“Bicara tentang kota hebat kami—salah satu dari segi-segi terhebatnya adalah departemen kepolisian kami yang gagah. Tidak ada satupun badan di dunia bisa menandinginya untuk—Sudah lihat Broadway di malam hari? Tidak banyak jalan-jalan di dunia bisa menyamainya.”
Tn. Kipling mengatakan, “Kota-kota dipenuhi kebanggaan, saling menantang.” Persis.
New York sedang kosong. Dua ratus ribu penduduknya sedang pergi untuk musim panas. Tiga juta delapan ratus ribu tetap tinggal sebagai pengurus dan untuk membayar tagihan orang-orang yang absen. Tapi kedua ratus ribu itu adalah rombongan mahal.
Si New Yorker duduk di sebuah meja taman atap, mencerna pelipur melalui sedotan. Topi panamanya tergeletak di atas sebuah kursi. Hadirin Juli terpencar lebar di antara kursi-kursi kosong selebar para outfielder ketika sang jawara menghentakkan langkah-langkahnya ke home base. Vaudeville berlangsung selang-seling. Angin sepoi dari teluk bertiup sejuk; di sekeliling dan di atas—di mana-mana kecuali di panggung—bertebar bintang-bintang. Pandangan-pandangan sepintas dilempar kepada para pelayan, yang senantiasa menghilang, seperti kambing chamois yang kaget. Tamu-tamu irit yang memesan makanan dan minuman ringan lewat telepon di pagi hari kini sedang dilayani. Si New Yorker sadar akan kekurangan tertentu pada kenyamanannya, tapi rasa puas memancar lembut dari kacamata tanpa bingkainya. Keluarganya sedang keluar kota. Minumannya hangat; baletnya kekurangan nada dan talek—tapi keluarganya tidak akan kembali sampai September.
Lalu, ke dalam taman, tertatih-tatih si pria dari Topaz City, Nevada. Kemurungan pelancong tunggal membungkusnya. Kehilangan sukacita karena kesendirian, dia menguntit dengan wajah seorang duda ke seantero aula-aula kesenangan. Haus akan kebersamaan dengan manusia merasukinya selagi dia terengah-engah dalam aliran udara metropolitan. Lurus ke meja si New Yorker dia mengarah.
Si New Yorker, diredakan dan dibuat enteng oleh atmosfer tak berhukum ala taman atap, memutuskan untuk meninggalkan tradisi-tradisi hidupnya sama sekali. Dia bertetap hati untuk meremukkan, dengan satu aksi gegabah, berani mati, impulsif, berotak udang, adat-kebiasaan yang selama ini terjalin ke dalam eksistensinya. Melaksanakan ilham radikal dan tergesa-gesa ini, dia mengangguk tipis kepada orang asing yang mendekati meja.
Momen berikutnya menemukan si pria dari Topaz City di dalam daftar sahabat terdekat si New Yorker. Dia mengambil satu kursi di meja, dia mengumpulkan dua kursi lain untuk kakinya, dia melontarkan topi pinggir lebar ke atas kursi keempat, dan menceritakan sejarah hidupnya kepada mitra temuan barunya.
Si New Yorker agak menghangat, sebagaimana perapian apartemen menghangat ketika musim stroberi dimulai. Seorang pelayan, yang mendekat di saat lengah, ditangkap dan dibebaskan dengan jaminan sebuah tugas ke pos eksperimen Dokter Wiley. Baletnya kini di tengah-tengah fluktuasi musik, dan ditarikan di atas panggung yang diprogram seperti petani-petani Bolivia, dibajui pada beberapa bagian anatominya seperti perawan-perawan nelayan Norwegia, pada lainnya seperti dayang-dayang Marie Antoinette, secara historis ditelanjangi pada bagian lain agar merepresentasikan peri-peri laut, dan menyajikan keseluruhan kesan sebuah klub sosial pembantu-pembantu rumahtangga Central Park West di sebuah jamuan ikan goreng.
“Sudah lama di kota ini?” selidik si New Yorker, menyiapkan tip tepat sebelum si pelayan datang dengan kembalian yang besar.
“Aku?” kata si pria dari Topaz City. “Empat hari. Belum pernah ke Topaz City, kau?”
“Aku!” kata si New Yorker. “Aku tak pernah ke barat melebihi Eight Avenue. Aku punya saudara laki-laki yang mati di Ninth, tapi aku bertemu iring-iringan jenazahnya di Eight. Ada seikat bunga violet di kereta jenazahnya, dan pengurus makam menyebutkan insiden itu untuk menghindari kesalahan. Aku tak bisa bilang aku akrab dengan wilayah Barat.”
“Topaz City,” kata si pria yang menduduki empat kursi, “adalah salah satu kota paling bagus di dunia.”
“Kuanggap kau sudah lihat pemandangan metropolis,” kata si New Yorker. “Empat hari bukan waktu yang cukup lama untuk melihat pusat-pusat atraksi wisata kami yang paling menonjol sekalipun, tapi orang mungkin bisa membentuk kesan umum. Supremasi arsitektural kami adalah apa yang umumnya paling menarik paksa para pengunjung ke kota kami. Tentu kau sudah lihat Flatiron Building kami. Itu dianggap—”
Judul asli | : | The Pride of the Cities<i=1cG5yediyrmggAA22b_GLP4lTTC5qzjK3 247KB>The Pride of the Cities (1911) |
Pengarang | : | O. Henry |
Penerbit | : | Relift Media, Juli 2022 |
Genre | : | Satir |
Kategori | : | Fiksi, Cerpen |