Hanya manusia biakan murni yang bisa diandalkan untuk memiliki moralitas yang khas dan hidup; “kredo manusia adalah seperti manusia sendiri”. Kaum-kaum yang dianugerahi susunan darah yang sehat bebas dari ilusi remang-remang individualisme dan universalisme.
Dialektika kebanggaan kesukuan mengimplikasikan eksklusivitas kesukuan, dan eksklusivitas itu juga kemungkinan akan menghasilkan rasa keadilan murah hati yang palsu. Pembedaan orisinil antara tuan dan budak beresiko menjadi fungsional; tuan dan budak bakal tampak sebagai tungkai-tungkai organik sebuah komunitas komprehensif yang terletak pada budak, selain pada tuan, dan oleh karenanya menandakan asimilasi bertahap para budak kepada para tuan. Melalui fakta penyadaran dan pengakuan superioritas tipe tinggi, tipe rendah mencapai satu langkah ke atas, dan sebuah bau tak enak kesetaraan mulai berbaur dengan atmosfer yang menyelubungi mereka berdua. Penekanan aspek ketidakserupaan dan keterpisahan dasar, meskipun dipenuhi dengan bahaya sebaliknya, yaitu memperkenalkan kesetaraan berdasarkan saling keasingan, dapat menyediakan respon kuat yang sehat terhadap evolusi semacam itu. Kesetaraan steril “dunia-dunia” tak sepadan berisi “ras-ras” tak terhubung, masing-masing dengan “kemurnian”-nya sendiri, dapat lagi-lagi dikacaukan sesuka hati, jika perlu, oleh ideologi-ideologi dominan yaitu hirarki rasial dan Bangsa sebagai sebuah “Absolut” subjektif yang mengikat untuk setiap individu. Berusaha mengkonfirmasi manusia dalam kebanggaan mereka sebagai bukan babi, dalam tekad mereka untuk memerintah dan mengeksploitasi babi tanpa mengendor ke dalam pembauran lebur dengan mereka, kita bahkan dapat memberi babi sebuah kebanggaan korelatif sebagai bukan manusia. Sebagian besar, doktrin “kemurnian” terikat tak terpisahkan dengan tekad untuk mengagungkan “Teuton” atau “Arya” atau “ras-ras” semacam itu yang perolehannya dapat secara tak langsung mendatangkan untung bagi bangsa Jerman, tapi adakalanya “orang-orang asing” digolongkan sebagai “lain”, alih-alih inferior; nilai diletakkan dalam fakta abstrak kedirian (selfhood) rasial ketimbang dalam ras tertentu yang dianggap lebih disukai.
Houston Stewart Chamberlain, si Inggris yang hantunya, bersama bayang-bayang si Prancis Gobineau, si setengah Polandia Nietzsche, si “Romawi” Rheinland Stefan George, dan para pengusil Yahudi di sekelilingnya, dan bayang-bayang si Baltik Rosenberg dan si Austria Hitler yang diumpani semarak kemuliaan Mussolinian, telah membentuk Kekaisaran Ketiga, melihat dalam sejarah sebuah pergumulan antara terang dan gelap, yang berarti pergumulan antara “individualitas rasial” dan “chaos rasial”. Ketiadaan tatanan organik ras mengakibatkan keleburan moral dan spiritual. Sebab, pembaca mungkin ingat deskripsi kita akan fatalisme rasial versus pemikiran rasional dan berpandangan ke depan, “dia yang datang dari antah-berantah juga tak menuju tujuan apapun”. Sebuah bangsa hanya menjadi bangsa riil berkat sebutan rasial; kalau tidak, itu sekerumun orang belaka yang dipersatukan secara artifisial. “Bentuk” dan “timbunan” adalah istilah-istilah besar kontradiksi. Chaos rasial Kekaisaran Romawi ditantang oleh kejeniusan rasial bangsa Teuton, yang baginya keberantakan hanyalah sebuah ciri dangkal yang terbatas pada kondisi politik. Kemunculan bangsa-bangsa terpisah dari pusaran Zaman Pertengahan, di mana aliran keemasan Teutonisme tadinya tenggelam total di bawah reruntuhan kandang babi Romawi, menandai fajar hari baru yang penuh kemenangan. Komunitas darah memuat di dalam dirinya komunitas kredo yang tulen, yang juga dibesarkan oleh kenangan bersama, tapi tak bisa digantikan oleh pengenaan “ideal-ideal abstrak belaka”. Sebab sebuah kredo riil, yang membentuk manusia, tak ada kaitannya dengan impuls personal; itu inheren dalam hukum alam yang bisa didemonstrasikan. Karakter personalitas itu sendiri ditentukan oleh ras.
Kaum Yahudi menempati posisi khusus dalam skala kemurnian dan ketidakmurnian rasial. Mereka menyebabkan kesulitan sistematis, sesuai dengan kebiasaan umum mereka, yang harus dihadapi dengan sebuah teori khusus. Di satu sisi, mereka sangat penting sebagai antagonis tiada henti dan maha ada bagi ras Arya; mereka tidak bisa dibuang. Terlebih, benar-benar kelihatan bahwa mereka bertahan keras sepanjang berabad-abad sebagai sebuah kesatuan keagamaan dan sebuah “tipe” manusia. Menurut tesis, agama Yahudi tidak bisa eksis dan dengan keteguhan seperti itu jika tidak ada pula bangsa Yahudi. Dengan demikian, kaum Yahudi tidak bisa hanya digolongkan di bawah fenomena chaos rasial; terlebih karena mereka betul-betul mematuhi “hukum darah”. Kalaupun mereka kawin campur dengan “Goyim”, mereka hanya mengorbankan anak-anak perempuan mereka (?). Di sisi lain, akan lucu jika kaum Yahudi ternyata ras yang sama bagusnya dengan Arya atau Teuton, bersama-sama merepresentasikan eksklusivitas rasial dan kristalisasi melawan chaos rasial dan mongrelisme/pembastaran. Izinkan aku bergegas membebaskan pembaca dari ketegangan dengan menggarisbesarkan secara samar solusi mahir Chamberlain terhadap masalah ini. Kaum Yahudi adalah sebuah ras permanen; tapi di saat yang sama mereka tentu saja terbastarisasi melalui campuran elemen-elemen rasial aborigin yang sangat terlalu jauh dan heterogen, terutama Badui dan Suriah. Pembobolan rasial permanen ini, sebagaimana diawetkan secara permanen oleh vitalitas bandel tipe bastar, juga menjadi penyebab stigma perasaan bersalah Yahudi, yang senantiasa menginvasi teologi Kristen. Kesadaran Yahudi akan dosa berhubungan dengan sebuah fakta nyata: “aib darah” yang terwujudkan dalam peristiwa historis bastarisasi kesukuan. Di Jerman, Blutschande hampir selalu dipakai secara metaforis dalam pengertian perkawinan inses. Itu adalah ketidakmurnian fisikal tipe [manusia] yang dihasilkan oleh percampuran tak patut yang tercermin dalam kompleks religi dosa asal/turunan. Pembaca akan dengan jujur sependapat bahwa, jika begitu banyak pemikir Jerman dicemari kegilaan, tak ada alasan mengapa para pemikir Inggris mesti kebal terhadapnya. Pun kita tidak boleh lupa untuk mencari makna penuh arti, dan bahkan potongan kebenaran atau minimal analisa logis di balik evolusi dramatis bid’ah neo-Jerman, sekalipun mereka berbatasan dengan kegilaan nyata. Agama Ras ilahi membutuhkan seorang musuh utama, seorang iblis rasial, karikatur giat sebuah ras, untuk menghadapinya di levelnya sendiri tapi sekaligus bukan di levelnya sendiri; ada arti dalam memilih kaum Yahudi untuk kehormatan itu (kita akan simak lebih banyak tentang itu sebentar lagi); sudah pasti ada arti dalam menyelidiki masalah repot ras atau bangsa Yahudi (atau apapun itu); bahkan ada arti dalam dugaan bahwa Yudaisme menampakkan sebuah pengalaman hati nurani moral yang baru dan lebih tajam yang mungkin berpautan—sebatas yang kutahu—dengan pelemahan keamanan diri biologis tanpa kelenyapan paralel kekuatan biologis.
Judul asli | : | Racial Purity<i=1hlh0PsmzxXD5doA685cfobbCyAa5_8WQ 361KB>Racial Purity (1938) |
Pengarang | : | Aurel Thomas Kolnai |
Penerbit | : | Relift Media, September 2024 |
Genre | : | Sosial |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |