Hampir semua penulis menerima begitu saja bahwa Tuhan-nya al-Qur’an adalah entitas yang sama dan memiliki atribut-atribut yang sama dengan Jehovah atau dengan Ketuhanan dalam Perjanjian Baru. Terutama ini menimpa para penstudi rasionalistik Islam di Jerman dan Inggris. Apakah pandangan ini benar?
“Tuhan Esa didakwahkan oleh sang nabi Arabia kepada manusia; Tuhan Esa masih disembah oleh Timur di banyak kerajaan dengan bentangan luas— Tuhan kekuasaan dan kehendak. “Kekuasaan yang, sesuai kesukaan-Nya, menciptakan untuk menyelamatkan atau menghancurkan, dan menakdirkan kepada kepedihan abadi sebagaimana kepada sukacita abadi.” —Lord HoughtonDi antara semua agama dunia, tidak ada yang memiliki syahadat lebih pendek daripada Islam; tidak ada yang syahadatnya begitu dikenal dan begitu sering diulang. Keseluruhan sistem teologi dan filosofi dan kehidupan keagamaan Islam dirangkum dalam tujuh kata: La ilaha illa Allah, Muhammad rasul Allah. “Tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah rasulullah”. Pada kedua frasa ini bergantung semua hukum dan ajaran dan moral Islam. Perkembangan logis Islam pasca kematian Muhammad berlangsung dengan dua cara: melalui penafsiran al-Qur’an dan melalui penghimpunan (atau penemuan) sekumpulan tradisi/hadits. Yang kesatu adalah apa yang Allah wahyukan melalui sebuah kitab; yang kedua adalah apa yang Allah wahyukan melalui seorang manusia, Muhammad. Kedua wahyu memiliki otoritas hampir setara, dan keduanya menyandarkan otoritas mereka pada kalimat atau syahadat tujuh kata. Analisa pengiring menunjukkan relasi ini. Gibbon mencirikan paruh pertama syahadat Muslim itu sebagai “kebenaran abadi” dan paruh kedua sebagai “fiksi perlu”. Menyangkut pernyataan kedua tidak ada perselisihan, tapi apakah kita bisa mengakui pernyataan pertama, hal ini tergantung sepenuhnya pada karakter Entitas yang ditegaskan menggantikan semua dewa lain. Jika fitrah dan atribut-atribut Allah didistorsi dengan suatu cara atau tidak pantas untuk Tuhan, maka klausa pertama dari syahadat tersingkat di antara semua syahadat itu pun salah. “Karena Muhammad mengajarkan keesaan Tuhan, disimpulkan secara terlalu tergesa-gesa bahwa dia juga adalah reformis sosial dan moral yang agung. Padahal tidak ada pesona dalam doktrin abstrak keesaan Tuhan itu untuk meninggikan umat manusia. Poin esensial adalah karakter yang diatributkan pada Tuhan esa ini.” Oleh karenanya, tidaklah berlebihan untuk menyelidiki dari al-Qur’an maupun dari Hadits ortodoks apa yang Muslim maksud dengan menegaskan keesaan Tuhan dan apa karakter yang mereka nisbatkan pada Tuhan mereka yang hakiki dan satu-satunya. Sebab tidak ada keraguan bahwa mereka sendiri paling menekankan bagian ini. Itu adalah teks semboyan kehidupan rumahtangga Muslim, formula pembaptisan untuk menyambut bayi sebagai orang beriman, pesan akhir untuk dibisikkan di telinga orang sekarat, La ilaha illa Allah. Kata-kata ini mereka lantunkan saat memikul beban atau keranda; kata-kata ini mereka ukir pada panji-panji dan kusen pintu mereka; itu tampak pada semua koin perdana para khalifah dan menjadi seruan perang agung Islam selama 13 abad. Dengan mengulang kata-kata ini, orang kafir menjadi Muslim dan orang murtad diterima kembali ke persaudaraan spiritual. Oleh syahadat ini orang beriman dipanggil shalat lima kali sehari, dari Maroko hingga Filipina, dan ini adalah platform yang di atasnya semua sekte-sekte Islam yang berperang bisa bersatu, sebab itu adalah fondasi dan kriteria agama mereka. Menurut sebuah hadits Muhammad, “Tuhan berkata kepada Musa, ‘Andai kau meletakkan seluruh semesta di satu mangkok timbangan dan kalimat La ilaha illa Allah di satu mangkok lain, [kalimat] ini akan lebih berat daripada itu.” Hadits juga menceritakan bahwa suatu hari nabi sedang melewati sebuah pohon kering dan layu dan segera setelah dipukul dengan tongkatnya, daun-daunnya berguguran; lalu nabi bersabda, “Sesungguhnya kalimat La ilaha illa Allah menggugurkan dosa-dosa mukmin sebagaimana tongkatku menggugurkan daun-daun dari pohon ini.” Al-Qur’an tidak pernah bosan mengulangi formula yang mengungkapkan keesaan Tuhan, dan surat ke-112, yang secara khusus dicurahkan untuk subjek ini, kata kaum Muslim, setara nilainya dengan sepertiga isi kitab tersebut. Dituturkan oleh Zamakhsyari dalam tafsirnya bahwa Muhammad bersabda, “Tujuh langit dan tujuh bumi dibangun di atas surat ini dan siapapun yang membacanya masuk surga.” Nah, terlepas dari penekanan yang diberikan pada doktrin keesaan Tuhan oleh kaum Muslim, dan terlepas dari fakta bahwa bagian inilah, dari syahadat mereka, yang menjadi keagungan dan kebanggaan mereka, terdapat kelalaian aneh dari kebanyakan penulis yang mendeskripsikan agama Muhammad untuk mempelajari ide Muhammad akan Tuhan. Kita begitu mudah disesatkan oleh sebuah nama atau oleh etimologi. Hampir semua penulis menerima begitu saja bahwa Tuhan-nya al-Qur’an adalah entitas yang sama dan memiliki atribut-atribut yang sama dengan Jehovah atau dengan Ketuhanan dalam Perjanjian Baru. Terutama ini menimpa para penstudi rasionalistik Islam di Jerman dan Inggris. Apakah pandangan ini benar? Jawabannya, entah ya atau tidak, memiliki sangkutpaut penting bukan hanya dengan misi-misi kepada Muslim tapi dengan sikap filosofis sejati terhadap agama palsu terbesar ini. Jika kita harus berurusan dengan “kebenaran abadi” yang tersambung dengan “fiksi perlu”, tugas sederhana kita adalah memutus sambungan itu dan membiarkan kebenaran abadi bertahan untuk membebaskan manusia. Di sisi lain, jika fiksi perlu itu diletakkan sebagai fondasi sebuah kebenaran yang didistorsi, tidak mungkin ada kompromi; kedua klausa syahadat itu roboh bersama.
Judul asli | : | There is no God but Allah<i=1-c0A3QxJMsvgGJ4LA9n4icl9ltvqF7Us 259KB>There is no God but Allah (1905) |
Pengarang | : | Samuel Marinus Zwemer |
Penerbit | : | Relift Media, Agustus 2024 |
Genre | : | Religi |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |