Kita menaati pancasila bukan untuk alasan duniawi murni semata, tapi karena Buddha mengadopsi mereka sebagai fondasi Ajarannya (Jalan menuju Ketersadaran), dan karena mereka telah senantiasa menyiapkan jalan untuk Ordo Orang Tercerahkan dari semua zaman.
Butir-butir Pancasila:
- Pāṇātipātā veramaṇī, sikkhāpadaṃ samādiyāmi. (Aku bersumpah akan mematuhi sila berpantang dari membunuh makhluk hidup.)
- Adinnādānā veramaṇī, sikkhāpadaṃ samādiyāmi. (Aku bersumpah akan mematuhi sila berpantang dari mengambil apa yang tidak diberikan.)
- Kāmesu micchācārā veramaṇī, sikkhāpadaṃ samādiyāmi. (Aku bersumpah akan mematuhi sila berpantang dari kelakuan seksual tak senonoh.)
- Musāvādā veramaṇī, sikkhā-padaṃ samādiyāmi. (Aku bersumpah akan mematuhi sila berpantang dari omongan tak benar.)
- Surāmeraya majja pamādaṭṭhānā, sikkhāpadaṃ samādiyāmi. (Aku bersumpah akan mematuhi sila berpantang dari minuman memabukkan dan obat-obatan yang menyebabkan kelalaian.)
Semua agama, di samping filosofi-filosofi yang lebih praktis, memiliki kode etik yang dimaksudkan untuk memberi suatu tuntunan terkait perilaku sehari-hari pengikut mereka. Kristen memiliki Sepuluh Perintah dan Kaidah Kencana; Islam memiliki Lima Rukun Islam; Taoisme memiliki Tiga Harta yakni Kasih, Kesederhanaan, dan Kerendahhatian; Konfusianisme memiliki Tiga Prinsip yakni Kemurahhatian, Keadilan, dan Keberanian; dan Brahmanisme memiliki aturan kompleksnya yang merumuskan kehidupan untuk setiap kasta. Patut dicatat bahwa tradisi terakhir ini tidak mempertimbangkan sistem etika yang seragam untuk semua kasta. Sebagai contoh, anggota kasta ksatria dapat mengambil nyawa di bawah keadaan tertentu tanpa bersalah, sementara kasta-kasta lain tidak dapat berbuat demikian. Akan tetapi, Buddhisme menyerupai agama-agama dunia lain lantaran sila-silanya dianggap bisa diterapkan secara universal, sekurangnya di bawah kondisi-kondisi eksistensi manusia.
Sila-sila ini biasanya dirumuskan sebagai lima, yang dalam kasus-kasus tertentu, khususnya dalam Buddhisme Utara, diperluas menjadi sepuluh yang lebih rinci. Lima sila, boleh diingat, didefinisikan sebagai berpantang dari mengambil kehidupan/nyawa, dari mencuri, dari kelakuan seksual tak senonoh, dari kebohongan, dan dari kemabukan. Sebagai penguatan signifikansi hakiki mereka, ada gunanya menyebutkan satu persatu kesepuluh sila, terdiri dari berpantang dari tiga keburukan raga (mengambil nyawa, mencuri, dan kelakuan seksual tak senonoh), empat keburukan lisan (kebohongan, umpatan, fitnah, dan gosip kosong), dan tiga keburukan mental (ketamakan, kebencian, dan pandangan tak benar). Semua kemungkinan aktivitas tergolong ke dalam tiga kelas ini, yakni raga, lisan, dan mental, sehingga sekalipun hanya lima sila biasa yang disebutkan, implikasinya adalah keadaan-keadaan mental tak benar merupakan akar semua perilaku tak benar.
Sudah sering dicatat bahwa sejauh apapun teori doktrinal agama-agama saling berbeda, rumusan etis mereka luar biasa mirip, bahkan secara detil. Sebagai contoh, sebagai perbandingan dengan Kaidah Kencana Kristen, kita memiliki prinsip Buddhis “samakan dirimu dengan orang lain” (
Attānaṃ upamam katvā), sebagaimana dalam ayat 129 Dhammapada. Alasan kenapa ada begitu banyak contoh paralel dalam sistem-sistem etika di seluruh dunia adalah sudah pasti karena semua agama harus mengadopsi peran sosial di samping peran personal; dan apapun teori dasarnya, penting sekali memecahkan permasalahan sosial serupa dengan cara-cara serupa. Buddha mengakui ini, karena di bidang etika dia hanya mengklaim menguatkan apa yang sudah selalu diajarkan oleh guru-guru paling bijak. Bagian khas dari doktrinnya terletak dalam alasan-alasan yang dia berikan untuk kode etik.
Ini adalah persoalan utama, sebagaimana guru-guru keagamaan lain akan sependapat. Tidak akan ada banyak perselisihan bahwa agama-agama teistik, utamanya Kristen dan Islam, mengadopsi garis tindakan tertentu bukan demi tindakan itu sendiri, tapi karena itu menyenangkan sang Pencipta, yang pelayanan kepada-Nya dianggap sebagai satu-satunya alasan eksistensi. Namun, kelemahan tertentu dalam sikap ini jelas kelihatan dari sejarah dua agama ini, karena dalam prakteknya otoritas-otoritas tertentu mengambil tanggungjawab untuk mendefinisikan kehendak Ilahi, dan jika otoritas-otoritas ini menyatakan pembantaian orang-orang bid’ah atau penjarahan kaum pagan juga menyenangkan sang Pencipta, para pengikut mereka merasa bebas untuk berbuat demikian. Sikap ini melangkah jauh sampai meruntuhkan standar tinggi yang coba ditegakkan oleh para pendirinya.
Berpaling lebih jauh ke arah timur, Konfusianisme mencoba menjustifikasi kode etiknya dengan seruan pada kepentingan tatanan sosial, yang dikonsepkan sebagian sebagai tujuan itu sendiri dan sebagian sebagai berlandaskan tatanan kosmik lebih akbar, yang bagaimanapun berada di luar cakupan akal manusia untuk didefinisikan. Taoisme membalik skema ini secara menarik, karena—meyakini tatanan sosial sepenuhnya bergantung pada tatanan kosmik—ia menganjurkan bahwa cara terbaik adalah mencampuri sesedikit mungkin hukum tertinggi sehingga mempertahankan keseimbangan dan keharmonian segala hal. Dalam upayanya menyadari realitas tertinggi dan berharmoni dengannya, Taoisme mendekati semangat Buddhis lebih dekat daripada filosofi lain manapun.
Buddha menjustifikasi prinsip-prinsip etika yang diajarkan olehnya di atas dua landasan utama: pertama, mereka membentuk fondasi semua kemajuan ke arah pencerahan dan keterbebasan dari semua dukacita, dan kedua, bahwa dalam selang waktu sebelum penyempurnaan akhir ini, mereka adalah dasar untuk kondisi-kondisi paling bahagia di alam kelahiran dan kematian. Definisi paling ringkas dari ajarannya adalah bahwa itu menyangkut “penderitaan dan berakhirnya penderitaan”. Yang dimaksud dengan penderitaan adalah rangkaian siklus kelahiran dan kematian yang tak ada batasnya, didorong oleh keinginan salah, dibiakkan di bawah pengaruh ilusi. Yang dimaksud dengan berakhirnya penderitaan adalah buyarnya ilusi melalui kebijaksanaan, dengan hasil berupa kemerdekaan dari kelahiran dan kematian dalam menyadari Yang Riil dan tak berubah.