Itu berasumsi menentukan apa yang ada [sekarang] berdasarkan apa yang ada dulunya; itu menguraikan hukum fitrah moral manusia berdasarkan prinsip-prinsip yang diduga mengatur kera antropoid; menguraikan otoritas Alkitab dengan kembali ke penyembahan hantu dan roh yang diduga merupakan asal-usul aslinya. Hakikat dan nilai setiap fakta kekinian ditentukan oleh diduga asal-muasal dan perkembangan historisnya. Tapi kita dapat membalik proses ini; tafsirkan monyet berdasarkan manusia; dapatkan keterangan tentang nilai wahyu Ibrani melalui solusinya atas permasalahan kekinian;...cari tanda sang Pencipta tidak hanya dalam kabut api, tapi dalam struktur organisme moral... Seringkali besar sekali manfaatnya jika kita tak harus menunggu “metode historis” disempurnakan dan dikoreksi; sebagai contoh, ketika seseorang mengalami serangan apendisitis, pengetahuan tentang apendiks vermiform yang sekarang menghasilkan sumbangsih jauh lebih berharga untuk penyelesaian penyakitnya daripada seluruh sejarah organ tersebut.Dan terutama, kami tambahkan, ketika sejarah yang dimaksud sangat hipotetis. Nah, menyangkut asal-muasal agama-agama kesukuan/ kebangsaan, sekurangnya harus dibilang mereka tidak bisa diterangkan oleh evolusi sederhana, seragam, naik; asal-usul mereka campuran. Meskipun beberapa atau semua dari mereka bermula dengan elemen-elemen kebenaran, mereka kini melambangkan pemburukan dan penyimpangan dahsyat dari kemurnian terdahulu. Tak diragukan, di bawah semua agama ini terdapat beberapa elemen agama alamiah dan karenanya hakiki: intuisi-intuisi tertentu, sugesti-sugesti hati nurani, dan petunjuk-petunjuk alam yang menyampaikan banyak pengetahuan yang dibutuhkan tentang Tuhan. “Tidak memiliki hukum (wahyu), mereka ini adalah hukum (wahyu) untuk diri mereka sendiri.” Bentuk cahaya ini adalah ciri umum semua manusia dengan atau tanpa wahyu kitab; dan itu memancar dari Kristus, Logos abadi. Selain itu, bentuk cahaya ini menghasilkan bahkan sebuah warta rahayu dasar, sebagaimana Paulus isyaratkan dengan jelas dalam Roma 2:4-10, betapapun warta rahayu itu dipahami atau diambil secara buruk. Jika orang-orang mempercayai petunjuk-petunjuk warta rahayu awal yang diberikan oleh altar Abel atau oleh intuisi mendalam mereka sendiri; jika mereka begitu percaya sampai-sampai bertindak berdasarkan kepercayaan terbaik mereka—sebab yang demikian dan hanya yang demikian adalah keimanan; mereka akan sudah diselamatkan di suatu tahap bayi. Di kalangan orang-orang antediluvia, misalnya, sebagaimana Dr. William Ashmore katakan, Nuh “tidak memiliki monopoli atas kayu gofir”. Ada monopoli dalam kekafiran, kecuali jika Nuh dan keluarganya adalah pengecualian berkilau. Tapi laporan historis tentang agama-agama kesukuan/kebangsaan, laporan yang tidak menyoroti tendensi-tendensi bandel dosa untuk menyelewengkan simpanan kebenaran orisinil manusia, laporan historis semacam itu tidak mungkin adil. Dosa telah memutarbalik elemen-elemen agama primitif yang darinya agama kesukuan/kebangsaan berawal; itu telah memalsukan konsepsi normal akan Tuhan maupun manusia. Dosa bersifat menuding Tuhan selain membenarkan diri; itu memproyeksikan penyelewengannya sendiri pada Tuhan. “Tuan, aku tahu engkau orang yang kejam,” kata orang dalam perumpamaan. Dia sebetulnya tak tahu hal semacam itu. Dia sendiri adalah “orang kejam”, yang harusnya sudah melihat aspek karakter ilahi yang lebih hakiki. Tuhan dalam imajinasi buruk orang ini adalah sebuah fiksi. Dengan demikian, dosa adalah sarana subur untuk memasukkan penyelewengan buruk dari kebaikan terdahulu ke dalam semua agama kesukuan/kebangsaan. Kala itu, tradisionalisme ofisial dan eklesiastik dan kepentingan pribadi sudah meninggalkan tanda pada agama-agama kesukuan/kebangsaan. Ini terjadi dalam Yudaisme dan bahkan dalam Kristen. Gara-gara efek jahat kependetaan/imamat dan klerikalisme, Israel kehilangan kebangsaannya dan Kristen jatuh dini dari kedudukan apostoliknya, dan pulih secara lamban saja. Sudah pasti, agama-agama kesukuan/kebangsaan tidak dikecualikan dari pemburukan serupa. Jika prinsip evolusi sebagai sebuah faktor memainkan peran dalam perkembangan sistem dan aktivitas keagamaan, kemunduran dan kemerosotan memainkan peran jahat juga. “Cahaya-cahaya patah” dari “Matahari kebajikan” hakiki yang dulu eksis sudah padam. Melalui pendeta Brahmana, pesulap Taois, darwish Muslim, dan penyihir Afrika, “Cahaya yang menerangi setiap manusia saat lahir ke dunia” berubah gelap karena sebagai agamawan-agamawan abnormal mereka telah membuat bayangan pada matahari. Berkata Kristus: “Semua orang yang datang sebelum Aku adalah pencuri dan perampok.” Apa yang tadinya warisan orisinil manusia dalam Firman Abadi telah dicuri, mempersulit sang Tuhan penebus untuk melakukan maksud kerja-Nya. Pengaruh setan juga telah masuk untuk merendahkan agama kesukuan/kebangsaan. Sejarah panjang manusia segaris dengan keterangan alkitab tentang konflik tak teredam dan tragis antara “benih wanita”, yaitu Putera manusia dan Adam terakhir, dan si ular tua, yaitu iblis. Oleh karenanya mustahil kita membutakan mata kita terhadap pengaruh menyimpang dari agensi setan terhadap tatanan purba.
| Judul asli | : | Has Christianity the Moral Right to Supplant the Ethnic Faiths?<i=1-YzfHgZLWQQZWd1V6xJp0OVMO44DUQUH 299KB>Has Christianity the Moral Right to Supplant the Ethnic Faiths? |
| Tahun | : | 1907 |
| Pengarang | : | Henry C. Mabie |
| Penerbit | : | Relift Media, Agustus 2024 |
| Genre | : | Religi |
| Kategori | : | Nonfiksi, Makalah |
Unduh
Apakah Kristen Berhak Menggantikan Agama Kesukuan Kebangsaan: Hak Penebusan Dalam Misi Kristus.pdf
Koleksi Sastra Klasik (2024)