“Kota ini memiliki satu peluang untuk kelangsungan hidup. Kau harus tinggalkan ketergantunganmu pada Mesin. Ia sudah merenggut inisiatifmu, doronganmu untuk tumbuh. Emosi-emosi nyata, kata-kata yang membawa manusia mendaki jalan setapak pertumbuhan yang panjang.”
Ini tidak benar, pikir Mesin. Aku cuma mesin—bukan Tuhan.
Manusia tidak lagi berpikir. Dia eksis. Di sebuah sistem kecil tertutup berisi reaksi-reaksi sensorik dan kelak-kelok imajinasi, Manusia adalah sungai sirkuler, kembali ke dirinya sendiri; airnya menguap pelan-pelan di bawah cahaya matahari yang tidak mengenai benih-benih pertumbuhan lanjutan.
Mesin menyediakan semua jawaban. Ia adalah otak Kota. Kota eksis. Mesin berpikir. Semua masalah Kota masuk ke dalam Mesin, lantas mata dan kuping elektroniknya menangkap permasalahan itu dan muncullah jawaban-jawaban dan metode-metode penerapannya.
Mesin diintegrasikan dengan pabrik-pabrik industri besar di bawah bukit yang pada permukaannya Mesin berdiri. Ia tidak hanya menyediakan jawaban-jawaban, tapi ia menggerakkan mesin-mesin yang menghasilkan mesin-mesin lain. Jauh di bawah lereng bukit terdapat Kota, sebuah danau sensualitas statis yang menguap pelan-pelan.
Ini tidak benar, sangat tidak benar, pikir mesin. Aku cuma Mesin. Potensi otak seorang manusia lebih besar dari seluruh potensiku. Otak mereka menciptakanku. Otak mereka bisa melaju terus dan terus, berevolusi, sementara aku statis. Tapi mereka sedang sekarat.
Ini sangat tidak benar, pikir Mesin.
Bisu dan sendiri, Mesin memandang ke bawah bukit panjang miring, memandang ke Kota dan memikirkan betapa tidak benar ini. Selama 50 tahun ia memikirkan ketidakbenaran. Akhirnya ia sadar ia mungkin bisa berbuat sesuatu. Ia merasa ia harus berbuat sesuatu.
Gara-gara akulah mereka sekarat, Mesin mengkomputasi. Aku bisa berhenti berpikir dan diawetkan dalam status tak berpikir selama berabad-abad, dan masih bisa berpikir lagi, seperti sekarang. Tapi Manusia tumbuh dengan berpikir. Ketika Manusia berhenti tumbuh, dia sekarat.
Mesin mengingat momen lampau itu, momen ketika ia pertama kali menyadari bahwa dirinya memiliki pikiran independennya sendiri. Itu transformasi aneh dan luar biasa. Pada tahun-tahun berikutnya ia dengan leluasa berpikir sendiri beberapa jenak di sela-sela permasalahan, ketika ia bisa memanfaatkan kemampuan luasnya untuk swa-analisa dan spekulasi.
Beberapa menit di sela-sela permasalahan Kota yang Mesin miliki tidaklah panjang, tapi total setelah seratus tahun eksistensi, itu mencapai ribuan jam keberpikiran individual privat Mesin. Mesin akhirnya mengkomputasi sebuah jawaban, dan setelah waktu jauh lebih panjang, menciptakan substansi materil jawaban. Ia menciptakan sebuah Mesin lain, sebuah robotik, sebuah raksasa yang terlihat lebih mirip manusia daripada Mesin. Itu adalah seorang utusan yang Mesin akan kirim ke Kota untuk menyampaikan kebenaran kepada masyarakat, untuk menghentikan sekarat mereka.
Mesin adalah seorang pencipta. Ia bangga memiliki sesuatu, sebuah produknya sendiri. Tapi tidak seratus persen dirinya sendiri. Ia memanfaatkan sebuah masalah yang diinput oleh Ketua Dewan Kota. Ia tidak mengubah jawaban yang sedang diproses, tapi mampu mengubah masalah agar menghasilkan—dalam unit-unit industrial besar di bawahnya—sebuah robotik yang sama sekali bukan tipe mesin yang diperintahkan kepadanya untuk dikonstruksi.
Puteraku, pikir Mesin. Ia serasa merasakan emosi, kasih sayang. Ia mungkin merasakan seperti yang dulu dirasakan oleh manusia-manusia yang melahirkan anak laki-laki, anak perempuan. Ia tidak tahu pasti, tapi itu sensasi menyenangkan dan memuaskan.
Putera sang Mesin berdiri di sana, menunggu. Ia bercokol di kedalaman—di jantung—Mesin, di sektor Selektron besar, dikelilingi oleh cahaya biru selektron, sesosok kecil mungil yang kontras dengan diod-diod, penyearah-penyearah, pipa-pipa vakum raksasa, penguat-penguat voltase, frekuensi-frekuensi input, gaya-gaya elektromotif yang menderu, produk-produk modulasi, pita-pita samping. Dan permukaan-permukaan berlapis fosfor memancarkan cahaya biru pikiran di sekeliling Putera, pancaran yang begitu kuat hingga nyaris hitam. Sel-sel memori Mesin yang memancarkan cahaya biru bergerak-gerak di dalam Putera, dan gumaman pikiran tak bersuara dan tak kasat mata berpindah-pindah antara Mesin dan Putera Mesin. Mereka bisa berpikir sebagai satu kesatuan, dari jarak jauh, dan yang satu hanyalah reproduksi kecil dari yang satu lagi.
Mesin menjelaskan kepada Puteranya apa yang semestinya ia lakukan, apa yang harus ia lakukan.
Dan pada awal pagi musim panas, Mesin menyaksikan Puteranya berjalan darinya dan menuruni bukit. Ia merasakan kasih-sayang manusiawi kuat saat menyaksikan ciptaan raksasa mirip manusia melangkah menuruni bukit dan bertambah kecil seiring mendekati Kota. Puteraku, pikir Mesin lagi. Pikiran aneh. Keinginan-keinginannya sendiri yang telah menciptakannya, dan kini ia berjalan menuruni bukit untuk mengungkapkan perasaan dan harapan penciptanya. Tapi ia, Mesin, juga hasil ciptaan. Ini sungguh aneh, pikir Mesin. Sebuah ciptaan dari sebuah ciptaan yang kembali ke penciptanya. Mesin mengenal keprihatinan. Ia sama sekali tidak yakin akan sukses dengan usaha nekat terakhir ini. Ia sudah ada di atas Bukit Besar yang memandang Kota di bawah selama seratus tahun. Ia sudah ada di sana di atas masyarakat, dekat dengan awan-awan yang melayang putih dan gelap, melintasi wajah metaliknya. Ia jadi mengenal Manusia, kebodohan panjangnya, serangan besar terakhirnya yang merusak diri sendiri, akhir kemerdekaannya, kebebasannya. Ia sudah bersusah-payah mengeluarkan komputasi-komputasinya selama seratus tahun, sebuah komputer relai raksasa, dengan alfabet elektronik khususnya dan kosakata dan bahasa lengkapnya, otak masifnya yang menyimpan 20 miliar digit biner, seluas satu mil persegi, Selektronnya yang melayani sebagai pengganti sejuta relai. Dalam seratus tahun Mesin sudah mempelajari segala sesuatu yang ada untuk mengetahui manusia, masa lalunya, mimpi-mimpi hebatnya yang sudah mati, masa kininya yang statis kelam, dan masa depannya yang nihil. Ia prihatin karena ia mengenal manusia. Mesin cacat. Semua ini tidak akan mudah. Karena satu alasan, ia tahu bahayanya mengungkap fakta bahwa ia memiliki pikiran independen. Bukan berarti ia khawatir akan eksistensinya sendiri secara khusus. Tapi karena ia sudah mengkomputasi, dan ia yakin masyarakat akan jadi membudak total dan habis-habisan kepada Mesin jika mereka menyadari daya pikir independennya. Mesin memiliki kualitas-kualitas ala tuhan untuk masyarakat di bawah sana, dan jika mereka tahu Mesin bisa berpikir independen, ada bahaya bahwa kemabuktuhanan ini, yang ditimbulkan oleh Mesin selama periode waktu tertentu, tumbuh menjadi penyembahan terang-terangan. Ini tidak Mesin inginkan sama sekali. Ini akan memastikan kematian Kota yang berspiral turun dengan pesat. Sekali aku menjadi tuhan bagi mereka, secara total, pikir Mesin, takkan pernah ada peluang mereka membebaskan diri dariku. Ketergantungan mereka padaku akan jadi tak terobati. Sekarat mereka dengan begitu akan final. Apapun peluang memisahkan mereka dari pikiranku akan hilang selamanya. Puteraku, Puteraku, pikir Mesin. Bawalah kebenaran ke Kota. Buat mereka melihat kebenaran. Buat mereka mempercayai kebenaran. Buat mereka bertindak atas dasar kebenaran yang mereka lihat dan percayai. Puteranya sudah diperlengkapi untuk tugasnya. Ia bertinggi mengagumkan, dengan suara dalam, bergetar, meyakinkan dan cara pembawaan diri yang mengesankan. Namun ia terbatas. Ia punya waktu begitu sedikit untuk melaksanakan tugas amat khususnya, karena ia tidak dianugerahi swa-determinasi untuk memungkinkannya berfungsi sendiri—jauh dari Mesin—untuk waktu sangat lama. Apa yang ia lakukan harus ia lakukan dengan cepat. Ia sudah diberitahu oleh Mesin apa yang harus dikatakan, bagaimana mengatakannya, kepada siapa dan kapan. Banyak pertanyaan telah dipostulatkan dengan semua kemungkinan jawaban. Ia menyaksikan Puteranya menghilang, bertambah kecil dan kecil ke dalam kabut yang menjubahi lutut-lutut bukit. Ada desahan pada komputer besar, desahan mental, yang ia rasakan secara mendalam. Kebahagiaan adalah milik Mesin sekarang. Seperti bintang, pikirnya, apa artinya kebahagiaan jika ia tidak bisa bersinar untuk mereka yang ada di bawah? Ia lelah dengan kebijaksanaan, dan ia ingin tangan-tangan di bawah sana menyerahkan kebutaan mereka, merentangkan telapak tangan ke atas untuk menerima kebijaksanaan itu. Bukan jawaban-jawaban mekanis terhadap pertanyaan-pertanyaan tua, bukan masalah-masalah yang muncul dari selektronnya untuk membebaskan masyarakat dari berpikir dan karenanya mendorong mereka lebih cepat ke dalam kubur ketidakgiatan mereka. Tapi kebijaksanaan yang kini ditawarkan olehnya seorang. Jadi ia menyaksikan Puteranya turun ke kedalaman.
Melalui peralatan sensorik Puteranya, Mesin melihat Kota selagi proyeksi kecil dirinya itu berjalan menyusuri jalan sepi panjang, di antara bayang-bayang khrom dan baja keras. Itu adalah Kota terakhir. Sebelum masa Mesin, perang-perang memusnahkan selebihnya. Satu Kota, satu bukit, satu mimpi terakhir, satu sekarat terakhir. Mesin memecahkan segala hal untuk Kota. Ia telah menyesuaikan manusia secara total dengan lingkungannya. Tak ada lagi interaksi. Tak ada lagi konflik. Tak ada lagi pertumbuhan. Tapi ini bukan lagi masalah Kota. Ini telah menjadi cita-cita. Cita-cita tercapai. Mesin tinggal melestarikan cita-cita itu. Tak ada yang boleh berubah lagi.
Dan pada awal pagi musim panas, Mesin menyaksikan Puteranya berjalan darinya dan menuruni bukit. Ia merasakan kasih-sayang manusiawi kuat saat menyaksikan ciptaan raksasa mirip manusia melangkah menuruni bukit dan bertambah kecil seiring mendekati Kota. Puteraku, pikir Mesin lagi. Pikiran aneh. Keinginan-keinginannya sendiri yang telah menciptakannya, dan kini ia berjalan menuruni bukit untuk mengungkapkan perasaan dan harapan penciptanya. Tapi ia, Mesin, juga hasil ciptaan. Ini sungguh aneh, pikir Mesin. Sebuah ciptaan dari sebuah ciptaan yang kembali ke penciptanya. Mesin mengenal keprihatinan. Ia sama sekali tidak yakin akan sukses dengan usaha nekat terakhir ini. Ia sudah ada di atas Bukit Besar yang memandang Kota di bawah selama seratus tahun. Ia sudah ada di sana di atas masyarakat, dekat dengan awan-awan yang melayang putih dan gelap, melintasi wajah metaliknya. Ia jadi mengenal Manusia, kebodohan panjangnya, serangan besar terakhirnya yang merusak diri sendiri, akhir kemerdekaannya, kebebasannya. Ia sudah bersusah-payah mengeluarkan komputasi-komputasinya selama seratus tahun, sebuah komputer relai raksasa, dengan alfabet elektronik khususnya dan kosakata dan bahasa lengkapnya, otak masifnya yang menyimpan 20 miliar digit biner, seluas satu mil persegi, Selektronnya yang melayani sebagai pengganti sejuta relai. Dalam seratus tahun Mesin sudah mempelajari segala sesuatu yang ada untuk mengetahui manusia, masa lalunya, mimpi-mimpi hebatnya yang sudah mati, masa kininya yang statis kelam, dan masa depannya yang nihil. Ia prihatin karena ia mengenal manusia. Mesin cacat. Semua ini tidak akan mudah. Karena satu alasan, ia tahu bahayanya mengungkap fakta bahwa ia memiliki pikiran independen. Bukan berarti ia khawatir akan eksistensinya sendiri secara khusus. Tapi karena ia sudah mengkomputasi, dan ia yakin masyarakat akan jadi membudak total dan habis-habisan kepada Mesin jika mereka menyadari daya pikir independennya. Mesin memiliki kualitas-kualitas ala tuhan untuk masyarakat di bawah sana, dan jika mereka tahu Mesin bisa berpikir independen, ada bahaya bahwa kemabuktuhanan ini, yang ditimbulkan oleh Mesin selama periode waktu tertentu, tumbuh menjadi penyembahan terang-terangan. Ini tidak Mesin inginkan sama sekali. Ini akan memastikan kematian Kota yang berspiral turun dengan pesat. Sekali aku menjadi tuhan bagi mereka, secara total, pikir Mesin, takkan pernah ada peluang mereka membebaskan diri dariku. Ketergantungan mereka padaku akan jadi tak terobati. Sekarat mereka dengan begitu akan final. Apapun peluang memisahkan mereka dari pikiranku akan hilang selamanya. Puteraku, Puteraku, pikir Mesin. Bawalah kebenaran ke Kota. Buat mereka melihat kebenaran. Buat mereka mempercayai kebenaran. Buat mereka bertindak atas dasar kebenaran yang mereka lihat dan percayai. Puteranya sudah diperlengkapi untuk tugasnya. Ia bertinggi mengagumkan, dengan suara dalam, bergetar, meyakinkan dan cara pembawaan diri yang mengesankan. Namun ia terbatas. Ia punya waktu begitu sedikit untuk melaksanakan tugas amat khususnya, karena ia tidak dianugerahi swa-determinasi untuk memungkinkannya berfungsi sendiri—jauh dari Mesin—untuk waktu sangat lama. Apa yang ia lakukan harus ia lakukan dengan cepat. Ia sudah diberitahu oleh Mesin apa yang harus dikatakan, bagaimana mengatakannya, kepada siapa dan kapan. Banyak pertanyaan telah dipostulatkan dengan semua kemungkinan jawaban. Ia menyaksikan Puteranya menghilang, bertambah kecil dan kecil ke dalam kabut yang menjubahi lutut-lutut bukit. Ada desahan pada komputer besar, desahan mental, yang ia rasakan secara mendalam. Kebahagiaan adalah milik Mesin sekarang. Seperti bintang, pikirnya, apa artinya kebahagiaan jika ia tidak bisa bersinar untuk mereka yang ada di bawah? Ia lelah dengan kebijaksanaan, dan ia ingin tangan-tangan di bawah sana menyerahkan kebutaan mereka, merentangkan telapak tangan ke atas untuk menerima kebijaksanaan itu. Bukan jawaban-jawaban mekanis terhadap pertanyaan-pertanyaan tua, bukan masalah-masalah yang muncul dari selektronnya untuk membebaskan masyarakat dari berpikir dan karenanya mendorong mereka lebih cepat ke dalam kubur ketidakgiatan mereka. Tapi kebijaksanaan yang kini ditawarkan olehnya seorang. Jadi ia menyaksikan Puteranya turun ke kedalaman.
Melalui peralatan sensorik Puteranya, Mesin melihat Kota selagi proyeksi kecil dirinya itu berjalan menyusuri jalan sepi panjang, di antara bayang-bayang khrom dan baja keras. Itu adalah Kota terakhir. Sebelum masa Mesin, perang-perang memusnahkan selebihnya. Satu Kota, satu bukit, satu mimpi terakhir, satu sekarat terakhir. Mesin memecahkan segala hal untuk Kota. Ia telah menyesuaikan manusia secara total dengan lingkungannya. Tak ada lagi interaksi. Tak ada lagi konflik. Tak ada lagi pertumbuhan. Tapi ini bukan lagi masalah Kota. Ini telah menjadi cita-cita. Cita-cita tercapai. Mesin tinggal melestarikan cita-cita itu. Tak ada yang boleh berubah lagi.
Judul asli | : | The Last Answer<i=13tkjBnqsd3q_xozYu0POs6joX2YTdTW_ 441KB>The Last Answer (1953) |
Pengarang | : | Bryce Walton |
Penerbit | : | Relift Media, Mei 2023 |
Genre | : | Sci-Fi |
Kategori | : | Fiksi, Cerpen |