Skip to content
Berapa Banyak Tuhan dalam Ketuhanan? Adakah Lebih Dari Satu? – Relift Media

Berapa Banyak Tuhan dalam Ketuhanan? Adakah Lebih Dari Satu? Bacaan non-fiksi religi

author _Ashbel Green_; date _1841_ genre _Religi_; category _Lektur_; type _Nonfiksi_ “Diketahui luas bahwa kata asli yang umumnya diterjemahkan sebagai Tuhan adalah jamak; dan bahwa ketika digunakan demikian, itu digabung dengan kata kerja tunggal. Anomali gramatis ini, di pembukaan Kitab Suci, tampaknya memberi kita suatu isyarat, yakni Kemajemukan dalam Keesaan Ketuhanan.” Usai mempertimbangkan wujud dan atribut-atribut Tuhan, poin berikutnya yang menarik perhatian kita adalah Keesaan-Nya. Ini diungkapkan dalam jawaban untuk pertanyaan kelima dari Katekismus kita, begini: “Hanya ada satu, Tuhan yang hidup dan benar.” Ingat bahwa semua argumen yang telah dikemukakan untuk membuktikan—dan yang kupikir membuktikan de­ngan paling tegas—eksistensi seorang Tuhan, membuktikan pula dengan sama jelasnya bahwa Dia maha dan sempurna dalam wujud dan atribut-atribut-Nya. Camkan ini, dan kemu­dian tinjau baik-baik, bahwa satu wujud maha dan sempurna adalah memadai untuk memberi eksistensi kepada semua wujud-wujud lain dan untuk menegakkan dan memerintah mereka kemudian. Pendek kata, tak ada kebutuhan untuk menyangka lebih dari satu kausa tertinggi dalam menerang­kan keberadaan semesta. Ini belum semuanya. Satu wujud maha dan sempurna adalah mutlak dan pasti menyingkirkan kemungkinan adanya yang kedua. Jika dua wujud disangka memiliki atribut-atribut setara atau serupa, maka tak satupun dari keduanya maha dan sempurna; karena jelas bahwa jika kepada masing-masingnya diberikan wewenang dan prerogratif satu sama lain, maka akan ada penambahan pada apa yang sudah dimiliki. Tapi apa yang maha dan sempurna tidak memperkenankan penambahan; dan oleh karena itu, sebagaimana sudah kita simak bahwa Tuhan adalah maha dan sempurna, ada dan hanya ada satu Tuhan. Menurutku ini betul-betul tegas, sebagai sebuah penalaran, dan semua hal yang kita lihat—bahkan tanpa bantuan Kitab Suci—mengkonfirmasi kesimpulan ini sebagai fakta. Ketika kita merenungkan semesta tampak, di setiap tempat kita me­nyaksikan, bukan hanya kekuatan, kebijaksanaan, kebaikan, tapi juga, dalam keselarasan dan tatanan sempurna segala­nya, kita melihat sebuah kesatuan dan kesederhanaan desain dan tujuan, yang menanamkan keyakinan dengan sekuat-kuatnya bahwa satu, dan hanya satu wujud mulia, mencipta­kannya mula-mula, dan menegakkan dan memerintahnya terus-menerus. Tapi, sahabat-sahabat mudaku, walaupun kebenaran penting ini (bahwa hanya ada satu Tuhan) begitu jelas bagi kita sampai-sampai tak butuh banyak waktu untuk dibukti­kan atau diuraikan, kalian mesti ingat, dan sangat bersyukur selagi kalian ingat, bahwa kepercayaan kalian terhadap kebe­naran tersebut adalah karena kalian diberkati dengan pelita wahyu. Orang-orang kafir mungkin mengatakan apapun yang mereka suka tentang ketidakgunaan Alkitab, dan tentang cukupnya pelita alam tanpa itu. Padahal yang sebenarnya adalah bahwa banyak dari apa yang mereka sebut pelita alam mereka pinjam dari Alkitab, dan mereka dengan sangat tak adil dan tak bersyukur menolak mengakui utang mereka. Ketika sebuah poin diungkapkan dan diajarkan dengan jelas, seringkali tidak sulit untuk menunjukkan bahwa itu disukai oleh nalar dan alam, padahal nalar dan alam, jika dibiarkan sendiri, tak bakal pernah mengajarkannya. Ini terutama benar berkenaan dengan subjek di hadapan kita. Keesaan Tuhan tampak jelas bagi kita; dan dalam kenyataannya memang begitu. Tapi atas ini kita sepenuhnya berutang pada Alkitab; sebab sebagaimana kita tinjau sebelum ini, umat manusia di setiap zaman dan bangsa dunia di mana pelita wahyu belum dinikmati adalah orang-orang politeis dan penyembah ber­hala. Kekotoran pemberhalaan di dunia pagan, bahkan di bangsa-bangsa yang paling baik dalam hal-hal lain, sangat-sangat menggemparkan. Ketika direnungkan serius, itu menampilkan salah satu pandangan paling merendahkan tentang kelemahan dan kebejatan sifat kita yang bisa dianut. Hampir tak ada binatang, seberapa rendah atau memuakkan pun, hampir tak ada keasusilaan atau nafsu, seberapa men­jijikkan pun, yang tidak dipertuhankan dan disembah. Untuk mengarahkan perhatian kita secara jelas pada perbedaan antara objek ilahi ibadah Kristen dan gerombolan gembel najis dewa-dewa pagan, untuk inilah jawaban Katekismus menyebut Jehovah, “hanya satu, Tuhan yang hidup dan benar”—“Dewa-dewa kaum pagan adalah kesia-siaan dan kebohongan”. Mungkin akan tampak sebagai ketergila-gilaan aneh bagi kita bahwa orang-orang bani Israel kuno begitu kuat dan bandel cenderung menyembah dewa-dewa, sebagaimana dilukiskan oleh Kitab Suci. Tapi ini timbul bukan dari pema­haman tepat akan keadaan dunia pada waktu itu. Keadaan India saat ini paling mengilustrasikannya. Di sana pember­halaan masih merajalela, sebagaimana di kalangan kaum pagan yang mengelilingi Palestina dan berbaur dengan bangsa Ibrani di masa para hakim dan para raja mereka. Di India, pada masa kini, semua deskripsi kaum tersebut adalah penyembah berhala; dewa-dewa palsu mereka mencapai beribu-ribu; kuil-kuil mereka megah, dan seluruh kebaktian dikalkulasi untuk menggelorakan dan memuaskan hasrat dan nafsu kotor. Untuk menjaga bangsa pilihan Tuhan dari berbagai abominasi pemberhalaan, dan sekaligus untuk menegakkan pasal paling fundamental dari agama sejati untuk gereja di setiap zaman, untuk maksud-maksud inilah banyak hal diucapkan dan dilakukan untuk mempertahankan keperca­yaan praktis keesaan Tuhan di kalangan bani Israel kuno. Lebih banyak waktu daripada yang dijatahkan untuk lektur ini akan terhabiskan hanya untuk mengkhatamkan petikan-petikan yang di dalamnya kebenaran agung ini diajarkan dan ditanamkan, secara langsung ataupun sampingan; sebab semua yang dikatakan kontra penyembahan patung, atau makhluk jenis apapun, ditujukan pada poin ini. Oleh karena­nya, cukuplah mengingatkan kalian bahwa perintah pertama dalam dekalog memiliki kebenaran esensial ini sebagai pokoknya: “Jangan ada padamu tuhan-tuhan lain di hadapan-Ku.” Aku bersedia mendesak topik ini lebih jauh, karena ada orang-orang yang suka mengisyaratkan, dan yang kadang menyatakan secara terang-terangan, bahwa apa yang akan kita pertimbangkan sebentar lagi—doktrin Trinitas—adalah sebetulnya pengingkaran terhadap keesaan Tuhan. Tapi kita menolak tuduhan tersebut dengan sebenci-bencinya, dan jawaban Katekismus kita (yang baru saja kita uraikan) me­rupakan bukti bahwa tuduhan itu tidak berdasar, tidak benar, dan jelek. Dengan kata-kata ini, aku berlanjut ke jawaban berikut, yang diekspresikan begini: “Terdapat tiga persona/oknum dalam Ketuhanan, yaitu Bapak, Putera, dan Roh Kudus; dan ketiga ini adalah satu Tuhan, sama dalam substansi, setara dalam kekuatan dan kemuliaan.” Patut dikatakan bahwa bukan saja keesaan Tuhan diajarkan secara eksklusif dalam jawaban terdahulu, tapi juga bahwa itu diulangi dalam jawaban ini, di mana dinyatakan Trinitas persona-persona: “ketiga ini adalah satu Tuhan”. Begitu cermatnya gereja kita untuk mencegah salahpaham terhadap pasal besar agama ini. Dalam mempertimbangkan jawaban ini, yang di dalamnya terkandung misteri besar dan sekaligus pasal esensial keimanan Kristen, mungkin ada baiknya menjelaskan kepada kalian dua istilah yang dipakai di dalam jawaban. Yang per­tama adalah kata Ketuhanan: “terdapat tiga persona dalam Ketuhanan.” Ini adalah terjemahan dari kata-kata Yunani το θειον, dan θειοτης (to theion dan theiotes), yang digunakan dalam Perjanjian Baru, untuk menunjukkan Tuhan esensial atau esensi ilahi. Maka jawabannya adalah: terdapat tiga persona dalam esensi ilahi. Kata persona-persona adalah istilah kedua yang akan kujelaskan. Persona adalah terjemahan dari kata Yunani ὑποστασις (hipostasis). Kata ini berkali-kali dipakai dalam Per­janjian Baru Yunani dan merupakan istilah yang diperguna­kan dalam Ibrani i. 3, di mana dikatakan perihal Putera Tuhan, Juru Selamat kita, “bahwa dia adalah kecerlangan kemuliaan (Bapak)-nya, dan citra tepat dari persona [Bapak]-nya.” Barangkali dari sini para bapa gereja Yunani tertuntun untuk memakai istilah ini dalam bilangan jamak, untuk mengekspresikan pembedaan-pembedaan dalam Trinitas tercinta itu. Kita menerjemahkan kata ὑποστασις (hipostasis) sebagai persona, karena bahasa kita tidak memiliki istilah yang lebih baik; kendati kita akui maknanya tidak persis bersesuaian dengan kata Yunani-nya. Tapi yang kita maksud dengan persona, terkait subjek ini, adalah seorang agen cerdas, yang kepadanya diterapkan kata ganti orang, Aku, kau, dia, dan yang digambarkan dalam Kitab Suci sebagai berkehendak dan bertindak, sebagaimana seorang individu berkehendak dan bertindak. Mark, dalam paparannya tentang teologi ber­judul Medulla, mendefinisikan personalitas begini: “Sebuah mode eksistensi positif, yang pada puncaknya mengakhiri dan mengisi alam substansi, dan memberinya inkomunikabi­litas. Kita juga memanfaatkan kata Trinitas. Ini bukan sebuah istilah Kitab Suci, tapi ini diperkenalkan sejak awal oleh para bapa Kristen untuk menunjukkan, dengan satu kata, ketung­galan tiga persona dalam esensi ilahi yang mereka anggap sebagai pasal fundamental keyakinan Kristen. Itu secara keras menandakan ketritunggalan, atau penyatuan tiga dalam satu; dan oleh karenanya itu merupakan ekspresi tepat dari ide yang hendak disampaikan. Tidaklah masuk akal untuk keberatan terhadap istilah-istilah pantas dan tepat hanya karena mereka tidak ditemu­kan dalam Kitab Suci, sementara gagasan atau ide yang mereka sampaikan ditemukan dengan jelas dan sering di situ. Istilah-istilah yang mengandung beberapa ide harus sering digunakan, kecuali jika kita memperkenalkan kebertele-tele­an yang bakal menghancurkan semua kejelasan penalaran, selain semua kerapian ekspresi. Orang-orang yang biasanya mengajukan keberatan yang kutanggapi di sini, semestinya ingat bahwa Unitarian bukanlah istilah kitab suci, apalagi Trinitarian; dan bahwa kata ketunggalan/keesaan sendiri hanya dua kali ditemukan di dalam Perjanjian Baru; dan di mana ia ditemukan tak ada kaitan sama sekali dengan subjek ini. Setelah menjelaskan istilah-istilah yang akan dipakai dalam diskusi ini, sebagai pendahuluan aku hanya akan ber­komentar lebih lanjut bahwa doktrin Trinitas adalah doktrin wahyu murni. Nalar manusia semata sudah pasti tidak bakal menemukannya. Bahwa kita punya nalar bagus untuk per­caya itu diwahyukan kepada para orangtua pertama kita, aku akan punya kesempatan nanti untuk menunjukkannya sesu­dah ini; dan bahwa itu diturunkan melalui tradisi, sehingga kurang-lebih dikenal oleh bangsa-bangsa pagan purbakala, kupikir itu sudah ditunjukkan secara memuaskan oleh beberapa penulis terpelajar. Tapi kebenaran itu sendiri bisa datang mula-mula dari wahyu saja. Pelita alam mungkin me­mang menemukan eksistensi Kausa/Sebab pertama agung dan menunjukkan sebagian besar kesempurnaan ilahi. Tapi tampaknya tak ada cara terbayangkan dengan mana nalar manusia, tanpa bantuan wahyu ilahi, bisa mencapai pengeta­huan bahwa Entitas Tertinggi adalah satu dalam esensi tapi tiga dalam personalitas.
Judul asli : Are there More Gods than One? How Many Persons are there in the Godhead?<i=19eqkNewcwMSeqP4QQB5rAraHj3fYVnCE 535KB>Are there More Gods than One? How Many Persons are there in the Godhead?
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, November 2023
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Berapa Banyak Tuhan dalam Ketuhanan? Adakah Lebih Dari Satu?

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2023)