Skip to content
Nasionalisasi dan Paganisasi Kristen: Rencana Sosialisme Kebangsaan Arya Dalam Mewujudkan Nilai Tuhan dan Manusia – Relift Media

Nasionalisasi dan Paganisasi Kristen: Rencana Sosialisme Kebangsaan Arya Dalam Mewujudkan Nilai Tuhan dan Manusia Bacaan non-fiksi politik

author _Aurel Thomas Kolnai_; date _1938_ genre _Politik_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ Sosialisme Kebangsaan dan Katolik memegang pandangan serupa menyangkut permasalahan otoritas, organisasi, komunitas, disiplin, dan keadilan sosial. Ide “sosial” Nazisme dapat disamakan dengan “etika kemurahan Kristen, yang diterapkan pada komunitas politik”. Banyak orang Nazi, gara-gara tradisi atau untuk tujuan taktis atau semata-mata karena kebingungan intelek­tual, masih berpegang pada Kristen dalam satu atau lain ben­tuk. Sebagai ganti Gentilisme anti-Kristen blak-blakan para komrad mereka yang lebih maju, mereka menganut amora­lisme Pagan dan pemujaan Kekuatan dan Diri di bawah kedok Kristen yang kurang-lebih transparan. Penyalahgu­naan demikian dimungkinkan oleh implikasi-implikasi keya­kinan Kristen yang secara dangkal bisa diuraikan sebagai ekstase Pagan atau keduniawian murung. Upaya untuk mempaganisasi Kristen bisa bermula dari tiga poin dalam strukturnya. (1) Agama Kristen mendapatkan rasa jijik dari Yudaisme (sebuah komunitas kebangsaan dengan privilese keagamaan) terhadap komunitas sedunia, yang berarti, terhadap “para Gentil/Non-Yahudi” secara umum. Kepada poin ini bisa dibubuhkan ide nista bahwa Kristen bermaksud mengkonfirmasi dan merehabilitasi beberapa bentuk devosi dan moral “kebangsaan”, “etnis/kesukuan”, “lokal” alih-alih “Monisme intoleran” bentuk Yahudi. Kristennya “para Gentil” berpendapat semua bangsa kecuali Yahudi adalah “pilihan”; ini hanya bisa dibayangkan jika setiap ras berlagak sebagai yang terpilih kepada anggota-anggotanya sendiri. Sebagaimana kita lihat, komunitas Yahudi adalah contoh swa-kontradiktif luar biasa akan sebuah Suku anti-kesukuan, nukleus sempit tak manusiawi dari sebuah universalisme berperikemanu­siaan masa depan; sedangkan Kristen datang betul-betul untuk menciptakan umat manusia sebagai sebuah kesatuan dalam kasih Tuhan, diperintah oleh keadilan dan nalar-Nya. Tapi para penyintas dan nabi-nabi baru Gentilisme bertekad memberikan makna berbeda, bahkan berseberangan, pada penelantaran Jahvisme/Jehovisme: perselisihan dan ketega­ngan internal mistik Suku anti-kesukuan tersebut harus menghilang demi pemulihan besar-besaran tribalisme musy­rik yang tak terusik di seluruh dunia. Kristus, sebagaimana segera diusulkan oleh beberapa orang Gnostik, datang bukan untuk mendamaikan dan menyesuaikan semua bangsa-bangsa dengan Satu Tuhan Penciptaan dan Hukum Moral, tapi untuk menyelamatkan mereka dari tekanan tuntutan-tuntutan dan pretensi-pretensi-Nya. Garis ini diambil ter­utama oleh para penulis berakar Lutheran, tapi kadang juga oleh orang-orang yang menyebut diri mereka Katolik. Secara kebetulan, penyimpangan yang lebih rentan ditempuh oleh para Calvinis terdapat dalam tuntutan mereka (untuk bangsa mereka sendiri) akan privilese sebuah “ras pilihan”, bukan dalam pengertian Pagan tapi dalam pengertian moral mono­teistik Yahudi, dan terdapat dalam memandang bangsa lain sebagai “Gentil” dan “keturunan rendah tak ber-Hukum”, me­ngutip “Recessional”-nya Kipling. (2) Paralel dengan penelan­taran Suku suci dan bermoralnya Tuhan sendiri (bangsa tanpa raja yang diperintah oleh Hukum ilahi), Kristen juga memperkenalkan kode moral yang diubah parsial: kurang kaku dan yuridis, kurang picik dan angkuh, lebih sadar akan keserbaragaman dan saling ketergantungan nilai-nilai, dilonggarkan dari tradisi-tradisi historis dan ritual sebuah komunitas lokal, dan terutama kurang mudah diterapkan dalam hal “pengerjaan tepat” dan “pelanggaran”. Di beberapa cabang pemikiran Kristen, khususnya dalam Lutheranisme, penyempurnaan moralitas ini telah menjadi kurang-lebih terdistorsi ke dalam penegasiannya. Tak ada hukum perilaku moral, tak ada kanon “kebaikan” objektif, yang dihargai; yang tersisa hanya “iman belaka kepada Juru Selamat”, atau keputusan berdaulat hati nurani masing-masing, atau—dan ini poin penting—kompetensi moral berdaulat dari otoritas sekuler sebagai pengganti dan sarana untuk kebutuhan praktis manusia, manusia yang eksistensi duniawinya tanpa kecuali dan secara permanen dinodai dengan dosa dan harus dijalankan sesuai itu. Jalan kembali ke Paganisme ini tentu saja disediakan untuk orang-orang Protestan, yang konsepsi­nya tentang Gereja terombang-ambing antaran gagasan komunitas jiwa-jiwa yang tak diorganisir, tidak jelas, murni spiritual, dan gagasan badan sosial yang ditakdirkan untuk menjamin pelaksanaan otoritas untuk para Pangeran dan Squire. (3) Terakhir, ada beberapa mata rantai masyhur antara Kristen, terutama sebagai sebuah Gereja terorganisir dengan kekuasaan mapan dan kepentingan properti, dan sebuah sikap konservatif dalam politik, yang mungkin bahkan berujung pada kerjasama diam-diam antara cabang-cabang opini Kristen tertentu dan sebuah Negara Fasis Totaliter. Apa yang kita pikirkan adalah (a) ketegangan antara penekanan religius pada penyelamatan transenden (yang bersangkut­paut dengan kepasrahan tenang kepada kondisi-kondisi duni­awi dan perbaikannya) dan semangat kemajuan sosial (selalu dicurigai berkeinginan membangun kerajaan Tuhan “di bumi”); (b) prinsip kependetaan sebuah otoritas mapan, yang nyata dan digabungkan ke dalam sebuah sistem kekuasaan duniawi, dan menuntut untuk memerintah tanpa pengawa­san dan tanpa kritik “dari bawah”; (c) konsepsi zaman perte­ngahan akan masyarakat sebagai sebuah struktur “korporasi-korporasi” di mana individu disubordinasikan kepada “Kesa­tuan”. Poin-poin penghubung ini lebih menarik akal Katolik ketimbang akal Protestan; pun tidak bisa diingkari bahwa Gereja Katolik secara umum telah menunjukkan kecenderu­ngan yang sangat besar untuk berhubungan gelap dengan absolutisme monarkis, dengan aristokrasi sosial, dan baru-baru ini bahkan dengan fasisme totaliter. Namun, juga sudah cukup sering terlihat—khususnya dalam kasus fasisme totaliter—bahwa aliansi ini memiliki hawa gencatan senjata temporer, kompromi luaran, barangkali bahkan ambiguitas. Kristen Katolik, betapapun ia mencela rencana-rencana sub­versif atau Utopis Kaum Kiri, juga sewajarnya tergerak untuk menentang kecampuradukan antara kekuasaan dan otoritas sekuler dan ilahi, selain untuk menegakkan standar moral yang dengannya semua jenis kekuasaan sosial dinilai. Tapi jika Katolik konservatif memiliki sisi-sisi problematisnya, jika Katolik fasis bersusah-payah di bawah perpecahan internal tak terobati, maka sudah pasti Katolik Nazi adalah sebuah anomali paradoks dari kreasinya dan, pada saat ini, sebuah tontonan paling memilukan, terkatung-katung di antara ombak-ombak Kulturkampf bergemuruh yang menyebar ke seluruh Kekaisaran Ketiga. Houston Stewart Chamberlain adalah sponsor modern pertama sebuah Kristen “Arya” terpaganisasi ulang yang dibersihkan dari konstituen-konstituen Yahudi-nya. Dia ber­pandangan bahwa Kristen melambangkan perpaduan dua material yang secara fundamental berlainan: di satu sisi, “mitologi simbolis dan metafisik Indo-Eropa”; di sisi lain, “kepercayaan Yahudi berlandaskan sejarah dan kronologi”, yang dianut oleh “spekulasi-spekulasi chaos bangsa-bangsa tanpa ras dan tak beragama” pada masa perjalanan evolusi dogmatika Gereja. Mengingat Chamberlain tidak mau meng­akui semua definisi dogmatis dan—boleh dibilang—yuridis, sulit untuk memastikan seperti apa “Kristen” yang diadaptasi dengan seleranya; jika mempertimbangkan semuanya, kita dapat menduga bahwa itu sederhananya berarti sebuah mitologi Teutonik yang dibangkitkan, dilebur dengan aspek-aspek reaksioner Kristendom zaman pertengahan dan zaman romantis, dan dibuat agak samar dan jinak dengan (sampai taraf tertentu) tetap sejalan dengan tradisi-tradisi estetik per­adaban barat. Sebab Chamberlain, sang William II-nya ranah spiritual, hingga kini merupakan seorang peramal Paganisme baru yang waspada dan meraba-raba, seorang bentara barba­risme bangkit yang malu-malu dan tak yakin. Sebuah studi oleh Blüher menampakkan corak-corak yang lebih menyilau­kan. Kristen, sebuah petualangan aristokratis indah selama ia terbatasi oleh penampilan dan efek personal Kristus, “sejak awal dikorupsi oleh Ras Sekunder dan dipalsukan oleh sisa-sisa Yudaisme yang darinya ia timbul”. Sebab ia terus memahami Wahyu dalam pengertian Yahudi sebagai sebuah kontrak dengan Jahveh (terlepas dari adanya pelunakan dan komplikasi), dan ia mengindahkan apresiasi keagamaan ter­hadap moralitas, ketimbang keagungan magik murni, yang mencakup perhatian kepada kesejahteraan duniawi. Kristen tercegah dari menjadi sebuah agama keselamatan sejati, sebab ia menolak bercerai dari konsepsi Yahudi akan sebuah agama keadilan, sebuah agama yang cocok dengan banyak kebenaran parsial tapi tentu saja menyimpangkan dari “kebe­naran menyembuhkan”. Ini hanya bisa hinggap di sebuah medan yang dibersihkan dari bid’ah-bid’ah kehendak bebas, ganjaran moral, kompensasi rasional, dll. Moralitas kemura­han Kristen ortodoks juga sepenuhnya tidak Kristen dalam pengertian asli. Kemurahan mungkin ciri personal Kristus, seperti halnya kekejaman dalam kesempatan lain (peng­khianatan Yudas tidak hanya diramalkan tapi sebetulnya diilhami oleh Kristus sendiri; dengan pilihannya sendiri, dia memilih Yudas untuk menjadi pengkhianat); doktrinnya tak pernah berupa kemurahan, tapi hanya kerja sembarang sub­stansi ilahi dalam keturunan mulia manusia. “Hukum kemu­rahan” dulu dan sekarang masih merupakan doktrin Yahudi; ketika Kristus mengatakan “Kasihi sesamamu”, dia tidak sedang menampakkan pandangannya sendiri tapi hanya mengulang prinsip gamblang Yahudi di bawah tekanan inte­rogasi. Personalitasnya bebas seratus persen dari prasangka baik; dia tidak terpikir mengganjar kebaikan moral, dan peno­lakannya terhadap manusia pun sama sekali tidak diwarnai murka kejengkelan. Dia sudah pasti membela kasih, tapi hanya dalam pengertian Eros, sebagai nafsu penciptaan ketu­runan; apapun yang tidak dibutuhkan untuk permainan ilahi eksperimen visual yang sejalan dengan magik Alam, itu dikorbankan tanpa ragu. Sebagaimana kita simak, Blüher (yang mabuk oleh ide “nafsu penciptaan keturunan”), mencip­takan—untuk kegunaannya sendiri—seorang Kristus yang mempersonifikasikan beberapa energi tak sadar dan redup manusia, yang menyandang ciri-ciri quasi-manusia seorang despot Timur dalam legenda, seorang Junker Prusia, dan se­orang anak sadistik yang dilahirkan dari plutokrasi Amerika. Sebagai penyembuhan, mari kita beralih ke renungan Gogarten yang lebih serius dan akademis mengenai kemenu­laran Keburukan yang menyehatkan. Kesalehan Lutheran berotot dari Profesor setengah Nazi ini dapat dirangkum dalam formula ringkas: adalah takdir kita untuk selamanya ditendang oleh iblis, dan itu setimpal untuk kita. Karya stan­darnya, “Etika Politik”, berawal sebagai “upaya untuk mema­hami keyakinan Kristen persis dari elemen-elemen anti-kemanusiaannya”. Nah, sudah pasti aku tidak termasuk orang-orang yang berpikir bahwa intisari Kristen sudah cukup diberikan dalam peringatan berikut, “Jangan kamu membunuh”; tapi menurutku kurang ada gunanya memadat­kan Kristen menjadi kutukan lebih jahat, “Jangan kamu membunuh terlalu jarang”. Akan tetapi, sebetulnya, beberapa petikan dalam Gogarten hampir-hampir sebuah perwujudan religius keburukan, pokoknya keburukan riil, penuh dengki, tragis. Keburukan Absolut, yang bermakna komitmen diri intrinsik manusia untuk “dimiliki oleh dirinya sendiri”, persis sebagaimana Kebaikan absolut bermakna “perhambaan” sama-sama radikal kepada kekuatan-kekuatan di luar dirinya, adalah lebih disukai dibanding moralitas palsu nikmat keba­jikan diri dalam kepatuhan kepada ajaran-ajaran “On” (das Man). Sebab Keburukan absolut mengimplikasikan setidak­nya elemen formal dari komitmen diri riil yang sama-sama dimiliki oleh Kebaikan absolut. Maksimum Kebaikan yang bisa kita capai adalah mengakui penuh akan keburukan. Me­naati hukum moral jenis apapun hanyalah berarti menyetujui moralitas palsu kesusilaan atau “jargon” sosial (Man-tut-das-und-das); sedangkan moralitas tulen Jangan kamu (“Thou shalt not”) ilahi, yang menyangkut eksistensi terdalam kita yang kontras dengan kegunaan atau ketidakenakan perilaku kita, hanya menuntut dari kita sebuah kesadaran dan pengakuan tulus akan keburukan. Berdasarkan ini, upaya apapun untuk “me­ngatasi keburukan dalam diri kita” tampak tidak mungkin, sebab itu akan “bertentangan dengan fitrah moral manusia”. Semua perjuangan untuk kesempurnaan etika adalah tanpa makna. Hanya ada satu fenomena etis sejati: kesadaran akan keburu­kan, akan fakta bahwa manusia dalam realitasnya, manusia sebagai “benar-benar dirinya”, adalah buruk. Hanya ada masalah moral untuk manusia karena dia buruk. (Aku sebaiknya mengatakan, sebagai sebuah koreksi kecil, yang membuat banyak perbedaan, “karena dia mungkin buruk, dan, karenanya, mungkin dan diseru untuk menjadi baik.”) Masalah moral, lanjut Gogarten, akan lenyap “kecuali jika Keburukan ‘ada’ untuk manusia, dan dengan kata lain, kecuali jika manusia sendiri adalah buruk”. Sebagaimana kita simak, kesimpulan yang diindikasikan dalam kata-kata “dan dengan kata lain” mengandung perluasan yang betul-betul semba­rang, bahkan falasi mencolok. Sofistri ini mungkin tidak dimaksudkan untuk menyemangati atau menghibur para pelaku keburukan, mengingat bahwa hukuman berat disedia­kan untuk mereka oleh otoritas publik. Tapi hukuman itu adalah sebuah pengakuan ketimbang penghapusan keburu­kan; itu sendiri merupakan bagian dari “tatanan dosa” dan berfungsi menjadikan tatanan tersebut dapat dipikul secara praktek, selain berfungsi mengingatkannya kepada pikiran semua orang. Oleh karenanya, perilaku amoral memang dido­rong dan dalam arti tertentu dijustifikasi, sejauh itu dikecu­alikan dari tatanan konkret atau pembalasan hukum demi­kian; kedua amoralitas yang bukan pelanggaran pidana dan (lebih penting lagi) juga bukan ketidakadilan dan kejahatan oleh otoritas negara termasuk ke dalam kategori ini. Keburu­kan mereka adalah “kebaikan”; itu merupakan bagian dari ke­burukan universal manusia yang ditakdirkan untuk mem­bantu mengawasi manifestasi-manifestasi umum keburukan tapi tidak butuh diawasi. Sebab keburukan secara intrinsik tidak buruk; itu hanya butuh pembersihan nama baik secara parsial demi penuntasannya sendiri.
Judul asli : Christianity Heathenized<i=1rkb0vcJmH2ItBAYd00AWISqntBbAJ6KS 370KB>Christianity Heathenized
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, April 2024
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Nasionalisasi dan Paganisasi Kristen: Rencana Sosialisme Kebangsaan Arya Dalam Mewujudkan Nilai Tuhan dan Manusia

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2024)