Memang, renung Mercer, harus ada sebuah mesin untuk menetralkan monster ini yang aku terpaksa umpani selama dua tahun. Tidak, aku harus mengumpankan semua redaktur di dunia ke dalamnya!
Segera setelah Mercer Mainwaring membanting kata-kata abadi Bard of Avon edisi Perpustakaan Modern-nya perihal eksis atau tak eksis, dia mulai berspekulasi bahwa dirinya juga agak mirip si sengsara Dane.
“Aku orang yang suka menunda-nunda,” umumnya kepada lidah-lidah api gas yang berjingkrak di perapian imitasinya.
Lalu dia segera melirik dengan rasa bersalah ke arah kamar tidur. Isterinya yang letih, Teresa, telah pergi tidur.
Mercer berderap ke kamar kerja kecilnya untuk menyisipkan kembali salinan Hamlet itu di antara Homer dan Hemingway, dan tanpa sadar mengernyit saat menjentikkan saklar lampu.
Di sana, berkibar-kibar oleh angin singkat yang ditimbulkan oleh kedatangannya, ada 359 slip penolakan redaksi yang telah dia kumpulkan selama delapan belas bulan terakhir; kemudian dengan bualan gembira dia telah menempelkan mereka ke dinding dengan pita perekat Scotch.
Dindingnya tak dicat—dinding rumah bidang dua kamar mereka, yang baru dibeli, dieskro, dan dimanfaatkan di sebelah luar—tapi tak dicat di sebelah dalam.
Jadi aksi apa yang lebih logis untuk seorang yang bercita-cita menjadi pengarang selain menutup plester telanjang sarang harapan-harapannya dengan perkataan bertele-tele warna-warni dan tulisan-tulisan biru dari rombongan istimewa itu—para redaktur yang telah menolak gagasan-gagasannya.
“Hamlet punya dua kekurangan. Aku tiga,” gerutu Mercer sambil mengulum batang pipanya. Dia mengucapkan kata-kata keras yang bertemu mata panasnya yang menjelajahi dinding berlapis Joseph:
“Kami menyesal kami tak bisa menggunakan...”
“Andai saja aku bisa katakan padamu bahwa kami merasa itu cocok, tapi...” “Setelah pertimbangan seksama...” “Sayangnya itu tidak cukup cocok...” “Ini, celaka, adalah slip penolakan...”
Dia dilahirkan hanya untuk mendapatkan slip-slip penolakan, itu saja.
“Kami terpaksa menolak ribuan...” Betapa terpaksa! Dan betapa ke-359 mereka dipamerkan.
Kromosom-kromosom... “Beberapa orang terlahir hebat.”
“Aku tidak,” Mercer bermuram durja, merasa lebih berhati dengki daripada Malvolio.
“Tapi aku takkan bisa seperti Hamlet! Oke, jadi aku sudah membuang-buang dua tahun—dan banyak perangko! Aku tamat, selesai! Aku takkan menulis lagi sepatah katapun!
Perasaan bebas meresapi Mercer Mainwaring. Lepas! Sekarang dia bisa meluangkan waktu untuk melakukan semua hal yang selalu dia ingin lakukan! Mengecat rumah! Pergi memancing! Benar-benar mengerjakan pekerjaannya di pabrik pesawat! Lagipula seorang teknisi elektronik tak punya hak untuk mencoba menjadi penulis! Sewaktu melangkah jantan dari ruangan, Mercer berhenti di tengah jalan. Salah satu dari benih-benih ide cerita terkutuk itu menggores otak lembeknya. Tak berdaya, dia merasa itu berkembang bagai karsinoma di dalam dinding-dinding tengkoraknya. “Lelaki ini ingin menikahi gadis ini, ya, tapi dia tak bisa, karena dia terikat oleh sebuah kesepakatan rahasia dengan para katai yang hidup di hutan untuk—” iblis kecil jahat di lobus frontalnya merembes. “Satu lagi! Satu lagi cerita busuk untuk dikeringati dan dibudaki, untuk dicurahi waktu dan perangkat—untuk apa? Untuk diumpankan ke dalam mesin, untuk keluar dalam bentuk persegi atau bujur sangkar kecil penolakan!” Memang, renung Mercer, harus ada sebuah mesin untuk menetralkan monster ini yang aku terpaksa umpani selama dua tahun. Tidak, aku harus mengumpankan semua redaktur di dunia ke dalamnya! “Well, jika kau tak bisa kalahkan mereka, bergabunglah dengan mereka,” dia berfilosofi. “Aku akan buat mesinku sendiri! Aku akan bodohi mereka.”
Perasaan bebas meresapi Mercer Mainwaring. Lepas! Sekarang dia bisa meluangkan waktu untuk melakukan semua hal yang selalu dia ingin lakukan! Mengecat rumah! Pergi memancing! Benar-benar mengerjakan pekerjaannya di pabrik pesawat! Lagipula seorang teknisi elektronik tak punya hak untuk mencoba menjadi penulis! Sewaktu melangkah jantan dari ruangan, Mercer berhenti di tengah jalan. Salah satu dari benih-benih ide cerita terkutuk itu menggores otak lembeknya. Tak berdaya, dia merasa itu berkembang bagai karsinoma di dalam dinding-dinding tengkoraknya. “Lelaki ini ingin menikahi gadis ini, ya, tapi dia tak bisa, karena dia terikat oleh sebuah kesepakatan rahasia dengan para katai yang hidup di hutan untuk—” iblis kecil jahat di lobus frontalnya merembes. “Satu lagi! Satu lagi cerita busuk untuk dikeringati dan dibudaki, untuk dicurahi waktu dan perangkat—untuk apa? Untuk diumpankan ke dalam mesin, untuk keluar dalam bentuk persegi atau bujur sangkar kecil penolakan!” Memang, renung Mercer, harus ada sebuah mesin untuk menetralkan monster ini yang aku terpaksa umpani selama dua tahun. Tidak, aku harus mengumpankan semua redaktur di dunia ke dalamnya! “Well, jika kau tak bisa kalahkan mereka, bergabunglah dengan mereka,” dia berfilosofi. “Aku akan buat mesinku sendiri! Aku akan bodohi mereka.”
Judul asli | : | Mercer’s Machine<i=14Tsg2_SrqWjANTKrGI8qGHqlfMdSdR2t 242KB>Mercer’s Machine (1953) |
Pengarang | : | Joseph Slotkin |
Penerbit | : | Relift Media, Juni 2023 |
Genre | : | Humor |
Kategori | : | Fiksi, Cerpen |