Tidak ada yang namanya keilahian yang terpisah dari entitas ilahi. Jika manusia bisa dikatakan memiliki kadar keilahian lebih besar atau lebih kecil di dalam diri mereka, bahasa ini tidak memiliki pengertian yang jelas, kecuali jika dimaksud bahwa mereka memiliki kadar tertentu Tuhan di dalam diri mereka.
Demi pikiran yang jernih, izinkan aku bicara beberapa patah kata mengenai sebuah topik yang sering diperbincangkan dewasa ini. Aku mengacu pada frasa “keilahian manusia” atau ungkapan-ungkapan serupa yang sering dipakai dalam diskursus-diskursus homiletis atau teologis menyangkut fitrah manusia secara umum dan fitrah Kristus secara khusus. Dalam mencoba menyatakan kembali doktrin kristologis agar lebih menonjolkan kemanusiaan Kristus, kadang dianggap bahwa kesukaran-kesukaran yang menimpa doktrin lama (yaitu fitrah ganda Sang Penebus) terhindari, dan kebenaran esensial terjaga, dengan mengatakan Kristus adalah seorang manusia yang memiliki lebih banyak keilahian di dalam dirinya daripada manusia-manusia lain, atau bahwa dia memiliki sebanyak-banyaknya keilahian yang seorang manusia mungkin miliki. Dalam pernyataan-pernyataan demikian, implikasinya adalah bahwa Yesus adalah manusia belaka, dilahirkan ke dunia secara alami dan biasa, tapi diberkahi secara unik, keunikan berupa proporsi luar biasa keilahian yang lazim pada semua manusia.
Mari kita periksa konsepsi ini. Yang dimaksud dengan istilah “keilahian” (
divinity) yang dipakai di sini adalah kualitas atau karakteristik seorang entitas ilahi; itu praktisnya sama dengan “ketuhanan” (
deity). Sebab orang-orang yang kupikirkan bukanlah kaum Arian, yang memandang Kristus bukan sebagai Tuhan ataupun manusia, tapi sebagai makhluk yang membentuk kelas/golongannya sendiri (manusia super, tapi dicipta), dan yang membicarakan “keilahian”-nya tapi mengingkari “ketuhanan”-nya. Selain itu, orang-orang yang dimaksud bukanlah kaum politeis, yang di dalam pikirannya “keilahian” berarti hampir apa saja yang kurang-lebih manusia super. Tidak; “keilahian” dan “kemanusiaan” yang dipakai dalam diskusi kristologis sama antitesisnya dengan “Tuhan” dan “manusia”.
Lantas, selanjutnya kita perlu bertanya, apa perbedaan antara Tuhan dan manusia? Dewasa ini tidak sedikit yang ditulis, yang tujuannya adalah untuk memperkecil perbedaan tersebut. Kita diberitahu bukan hanya tentang keilahian manusia, tapi tentang kemanusiaan Tuhan; penekanan diberikan pada keserupaan esensial fitrah insani dan fitrah ilahi. Seorang penulis modern berkata: “Menjadi Tuhan adalah memiliki lebih banyak kasih daripada apapun, adalah mampu membuat pengorbanan lebih besar untuk kebaikan semua, adalah memiliki kapasitas tak terhingga untuk merendahkan diri demi yang lain.” Seorang teolog terkemuka lain (Ritschl) beranjak jauh sampai menyatakan kasih adalah esensi ketuhanan dalam pengertian sedemikian rupa sehingga dalam konsepsi kita akan Tuhan, kasih secara logis mendahului personalitas. Nah, supaya tidak membahas panjang-lebar rancunya membayangkan kasih bisa dikonsepsikan sebagai entitas yang eksis terpisah dari persona yang mengasihi, poin yang ditekankan dalam representasi-representasi ini adalah bahwa karakter moral—kekudusan—merupakan hal paling esensial dan penting dalam Tuhan maupun manusia. Dalam manusia, diakui, karakter moral ini tak sempurna, sedangkan dalam Tuhan itu sempurna; tapi seiring manusia maju dalam pemilikannya, dia menjadi semakin ilahi; dan sebagian orang tidak ragu untuk memaknai secara harfiah diktum milik Athanasius bahwa dalam inkarnasi/penjelmaan, Firman dijadikan manusia agar manusia dapat dijadikan ilahi, dan mereka berbicara tentang [orang-orang] yang baru saja dijadikan sempurna di dunia surga sebagai tuhan-tuhan riil. Ini adalah politeisme sederhana, meski kurang kasar daripada politeisme pagan biasa.
Nah, bahwa Tuhan dan manusia sama-sama memiliki fitrah rasional dan moral, dan bahwa fitrah moral dan rasional ini adalah hal paling mulia dalam Tuhan maupun manusia, ini kebenaran yang sangat besar tapi sangat basi. Namun, lagi-lagi timbul pertanyaan, apakah ada perbedaan spesifik antara Tuhan dan manusia; atau adakah perbedaan derajat saja? Rasanya aneh sampai ada kesempatan untuk menanyakan pertanyaan semacam itu. Andai kita politeis, bakal dinyatakan bahwa manusia dan dewa-dewa/tuhan-tuhan tidaklah berbeda secara spesifik. Tapi ketika di Kristendom Protestan, di mana monoteisme paling ketat dan paling murni seharusnya bertempat tinggal, gagasan tersebut bisa mendapat persetujuan, hal ini mengagumkan. Adalah ciri esensial teisme Kristen bahwa Tuhan dipahami tidak dicipta, dan merupakan Pencipta segala sesuatu; bahwa kekuasaan-Nya menopang dan mentenagai segala sesuatu; bahwa Dia mahakuasa dan mahatahu; dan bahwa, sebagai entitas moral, dia tidak hanya bermoral sempurna, tapi merupakan Pengatur Moral semesta, yang kepada-Nya makhluk-makhluk moral lain bertanggungjawab, dan yang milik-Nya hak prerogatif pengampunan dan penghukuman. Atribut-atribut ini, bukan untuk mencoba pernyataan yang lebih mendalam, adalah atribut-atribut khas ilahi; mereka membedakan Tuhan secara mutlak dari manusia. Kemajuan dan pertumbuhan manusia sebesar apapun tidak pernah bisa membawanya memiliki satupun atribut-atribut ini. Dalam susunan mental dan moral kita, kita sama dengan Tuhan, tapi dalam hal ini pun terdapat perbedaan yang mungkin sebetulnya disebut spesifik; tapi karakteristik-karakteristik lain yang disebutkan di atas, tak ada manusia yang pernah atau akan pernah ikut memilikinya. Dan karakteristik-karakterisik itulah terutama yang menyusun ketuhanan.