Otak internasional mengharuskan sebuah bangsa dan pemerintahannya memberikan secara bebas dan gembira kepada setiap bangsa lain dan setiap pemerintahan lain hak-hak dan privilese-privilese yang ia tuntut untuk dirinya sendiri.
Selama dua generasi, sudah menjadi keluhan umum bahwa rakyat AS kurang berminat pada kebijakan luar negeri dan memiliki pengetahuan sepintas saja tentang politik internasional. Pendapat ini diungkapkan, seringkali secara terbuka, oleh berturut-turut menteri luar negeri, oleh mereka yang pernah memegang pos diplomatik penting, dan oleh mereka yang telah mengabdi lama di Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS. Sejenis egosentrisme nasional bersama dengan perasaan keterkucilan geografis dan politik berpadu menghasilkan keadaan yang disayangkan ini. Disayangkan karena dua alasan: pertama, karena itu menandai perputusan serius dari tradisi nasional kita terdahulu; dan kedua, karena itu mencegah rakyat dan pemerintah AS membuat sumbangsih penuh yang bisa mereka berikan untuk pengorganisasian internasional dunia secara lebih baik dan lebih erat.
Orang hanya perlu berkenalan sedikit dengan tulisan-tulisan dan pidato-pidato para Bapak [Pendiri] dan dengan catatan-catatan Kongres awal untuk mengetahui bahwa, ketika pemerintahan AS masih muda, orang-orang yang paling mewakilinya sangat berambisi memainkan peran besar dalam kehidupan internasional dunia, terutama dengan maksud memajukan ide-ide dan prinsip-prinsip yang rakyat republik baru Amerika yakini dan komitmenkan. Benjamin Franklin adalah internasionalis besar pertama kita. Alexander Hamilton, yang menurut Talleyrand telah meramal Eropa; Thomas Jefferson, yang pengabdian publiknya di Eropa sungguh luar biasa; serta Chancellor Livingston, John Jay, Charles Cotesworth Pinckney, John Quincy Adams and Henry Clay tak hanya mengenal Eropa barat, tapi dikenal olehnya. Oleh karenanya, dalam berusaha meningkatkan minat rakyat Amerika pada hubungan luar negeri dan pada kebijakan internasional, kita hanya meminta mereka kembali ke salah satu tradisi nasional paling baik dan paling sehat.
Keasyiksendirian nasional kita juga telah mencegah kita memainkan peran memadai dalam pengembangan organisasi internasional yang sudah lama dikerjakan dan yang akan dipercepat dan sangat dimajukan oleh hasil perang saat ini. Terlepas dari fakta-fakta ini, dan terutama karena karakter dan kemampuan tinggi orang-orang yang mewakili AS di dua Konferensi Hague 1899 dan 1907, sumbangsih Amerika untuk deliberasi dan rekomendasi majelis-majelis terkemuka itu sangat penting. Bahkan, bila catatan sejarah mulai disusun, mungkin sumbangsih-sumbangsih itu akan dinilai menandai awal sebuah era baru dalam sejarah dunia.
Konferensi yang kini berkumpul untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan hubungan internasional dan kebijakan internasional AS adalah sebuah awal dan hanyalah awal dari kampanye edukasi dan pencerahan yang akan berlanjut sampai berkembangnya apa yang beberapa tahun lalu aku deskripsikan sebagai “otak internasional”, di tengah-tengah semua bagian dan seksi negeri kita. Otak internasional tiada lain adalah kebiasaan memikirkan hubungan dan urusan luar negeri, dan kebiasaan berurusan dengan mereka, yang memandang beberapa bangsa dunia beradab sebagai bangsa setara yang bebas dan koperatif dalam membantu kemajuan peradaban, dalam mengembangkan perdagangan dan industri, dan dalam menyebarkan pencerahan dan kebudayaan ke seluruh dunia. Mencoba mencuri suatu teritori bangsa lain atau mencederai atau merugikan bangsa tersebut tanpa alasan tidaklah konsisten dengan otak internasional, sebagaimana mencoba mencuri dompet milik orang lain atau melakukan serangan tanpa alasan terhadapnya tidak konsisten dengan prinsip-prinsip moralitas biasa. Otak internasional mengharuskan sebuah bangsa dan pemerintahannya memberikan secara bebas dan gembira kepada setiap bangsa lain dan setiap pemerintahan lain hak-hak dan privilese-privilese yang ia tuntut untuk dirinya sendiri. Dari sini maka otak internasional tidak cocok dengan teori negara yang memandang negara sebagai lebih tinggi daripada kaidah dan batasan perilaku moral atau yang mengakui pandangan bahwa hegemoni urusan dunia untuk kebaikan dunia diserahkan kepada suatu negara. Ketika doktrin tersebut berlaku dan menguasai keyakinan dan imajinasi sebuah kaum besar, muncul persoalan yang tidak bisa diselesaikan dengan voting di konferensi, yang tidak bisa dilerai oleh negarawan-negarawan terbijak, dan yang tidak bisa diputuskan oleh keputusan pengadilan manapun. Kewenangan dan nilai masing-masing mode prosedur ini ditantang oleh persoalan itu sendiri. Oleh karenanya, harus diambil jalan kekuatan bersenjata dalam rangka menentukan apakah otak internasional, yang dimiliki oleh puluhan atau lebih bangsa-bangsa independen dan punya harga diri, akan menang atau apakah lengan imperialisme militer, non-moral, serba kuasa akan terentang ke seluruh dunia untuk memerintah dan melindunginya. Untuk menentukan persoalan inilah dunia sekarang berperang.