Wells, seperti halnya James, bersikeras bahwa Tuhan pasti benar-benar personal, eksis di dalam lingkungan waktu, membantu umat manusia dalam perjuangannya ke atas, dan dapat diakses oleh manusia melalui apa yang James sebut “komuni penuh doa”.
Dalam bukunya,
God the Invisible King, yang menggembar-gemborkan kemunculan sebuah “agama baru”, Tn. H. G. Wells memproklamirkan diri sebagai jubir zamannya, “juru tulis untuk semangat generasinya”. Jika dia mengklaim mewakili para ilmuwan dan juga bagian-bagian masyarakat yang kurang tercerahkan, kesimpulannya sekurangnya mengejutkan, jika kita mempertimbangkan bukan hanya absennya kepercayaan agama yang umum teramati di kalangan ilmuwan, tapi juga studi statistik oleh Profesor Leuba di mana dia menunjukkan mayoritas ilmuwan di Amerika, dan kiranya di tempat lain, menyangkal percaya pada Tuhan.
Kalau bukan karena melibatkan “orang Amerika yang sangat agung itu, mendiang William James”, yang dia sebut gurunya, pandangan keagamaan Wells barangkali hampir tidak layak dipertimbangkan oleh para filsuf. Namun, sejauh pandangan-pandangan Wells disebabkan oleh pengaruh James, mereka patut diperiksa; dan fakta bahwa
God the Invisible King adalah buku yang diperuntukkan terutama bagi konsumsi populer tidak harus menjadikan itu salah dalam pandangan filsuf-filsuf profesional sekalipun, bila dicamkan bahwa James (dan karenanya mengapa tidak dengan murid James?) populer sekaligus serius.
Tuhan yang terhingga diproklamirkan dalam agama baru Wells, dan seketika poin kemiripan antara Wells dan James terlihat. James bersikeras Absolut-nya para filsuf tidak bisa menjadi Tuhan-nya agama, dan Wells sama-sama bersikeras pada poin ini. Tapi, sementara James menyatakan bahwa kekekalan personal adalah inti agama, dan bahwa fungsi utama Tuhan adalah penjaminan kekekalan, Wells memandang persoalan ini sebagai isu tak relevan dalam agama, dan ketertarikan terhadapnya adalah bukti egotisme. Apakah James tidak lebih dekat dibanding Wells menuju penafsiran yang tepat terhadap kesadaran religi terkait kepercayaan kepada kekekalan, ini sebuah pertanyaan yang dapat sewajarnya diangkat, meski aku tidak akan mempertimbangkannya di sini.
Membatasi bahasanku pada persoalan fitrah Tuhan dan bukti eksistensi-Nya dalam pandangan Wells, aku ingin menguraikan seberapa dekat Wells mengikuti garis pemikiran James, sampai melakukan salah satu dari falasi-falasi yang sama yang James lakukan.
Tuhan-nya Wells bukanlah Kekuatan Kehidupan atau Kehendak Untuk Hidup, pun Dia bukan Pikiran Kolektif Ras [Manusia]. Wells, seperti halnya James, bersikeras bahwa Tuhan pasti benar-benar personal, eksis di dalam lingkungan waktu, membantu umat manusia dalam perjuangannya ke atas, dan dapat diakses oleh manusia melalui apa yang James sebut “komuni penuh doa”. Dalam pandangan Wells, seperti halnya dalam pandangan James, bukti eksistensi Tuhan dijumpai dalam pengalaman religi, yang bersifat mistik. James mengungkapkannya sebagai berikut: “
Ada pengalaman-pengalaman religi bersifat spesifik... Mereka, dengan probabilitas masuk akal, menunjuk pada kontinuitas kesadaran kita dengan sebuah lingkungan spiritual yang lebih luas.” “Pengalaman religi personal berakar dan berpusat di status-status mistik kesadaran.” Dan Wells berkata demikian pula: “Agama modern mendasarkan pengetahuannya tentang Tuhan dan keterangannya tentang Tuhan seluruhnya pada pengalaman.” “Pengalaman pokok ini adalah perasaan langsung dan tak meragukan akan Tuhan. Adalah capaian sebuah kepastian absolut bahwa seseorang tidak sendirian... Momennya mungkin datang saat kita sendirian dalam gelap, di bawah bintang-bintang, atau saat kita berjalan sendirian atau dalam kerumunan, atau saat kita duduk merenung. Itu mungkin datang pada kapal yang sedang tenggelam atau dalam huru-hara pertempuran... Setelah itu datang, hidup kita berubah, Tuhan bersama kita dan tidak ada lagi keraguan akan Tuhan. Sesudah itu orang berkeliling dunia seperti orang yang kesepian dan menemukan kekasih... Dia yakin ada sebuah Kekuatan yang berperang bersama kita melawan kebingungan dan keburukan di dalam dan di luar diri kita.” Dalam menerima pengalaman mistik sebagai dasar kepercayaan religi, Wells sependapat penuh dengan James. Sebagaimana Wells sendiri katakan, “Berkenaan dengan fase-fase psikologisnya, keterangan baru tentang keselamatan personal...tidak memberitahukan banyak hal yang belum familiar bagi pembaca
Varieties of Religious Experience-nya William James.”