Dalam masing-masing dari kedua kasus, pertanyaan bagusnya adalah apakah mereka tidak menerima lebih banyak daripada memberi. Pers tidak bisa dipelajari atau secara adil dihakimi terpisah dari lingkungannya. Ia, bersama semua institusi kita, tersangkut dalam kompleks keadaan aktual peradaban kita.
Setiap orang berpikiran terbuka yang menyelidiki hubungan antara pers dan opini publik di negara ini akan menjumpai serangkaian paradoks sejak awal. Bukti-bukti yang disodorkan padanya bertentangan tajam, bahkan sangat kontradiktif. Suratkabar-suratkabar mahakuasa. Mereka juga impoten sama sekali. Pers ditakuti sekaligus dipandang hina, disepelekan seraya dijilat. Tokoh-tokoh kehidupan publik akan, di satu momen, melakukan segala upaya untuk mendapatkan, dalam ungkapan Prancis, “sanjungan pers”, untuk diri mereka dan tindakan mereka, tapi di momen berikutnya akan mencerca oposisi suratkabar sebagai sesuatu yang dapat mereka pandang rendah. Kita dapat perhatikan, opini mereka soal kesia-siaan pers biasanya menguat, jika bukan bangkit sejak awal, karena mereka tak lagi disukai olehnya.
Di sini aku berhenti sejenak untuk berkomentar bahwa para wartawan bersedia mendengarkan testimoni yang menunjukkan kemerosotan pengaruh mereka. Tapi keberatan mereka dapat dimaklumi ketika satu-satunya saksi yang dipanggil adalah politisi-politisi yang punya keluhan. Beberapa redaktur memiliki kenangan. Mereka yang tak memiliki kenangan memiliki riwayat. Dan dengan keduanya, akan mudah untuk membuktikan bahwa beberapa pencela pers suratkabar paling berapi-api dikonversi ke pandangan tersebut dengan ketiba-tibaan yang mencurigakan. Sebagai contoh, ada tokoh publik yang bertahun-tahun merupakan pengguna pers paling terampil yang pernah kita lihat. Bukan hanya karena dia punya mata untuk efek lebih tajam daripada mata pengiklan manapun di dunia; tapi karena dia menyanjung dan membina para jurnalis dengan ketekunan tak tahu malu. Dia taburkan perhatiannya kepada semuanya secara merata. Bahkan jurnalis paling tak senonoh abad ini, yang selama bertahun-tahun, bagaikan Ankhorit-nya Donne,
Beranjangkan dan bermandikan semua kotorannya,dia tidak keberatan untuk menerimanya dalam hubungan personal dan konfidensial. Akhir-akhir ini dia mulai mengomeli suratkabar-suratkabar tak jujur dan dekaden. Bagus-bagus saja. Biarkan dia menyerang. Tapi mengapa dia menunggu untuk melawan pers sampai pers melawannya? Pertanyaan yang sama dapat dilemparkan kepada eksekutif kota yang kini memenuhi udara dengan keluhan-keluhan soal pers bejat, padahal tidak ada orang yang lebih sungguh-sungguh daripada dirinya dalam mencari dukungan, dan memuji-muji, suratkabar-suratkabar yang hari ini dia cela. Para jurnalis, kataku, kemungkinan besar akan meminta saksi-saksi dengan noda inkonsistensi yang tidak begitu mencolok dan kentara. Orang-orang di dalam dan di luar jurnalisme yang sudah lama mencoba melawan tipe-tipe terburuknya, dapat dimaafkan jika mereka membenci semangat baru lahir para konvert anyar ini. Tapi fakta-fakta tak terbantahkan menarik perhatian. Sekali-sekali, sungguh, suratkabar terlihat memiliki kekuatan yang besar dan sekaligus berbahaya. Pada kali lain, mereka tampak tak memiliki apapun sama sekali. Kadang mampu berbuat apa saja, kadang mereka tak mampu melakukan apa-apa. Ada contoh-contoh klasik. Di kota Toledo, semua suratkabar milik semua partai memusuhi calon walikota tertentu. Mereka sudah memeranginya sebelumnya, tapi dia mengalahkan mereka. Dalam kampanye tersebut mereka memilih kebijakan mengabaikannya. Mereka tak menyebutkan namanya. Mereka tak mewartakan pertemuannya atau pidatonya. Mereka bahkan menolak mencetak iklan politik yang disodorkan olehnya. Tapi dia dengan mudah terpilih dan menang atas bentuk persatuan oposisi lewat pemberangusan ini. Ada kasus-kasus lain yang tidak berbeda dari ini. Sering terjadi di New York City, pers selalu menjadi satu kesatuan melawan Tammany; tapi Tammany rupanya menunjukkan mampu memandang rendah suratkabar. Apa kata para wartawan tentang semua ini? Pertama-tama mereka tidak cenderung menutup mata terhadap fakta-fakta. Mereka tahu itu tak ada manfaatnya. Pengaruh pers, entah baik atau buruk, entah meningkat atau merosot, adalah tema diskusi umum. Orang-orang dalam bisnis ini tidak bisa membutakan diri terhadap ini. Mereka tahu apa yang dikatakan. Jika orang-orang luar cenderung percaya bahwa pers telah menjadi “pembela peruntungan”, cuma “kuat di sisi yang kuat” tapi tak berdaya untuk menciptakan atau untuk mengarahkan sentimen publik, apalagi membendungnya, yakinlah bahwa orang-orang di dalam tidak menutup pikiran mereka dari hal-hal. Mereka tidak bisa menyandang kesan misterius. Pekerjaan mereka dilakukan di depan umum. Itu permainan adil untuk para kritikus. Sudah pasti para penuntut publisitas tidak bisa lari dari publisitas. Pun mereka tidak berusaha lari. Mereka gemar “mempercakapkan pekerjaan” di muka umum seperti orang-orang dalam profesi lain, tapi pada kesempatan yang pas, seperti saat ini, mereka siap menyerahkan seluruh persoalan kepada debat imparsial. Dan dalam pergaulan privat atau profesional, biar kutambahkan, mereka sama sekali tidak berlagak sok penting dan muluk di depan satu sama lain. Jika ada dari mereka kedapatan mengandalkan basa-basi enak tentang suratkabar, atau memperturutkan omong-kosong serius Tn. Pott dari Eatanswill Gazette tentang “kekuatan dahsyat pers”, dia akan ditegur oleh seorang kolega, sebagaimana orang besar itu oleh Ny. Pott, dan didesak berhenti membuat dirinya konyol.
Judul asli | : | Journalism and Public Opinion<i=1bcb3w06q5GRQvwvwHxkaptxSqz3Hc1vq 302KB>Journalism and Public Opinion (1912) |
Pengarang | : | Rollo Ogden |
Penerbit | : | Relift Media, November 2024 |
Genre | : | Jurnalisme |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |