)