“Ini bukan pesta. Perbudakan bukan hal asyik. Aku pikir itu punah sudah lama, tapi setiap orang di Bumi sedang membuat kemajuan mental sedemikian rupa...sampai-sampai mereka tidak punya waktu untuk melakukan pekerjaan riil.”
Caffrey membanting pintu baja besar dan berjalan melalui gimnasium. Kaki telanjangnya menampar-nampar matras, sementara tongkat dari kayu hutan Venus sekeras besi berayun ringan di satu tangan. Dia hanya mengenakan pantalon putih kotor. Keringatnya berkilau di bawah pancaran lampu-lampu lelangit. Dalam hatinya dia menyerapahi kapal yang sudah tua, memburuk, dan tanpa unit-unit pendingin.
Wajah gemuknya bergerak dari sisi ke sisi, memperhatikan. Mata hitam menangkap setiap pergerakan. Dia melihat semua yang berlangsung. Itu adalah tiketnya keluar dari dunia antariksa bau berbintang beku, dunia kapal-kapal barang kelas sembilan dan kargo-kargo najis.
Android-android langsing biru kelabu sedang berolahraga. Mereka melompati palang-palang paralel, berjuntai dari cincin-cincin, bekerja dengan katrol-katrol. Bahkan para wanita dan anak-anak berolahraga. Mereka tidak berkeringat, karena tubuh mereka tidak dibuat untuk berkeringat, tapi Caffrey bisa melihat otot mereka memuntir dan bergetar di balik jangat sabak, mengembang.
Sejenis riuh aneh memenuhi gimnasium lapang itu. Garauan teredam, bisikan nafas, tepakan kokoh tangan dan tubuh pada palang dan matras. Android-android itu tidak menoleh pada Caffrey. Mereka sudah biasa dengan perbudakan. Mereka tahu mereka mati ketika dilahirkan.
Caffrey berhenti berjalan. Dekat dinding kiri, dua android pria sedang bercakap-cakap. Mereka bersandar malas dan lelah pada palang-palang kayu cokelat. Wajah Caffrey kehilangan kelembekannya, jadi terlucuti dari segalanya kecuali tujuan.
Dia berjalan ke arah mereka, sadar akan kekuatannya sendiri. Yang lain-lain terus berolahraga. Tepakan dan angin nafas lembut dan keriat-keriut peralatan. Hawa panas menggelantung hampir teraba.
“Kenapa kalian berdua tidak olahraga seperti yang lain?” tanya Caffrey pelan-pelan.
Salah satu dari mereka berkata dengan suara letih, “Aku capek. Aku tak bisa saat capek.”
Jemari Caffrey mengencang pada tongkatnya. Mereka harus sangat sehat! Harus! Ini adalah muatan kapal terakhirnya, dan demi Tuhan...
Dia mengayunkan tongkat ke atas bahu dan menjatuhkannya dalam busur mengaburkan. Timbul bunyi tempeleng datar. Si android tersedak. Caffrey memukul satu lagi, dan amarah naik dari perutnya seperti api mendidih. Dia meneriaki mereka dan memukuli mereka. Lagi tongkatnya jatuh, lagi, lagi, lagi...
Akhirnya dia mundur, merasakan keringat mengalir turun. Dia memiringkan kepala dan meneguk udara. “Nah,” katanya sangat tenang, “nah, anak-anak sabak bukan manusia, mulailah bekerja...”
Mereka berdua memperhatikan dari matras kelabu tempat mereka meringkuk. Kebencian terlihat singkat di mata mereka.
Caffrey mengumpulkan otot-ototnya dan menendang. Kepala si android tersentak ke belakang menghantam palang. Dia menggarau. Lalu mereka berdua berdiri dan berjalan ke katrol-katrol. Mereka mulai berolahraga, dengan cepat.
Caffrey tertawa dan berjalan terus melintasi gimnasium, tidak memperhatikan mereka lagi. Dia pergi melewati panel sekat berikutnya dan memutar roda kunci, lalu menapaki koridor di bawah lampu-lampu lelangit yang bersinar seperti mata biru berkabut.
Dillman, astrogatornya, seorang anak muda berambut kuning dan berahang agresif, ada di ruang peta. Dia sedang bekerja dengan komputer jalur. Dillman tadinya mahasiswa di Universitas Venus, Kota Awan, ketika membunuh seorang seorang petugas Polisi Kendali dalam perkelahian memperebutkan seorang gadis. Dillman pandai dalam permainan budak. Dillman menjadi keras.
Caffrey menutup pintu. Itu berdentang nyaring. Dillman menoleh.
“Halo, Kapten,” katanya. “Kita tepat pada jalur. Mars dalam enam jam, empat belas menit.”
Caffrey mengangguk, merosot ke kursi goncang berbantalan tebal. Di luar jendela observasi lebar, antariksa tampak hitam tanpa ujung, dan bintang-bintang bergantung di sana seperti kepingan berlian rekah. Bola gembung matahari terbakar di atas kapal, dan Mars merah padam, persis di depan. Gemuruh jauh dari pipa-pipa jet karatan tua memenuhi ruangan.
“Bagaimana semuanya?” tanya Caffrey. “Mesin-mesin?”
“Beres,” kata Dillman, menyandar pada meja astrogasi. “Beberapa keping gagal berfisi tak lama lalu, tapi semuanya oke sekarang.”
Caffrey melambai. “Keluarkan botolnya.”
Dillman menyeringai dan membuka sebuah lemari dinding logam hijau. Dia mengisi dua gelas minum dengan sirop anggur rawa dan menyerahkan salah satunya kepada Caffrey. Kapten kapal minum setengah, bernafas nyaring, dan mengosongkan gelas. Dia membungkuk lebih dalam ke kursi goncang, bersandar. “Aku akan senang saat ini selesai, Dillman. Benar-benar senang.” “Kau serius, pak?” “Ya, aku serius. Dalam bisnis ini kau harus keras. Tapi aku akan terkejut jika seorang manusia bisa terus menendangi orang-orang sepanjang waktu. Di suatu tempat, dia harus berhenti. Well, perjalanan ini akan menghasilkan banyak uang untukku dan aku bisa berhenti. Ada pekerjaan menunggu, mengangkut pulang-pergi para penumpang ke Temple Ruins di barat Red Sands di Mars.” “Ini bukan pesta,” aku Dillman. “Perbudakan bukan hal asyik. Aku pikir itu punah sudah lama, tapi setiap orang di Bumi sedang membuat kemajuan mental sedemikian rupa...” dia menunjuk tengkoraknya dan menyeringai masam “...sampai-sampai mereka tidak punya waktu untuk melakukan pekerjaan riil. Dan tentu saja, makhluk-makhluk tak berguna di kapal kita ini bukan benar-benar manusia. Bagaimana mereka membuatnya, Kap?”
Dillman menyeringai dan membuka sebuah lemari dinding logam hijau. Dia mengisi dua gelas minum dengan sirop anggur rawa dan menyerahkan salah satunya kepada Caffrey. Kapten kapal minum setengah, bernafas nyaring, dan mengosongkan gelas. Dia membungkuk lebih dalam ke kursi goncang, bersandar. “Aku akan senang saat ini selesai, Dillman. Benar-benar senang.” “Kau serius, pak?” “Ya, aku serius. Dalam bisnis ini kau harus keras. Tapi aku akan terkejut jika seorang manusia bisa terus menendangi orang-orang sepanjang waktu. Di suatu tempat, dia harus berhenti. Well, perjalanan ini akan menghasilkan banyak uang untukku dan aku bisa berhenti. Ada pekerjaan menunggu, mengangkut pulang-pergi para penumpang ke Temple Ruins di barat Red Sands di Mars.” “Ini bukan pesta,” aku Dillman. “Perbudakan bukan hal asyik. Aku pikir itu punah sudah lama, tapi setiap orang di Bumi sedang membuat kemajuan mental sedemikian rupa...” dia menunjuk tengkoraknya dan menyeringai masam “...sampai-sampai mereka tidak punya waktu untuk melakukan pekerjaan riil. Dan tentu saja, makhluk-makhluk tak berguna di kapal kita ini bukan benar-benar manusia. Bagaimana mereka membuatnya, Kap?”
Judul asli | : | The Android Kill<i=1hmqSVfSbFDA1v0SxkRY926zfWhb2t94f 247KB>The Android Kill (1952) |
Pengarang | : | John Jakes |
Penerbit | : | Relift Media, Mei 2023 |
Genre | : | Sci-Fi |
Kategori | : | Fiksi, Cerpen |