Jika sedang datang masa ketika tidak akan ada toko penjual buku di negeri ini, ketika semua “kemanisan dan cahaya” terhapus dari kota-kota provinsi kita, kita memang bakal tiba pada keadaan yang buruk. Apakah penjual buku cerdas akan menghilang dari tengah-tengah kita?
Sebagai kata pengantar, izinkan aku sekarang juga mengklaim keunggulan penjualan buku di antara bisnis-bisnis negeri ini. Aku tidak akan mengalah kepada siapapun dalam merumuskan pernyataan ini. Bahkan, andai aku menulis 40 tahun silam, alih-alih hari ini, aku bakal menempatkan penjualan buku di antara profesi-profesi. Tapi celaka! kita mengalami hari-hari buruk, dan, dengan beberapa pengecualian terhormat, para penjual buku saat ini hanya bisa dipandang sebagai “pedagang” buku. Ini terjadi baru belakangan ini, dan orang-orang yang ingatannya bisa mundur ke belakang akan mengingat penjual-penjual buku yang betul-betul pemandu, filsuf, dan sahabat. Mereka adalah orang-orang yang nasehatnya diminta dan yang opininya diperoleh terkait nilai sebuah buku sebelum membeli. Kini kebalikannya, dan seringkali pembeli bukulah yang bisa menunjukkan nilai murni pembeliannya, sementara penjual buku tetap bisu dan jahil.
Sulit sekali menulis hal-hal semacam itu, tapi sayangnya tidak bisa disangkal bahwa ketika kita mempertimbangkan sejenak, bagi seseorang yang punya pretensi apapun akan selera sastra, penjualan buku adalah salah satu kesibukan paling menyenangkan yang dia bisa lakoni. Penjaga sebuah perpustakaan besar, yang hati dan jiwanya ada dalam pekerjaannya, sangat gembira menjadi distributor sastra untuk orang-orang yang sekadar ingin menggunakan sebuah buku; tapi ketika ini ditambah dengan kesenangan tambahan yang didapat oleh penjual buku dalam menjalankan penjualan karya-karya yang tersedia, sebuah gairah komersial dicurahkan pada pekerjaannya yang tidak dikenal dalam bisnis lain manapun. Dia merasa bahwa, seraya menguntungkan dirinya, dia juga sedang berbuat suatu kebaikan di dunia dengan membantu membangun perpustakaan pribadi untuk pelanggannya yang akan menjadi sukacita untuknya selama sisa hidupnya.
Ini bukan gambaran fantastis, dan aku yakin aku hanya menggaungkan sentimen-sentimen banyak penjual buku yang masih hidup yang bersukaria dengan bisnis mereka, meski hanya menerima imbal-balik sedikit atas semua ongkos pemikiran dan pertimbangan mereka dalam memperdagangkan stok mereka. Sayangnya ini bukan perasaan sebagian besar penjual buku hari ini, yang hanya peduli menjual buku-buku bermargin laba besar, tanpa memandang tujuan jauh. Golongan penjual buku kolot sedang menghilang cepat, gara-gara sistem pemberian diskon yang berlebihan dan sebab-sebab lain, yang mengancam eksistensi seluruh bisnis ini. Seorang penjual buku kini tidak bisa mendapatkan laba masuk akal dari buku-buku golongan bagus, yang dia pilih tempatkan di rak-raknya, dan dia menjadi lesu dan gundah. Alih-alih pemilik stok buku yang akan mendatangkan pujian untuknya, dia berangsur-angsur membiarkan itu menghilang dari rak-raknya karena pelanggan yang lamban, dan kemudian berhenti dari bisnis itu dengan putus asa atau mengisi rak-raknya dengan stasioneri dan barang lain yang menghasilkan imbal-balik lebih menguntungkan.
Buku-buku yang dapat dijumpai di rak-rak sebagian besar toko daerah terdiri utamanya dari cetak ulang buku-buku non-hakcipta yang bisa dibeli dalam jumlah banyak dengan harga murah, dan para penjual buku yang tokonya didominasi buku golongan ini tidak tahu apa-apa soal terbitan-terbitan Blackwood, Longmans, atau Murray, dan penerbit-penerbit lain yang berkedudukan serupa; dan, sebenarnya, mereka tidak bisa eksis dengan penjualan karya-karya yang lebih bagus, sekalipun mereka menempatkannya dalam stok, saking kecil margin laba di zaman diskon ini. Bahkan, penjual buku pedesaan asli sudah tak lagi eksis, dan dia terpaksa mencari nafkah tambahan dengan menjadi pedagang umum segala jenis perhiasan kecil. Aku tidak menyalahkannya, dan, sebelum dia menghilang sama sekali, kita harus melihat-lihat sekitar dan berusaha menemukan obat untuk keadaan ini.
Berkaitan erat dengan “Kemerosotan Sastra” adalah “Kemerosotan Penjualan Buku”, dan ada gunanya mempertimbangkan penyebab semua kemerosotan ini dan berusaha mencaritahu bagaimana itu bisa diobati.
Sebagai sebuah bangsa, kita merasa bangga akan sastra kita dan sastrawan kita; tapi jika semua saluran penyebaran sastra ditutup, proyeksi kita sangat menyedihkan. Jika sedang datang masa ketika tidak akan ada toko penjual buku di negeri ini, ketika semua “kemanisan dan cahaya” terhapus dari kota-kota provinsi kita, kita memang bakal tiba pada keadaan yang buruk. Apakah penjual buku cerdas akan menghilang dari tengah-tengah kita, dan tempatnya akan diisi oleh pedagang yang hanya seorang makelar? Prospek ini tampak begitu serius, dan proyeksinya begitu menggelisahkan, sehingga tidak boleh ada waktu yang hilang dalam membahas masalah ini.
Hampir sulit dipercaya bahwa, terlepas dari pertumbuhan besar populasi metropolis, hanya empat bisnis penjualan buku terlahir dalam 20 tahun terakhir, sementara dalam kurun waktu yang sama 9 atau 10 penjual buku telah menghilang total.
Judul asli | : | The Decay of Bookselling<i=1yI4sgSS7yPgUAX4VOgRinj4H41rOqFy4 187KB>The Decay of Bookselling (1894) |
Pengarang | : | David Stott |
Penerbit | : | Relift Media, November 2024 |
Genre | : | Kritik Sastra |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |