Sentimen-dunia ini, altruisme ini, kita dapat namakan worldisme, berlawanan dengan nasionalisme, semangat yang mengagungkan sebuah kaum/bangsa di atas ras [manusia]. Mereka ini adalah dua kekuatan yang berjumpa dalam konflik tiada akhir di bidang ekonomi, politik, dan moralitas nasional.
[Kami menerbitkan orasi luar biasa ini, yang disampaikan di Emporia, Kan., dalam lomba orasi antarkampus tahunan musim semi lalu, sebagai contoh pemikiran dan pekerjaan yang dilakukan para mahasiswa di banyak sekali perguruan tinggi dan universitas di seantero negeri ini.—Editor
The Advocate of Peace]
Manusia, dilahirkan skeptis, kurang menerima begitu saja hal-hal di alam pemikiran. Berfitrah konservatif, dia mendasarkan filosofinya bukan pada bagaimana dia seharusnya hidup, tapi pada bagaimana dia sebetulnya hidup. Pengalaman, guru besarnya, menunjukkan bahwa konservatisme lebih dari sebuah pengimbang radikalisme. Dogma menahan kemajuan dalam cengkeraman kejamnya, dan kemajuan diperoleh hanya di titik keterpaksaan pahit. Konservatisme sering terlalu konservatif; sementara radikalisme, dalam rangka mengadakan kemajuan, sering terlihat irasional dan terlalu radikal.
Dalam ranah hubungan internasional selalu terdapat konservatisme, skeptisisme, yang mengingkari persatuan umat manusia. Sejalan dengan naluri kehati-hatiannya, manusia selalu menolak doktrin persaudaraan bangsa-bangsa sebagai doktrin absurditas optimisme. Skeptisisme ini mendorong ideal-ideal dan institusi-institusi palsu dan menghasut egoisme bersekat-sekat, prasangka, dan kontroversi. Hari ini, untungnya, sedang tumbuh pandangan yang lebih luas dan adil tentang masyarakat, sebuah pandangan yang menerima umat manusia sebagai entitas tunggal. Sentimen-dunia ini, altruisme ini, kita dapat namakan worldisme, berlawanan dengan nasionalisme, semangat yang mengagungkan sebuah kaum/bangsa di atas ras [manusia]. Mereka ini adalah dua kekuatan yang berjumpa dalam konflik tiada akhir di bidang ekonomi, politik, dan moralitas nasional.
Pertama-tama, semangat nasionalisme adalah kehancuran ekonomi, sebab itu berarti pengisoliran aktivitas komersial di zaman ketika interdependensi mulai diakui sebagai prinsip dalam semua hubungan umat manusia. Sains modern telah menjadikan seluruh dunia sebuah galeri bisikan. Warga paling sederhana mendapatkan informasi setiap hari tentang urusan umat manusia, dan di rumahnya sendiri dia adalah warga dunia, bukan warga negaranya semata. Interaksi sosial pelan-pelan sedang menjalin benang-benang kepentingan menjadi kain interdependensi vital yang sempurna; tapi interaksi ini masih bau kencur. Perdagangan telah melebur kepentingan materil bangsa-bangsa sampai boikot nasional menjadi penghancuran diri dan kebijakan pintu tertutup menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan. Perang, yang dulunya menguntungkan pihak-pihak yang tak berperang, kini diakui sebagai “bunuh diri” bukan cuma kombatan tapi seluruh dunia komersial. Masing-masing kapal yang berangkat membawa hal-hal terbaik dalam kehidupan modern; masing-masing kapal barque yang pulang dibebani dengan pemikiran kontemporer dunia. Kesejahteraan bangsa-bangsa sudah menuntut agar seni, penemuan, sastra, filsafat, agama, segalanya, menjadi kosmopolitan. Egoisme dan pemencilan kebangsaan adalah falasi ekonomi, dan harus menyerah kepada semangat lebih kuat, kepentingan dunia.
Worldisme, di sisi lain, mengakui bukan saja bahwa interdependensi materil adalah vital, tapi bahwa jasa timbal-balik adalah prinsip ekonomi besar yang mendasari semua hubungan internasional. Skeptisisme nasionalisme selalu mengatakan, “Apapun yang baik untukku buruk untukmu,” tapi pengalaman mengatakan, “Apapun yang baik untukku baik untukmu.” Timbal-balik adalah hukum untuk bangsa-bangsa selain untuk orang-orang. Produsen dan konsumen bergantung timbal-balik, dan sebagaimana jasa buruh dan modal mesti timbal-balik secara adil, begitu pula hubungan bangsa-bangsa. Oleh karenanya, interdependensi adalah hukum alam, dan jasa timbal-balik adalah manfaat timbal-balik.