Jika ada yang pasti menyangkut sang Pendiri Kristen, itu adalah bahwa dari awal sampai akhir dia merupakan orang bani Israel yang bersemangat dan taat, yang mengajarkan moralitas luhur akidah leluhurnya dan mendorong para pengikutnya untuk melaksanakan kewajiban menegakkan agama mereka.
“Namun, Akulah Allah, Tuhanmu sejak dari Tanah Mesir. Kamu tidak mengenal tuhan lain selain Aku. Kecuali Aku, tidak ada Juru Selamat.” (Hosea xiii. 4)Ayat ini, yang terdapat dalam Haftarah kita pagi ini, merupakan salah satu dari banyak teks dalam Kitab-kitab Ibrani yang mengajarkan, dengan bahasa yang jelas, doktrin pokok kredo Yahudi, yakni ketunggalan/kesatuan atau keesaan Tuhan. Betapa dalam kita teraduk saat merenungkan kepercayaan itu dan semua maknanya bagi kita! Itu adalah fondasi kehidupan beragama kita, inti akidah kita; demi mempertahankannya para leluhur kita sering memikul hinanya perbudakan dan mengalami kematian sebagai martir; demi itu kita berpegang kokoh pada tradisi ras kita dan dengan sukarela menghormati perintah-perintah Hukum Kudus kita. Di dalam doktrin keesaan Tuhan dapat ditemukan penjelasan sejati rahasia eksistensi dan vitalitas kita; tapi sebelum bisa memprakirakan makna kata-kata yang diucapkannya, seorang anak Yahudi diajari untuk mengucapkan dengan cadel, dalam aksen bergetar, kaul akidahnya dalam kredo tersebut; itu merupakan kata-kata terakhir yang melekat di lisan orang bani Israel yang saleh, ketika di ranjang kematiannya dia bersiap menemui hadirat Pencipta-nya. Itu adalah mata air yang darinya mengalir keyakinan-keyakinan terkudus kita dan sumber yang darinya memancar harapan-harapan terdalam kita; itu adalah satu semboyan yang tetap bergema ke seluruh kemah Israel yang terpencar dan memanggil seluruh persaudaraan Yahudi, di seluruh dunia, ke satu perkara bersama. Tapi, saudara-saudaraku seiman, kita dituntut untuk lebih dari sekadar percaya. Adalah bualan angkuh orang Yahudi bahwa keyakinan-keyakinan keagamaannya bersifat rasional dan dapat dimengerti; akidah kita bukan gagasan yang bukan-bukan, kembung oleh sentimen dan mistikisme, melainkan struktur kokoh dan solid, yang darinya perasaan-perasaan halus hati tidak ditiadakan memang, tapi yang dibangun di atas pemikiran tak gentar dan penalaran sungguh-sungguh. Yudaisme tidak mengizinkan awan-awan gelap melayang di cakrawalanya dan mencegah matahari nalar menerangi harta-benda di dalam; sebaliknya, laksana tanaman yang penuh dengan vitalitas yang mulai lahir, ia mencari cahaya, dan menemukan rumah alami dan cocok di sana. Oleh karenanya, tidaklah cukup kita berpegang, dengan kegigihan pantang mundur, pada doktrin yang membentuk batu pijakan akidah kita; penting pula kita bisa membentengi keyakinan-keyakinan kita dengan bukti-bukti yang muncul ke dalam akal sehat manusia. Dengan demikian, tujuanku adalah menyelidiki dasar rasional doktrin Keesaan—mengetengahkan alasan-alasan mengapa kita mesti sekuat tenaga berpegang pada prinsip ini yang mendorong aktivitas keagamaan kita. Kadang kita menemukan kebenaran sebuah pernyataan atau teori dengan mempelajari kebalikannya; dengan menempatkannya sejajar dengan teori-teori saingan dan mempertimbangkan nilai bukti dari argumen-argumen penyokongnya dari perspektif bukti yang mendukung doktrin-doktrin lawan. Dan jika kita menerapkan metode ini pada subjek penyelidikan kita saat ini, kita menemukan bahwa semua doktrin menyangkut fitrah/kodrat Ketuhanan, yang antagonistik terhadap kepercayaan Yahudi, dapat digolongkan menjadi tiga, yang (tanpa mengabaikan urutan konflik mereka dengan Yudaisme) dapat dinyatakan sebagai Multiplisitas atau Pluralitas Tuhan, Dualitas, dan Trinitas Tuhan. Nah, dari tiga jenis kepercayaan berbeda ini, kita hanya perlu menyoroti serius jenis terakhir, sebab manusia beradab sudah lama tidak lagi memandang dua jenis pertama dengan hormat. Di masa-masa awal sejarah kemanusiaan, umat manusia membayangkan pemerintahan dunia ini dijalankan oleh kekuatan-kekuatan yang jumlahnya tak terhingga; objek-objek alam dipertuhankan menjadi entitas-entitas tertinggi, dan pahlawan-pahlawan manusia ditinggikan ke singgasana kemuliaan dan kekuatan yang tak kasat mata. Lalu datang Yudaisme dengan idealisme luhurnya, dan menyatakan dalam generalisasi luasnya bahwa כל אלהי העמים אלילים ויהוה שמים עשה “Segala ilah yang disembah oleh bangsa-bangsa adalah berhala, tetapi ALLAH sajalah yang menjadikan langit”; dan dalam ledakan kebenaran dahsyat itu teologi pagan diremukkan oleh agama Israel untuk orang-orang tercerahkan. Kemudian dalam sejarah, kita menemukan agama Parsi, yang merata di Persia pada masa pembuangan Babilonia, meninggalkan kepercayaan pagan terhadap multiplisitas dewa-dewa, tapi menggantinya dengan Dualisme Dewa—sebuah kepercayaan bahwa Entitas Tertinggi terdiri dari dua elemen, yang satu adalah prinsip terang, pengetahuan, kekudusan, satu lagi prinsip kegelapan, pertikaian, dan keburukan. Tapi kesalahan fatal ini juga diledakkan oleh kerasnya akidah Israel yang tak kenal kompromi. Melalui nabi fasihnya dari masa Pembuangan, akidah itu memproklamirkan, “Akulah ALLAH dan tidak ada yang lain. Tidak ada Tuhan selain Aku... Akulah yang membentuk terang dan menciptakan gelap, Akulah yang mendatangkan kesejahteraan dan menciptakan malapetaka. Aku, ALLAH, membuat segala hal ini,” dan dalam deklarasi yang meremukkan itu, ajal doktrin Dualisme dijatuhkan. Tapi dengan dogma Trinitas, kita berada dalam hubungan yang anehnya berbeda. Itu dikaulkan secara khidmat oleh jutaan sesama makhluk yang paling beradab dan tercerahkan; itu mempertahankan pendiriannya terlepas dari persekusi sesengit-sengitnya, serangan sehebat-hebatnya dari dalam maupun dari luar komunitas Kristen, dan pergantian berabad-abad masa. Itu adalah rival sukses kepercayaan Yahudi terhadap keesaan Tuhan, dan karenanya mustahil untuk mengesampingkannya dalam penyelidikan sebab-sebab mengapa kita, sebagai makhluk berakal, berpegang begitu kuat pada kredo leluhur kita. Izinkan aku menambahkan bahwa aku tidak termasuk golongan yang berpendapat bahwa kita mesti segan mengkritik doktrin-doktrin keagamaan saudara-saudara Kristen di atas mimbar. Meski tak boleh ada pikiran kasar dalam benak kita dan tak boleh ada perkataan ofensif dari bibir kita berkenaan dengan persona-persona, aku menganggap bahwa prinsip-prinsip yang kita tolak mesti ditinjau secara terus-terang dan kalau perlu karakternya yang tak pasti dan tak rasional mesti dibuktikan secara jelas, sebab ini penting untuk pemahaman yang benar akan akidah kita sendiri. Dan ketika kita memeriksa dengan cermat alasan-alasan mengapa kita mempertahankan kepercayaan kita terhadap keesaan Tuhan dan menolak memberi persetujuan kepada dogma Kristen, kita menemukan bahwa alasan-alasan tersebut pecah menjadi tiga bagian besar penyimpulan, yang secara berturut-turut dapat dinamai sebagai (1) Argumen Rasional, (2) Argumen Biblikal, dan (3) Argumen Historis.
Judul asli | : | The Unity of God<i=1YV1js11J1rXGpVfQclrzumM8zQohjpL0 346KB>The Unity of God (1885) |
Pengarang | : | J. Polack |
Penerbit | : | Relift Media, Desember 2023 |
Genre | : | Religi |
Kategori | : | Nonfiksi, Khotbah |