Tiga kata di awal Kitab Kejadian ini telah senantiasa menjadi batu sandungan para cendekiawan Yahudi dan Kristen. Mengapa Elohim dalam bentuk jamak, dan mengapa kata kerjanya dalam bentuk tunggal? Tafsir-tafsir paling fantastis diberikan untuk anomali gramatis ini.
[Artikel karangan Tn. O. Neufchots de Jassy menghadirkan sebuah teori sangat orisinil dan baru, yakni penderivasian gagasan-gagasan dan nama-nama bani Israel dari sumber-sumber Sanskerta. Jika benar, itu akan membuka vista baru bagi perbandingan agama dan folklor, tapi jika itu cuma pemikiran berbakat, itu tetap menarik dan bahkan akan terbukti mengandung pelajaran karena mengajari kita betapa banyak kebertepatan-kebertepatan yang betul-betul sembarang bisa ditemukan jika saja kita mencari mereka dengan tekun, sehingga kita bisa menyesuaikan mereka sedikit agar cocok dengan keadaan. Betapa luar biasa kombinasi-kombinasi yang bisa ditemukan dalam Kabalah, dan buku-buku mistik lain!
Kami menganggap kecil kemungkinannya para cendekiawan Ibrani akan siap menerima teori M. de Jassy, tapi mereka akan terheran melihat betapa mudahnya, misalnya, bentuk jamak Elohim yang sudah sangat menyusahkan para mufasir Alkitab bisa diubah ke dalam bentuk tunggal tanpa mengubah satupun huruf dalam teks, hanya dengan modifikasi huruf-huruf vokal, yang ditambahkan pada teks oleh generasi-generasi belakangan. Dan sungguh kebertepatan luar biasa, jika demikian, fakta bahwa nama Noah/Nuh (Nowah dalam Ibrani) mungkin sebetulnya, menurut bunyinya, adalah derivatif dari akar kata Arya yang sama yang darinya lahir kata-kata nauta (“sailor”), navis (“ship”), navigare (“to sail”), dll!
Ketiga konsonan N V K bersesuaian persis dengan akar kata navigare, N V G, dan tidak mustahil bahwa orang-orang Persia, yang merupakan bangsa Arya, menyebut tokoh Babilonia Parnapishtim (pahlawan legenda Banjir Besar Babilonia) dalam bahasa mereka sendiri sebagai “yang berlayar di laut”, dan bahwa kaum Yahudi mengadopsi nama tersebut. Intinya, kita dapat mengakui kata Noah bukanlah kata Ibrani dan penderivasiannya dari noakh (“rest”) Ibrani tidaklah dapat dipertahankan.
Kami tak bisa bilang sudah teryakinkan oleh M. de Jassy, tapi kami percaya para pembaca kami akan sama tertariknya seperti kami untuk memperhatikan banyak kebertepatan mengagetkan ini.—Editor The Monist]
Dalam esai ini aku bermaksud menunjukkan bahwa hampir setiap istilah mitologis Ibrani dalam Kitab Kejadian menemukan istilah serupa dalam mitologi bangsa India/Hindu, dan bahwa keserupaan istilah-istilah itu, sebagai akibat wajar, mengandung kecocokan mutlak mitos-mitos. Lebih jauh aku akan tunjukkan bahwa sebagian besar istilah-istilah Ibrani, bahkan yang kurang penting, diderivasikan dari akar-akar kata Sanskerta dan bahwa tidak diragukan lagi terdapat hubungan tipis antara bahasa Sanskerta dan bahasa Ibrani. Temuan-temuan esai ini mungkin akan menghasilkan panen kejutan yang berlimpah. Banyak istilah yang penjelasannya kurang-lebih meragukan akan dipecahkan secara tegas, istilah-istilah lain akan menunjukkan bahwa mereka bertentangan secara nyata dengan makna-makna primitif yang diberikan oleh para cendekiawan. Seluruh struktur mitologis mungkin akan berubah bentuk intrinsiknya, dan orang-orang akan terkejut tiba-tiba menemukan rekonstruksi mitologi bangsa Ibrani, yang hilang secara tak sengaja atau dihancurkan secara sengaja. Boleh jadi para cendekiawan akan ragu untuk mengikuti kami ke arah baru yang condong pada metode-metode penjelasan kata-kata dan mitos-mitos per analogiam (secara perbandingan)—terutama cendekiawan-cendekiawan yang keyakinan teologisnya selaras dengan konsepsi saintifik mereka; tapi melalui pemeriksaan lebih dalam terhadap fakta-fakta saintifik dan hasil yang pasti timbul, mereka mau tak mau menganggap kebertepatan-kebertepatan yang banyak ini sangat mengherankan. Mari ambil satu atau dua contoh: Kata Shadai atau Shaddai diterjemahkan oleh semua cendekiawan sebagai “the almighty” (“yang maha kuasa”), dan El shadai sebagai “the almighty God” (“Tuhan yang maha kuasa). Metode kami secara perbandingan akan menunjukkan bahwa terjemahan ini sama sekali tidak benat. Lebih dari itu, itu akan menunjukkan bahwa keserupaan kata-kata Sanskerta dan Ibrani mengungkap sebuah fakta mitologis yang tidak diketahui sampai sekarang. Mari kita simak, sebagai contoh, dari mana Shadai diderivasikan. Itu berasal dari kata shadod, “to destroy” (“menghancurkan/membinasakan”). Maka, Shadai berarti “destroyer” (“penghancur/pembinasa”) dan El shadai berarti “the God of destruction” (“Tuhan penghancuran/pembinasaan”). Mari kita selidiki akar kata kerja shadod, yakni shad. Apa arti shad dalam Sanskerta? “To subdue, to vanquish, to destroy” (“menundukkan, menaklukkan, menghancurkan/membinasakan”). Karenanya, akarnya sama. Mari kita simak apa arti shadia dalam Sanskerta. Itu berarti “the destroyer” (“sang penghancur/pembinasa”) dan merupakan julukan Shiva. Oleh karenanya, El shadai adalah Shiva-Shadia. Apakah ini kebertepatan? Mari beranjak lebih jauh, mari ikuti itu sampai ke konsekuensi-konsekuensi terujungnya. Mari simak bagaimana para penyembah Shiva memuja Shiva dan para penyembah El-Shadai memuja El-Shadai. Pembandingan ini akan semakin menarik karena belum pernah dilakukan sebelumnya. Para penyembah Shadai Hindu, para penyembah Shiva, mengenakan pada lengan kiri mereka sebuah wadah atau gelang berisi linga dan yoni yang disatukan. Kami tak perlu berkomentar bahwa Shiva melambangkan nafsu dan penghancuran, atau penghancuran dan rekonstruksi. Kaum Yahudi memiliki kebiasaan yang sama bahkan di masa kita. Mereka mengenakan pada lengan kiri sebuah kotak hitam kecil (Shadai atau Shiva melambangkan warna gelap, malam). Pada kedua sisi wadah ini, huruf sheen, yang melambangkan kata Shadai, terpahat timbul. Dapat diduga bahwa kotak kecil ini, yang dinamakan baith, “the house” (“rumah”), mulanya berisi emblem-emblem phallus/penis yang sama yang kemudian diganti oleh para Talmudis dengan beberapa teks dari Alkitab. Para Rabbi Talmudis mengganti bahkan nama kotak-kotak ini, yang tadinya dinamakan Totuphath (etimologinya tak diketahui) menjadi Tephilim (bahasa Yunani, filakteri), “kotak-kotak doa”. Tak usah ditambahkan bahwa kaum Yahudi dulu adalah penyembah kultus phallus/penis, bahwa perjanjian antara El-Shadai dan Abraham adalah perjanjian phallus/penis, dll. Kami hanya akan berkomentar bahwa penyembahan phallus/penis berasal dari bangsa India/Hindu dan bahwa Shiva khususnya dikaitkan secara sempit dan brutal dengan penyembahan ini. Saking mendarah dagingnya kultus Shadai-Shiva ini pada kaum Yahudi sampai-sampai usaha para Jehovis ataupun zaman sendiri tidak bisa menghancurkannya. Bahkan hari ini di pintu-pintu setiap orang Yahudi ortodoks dapat dilihat sebuah kotak kaca atau logam silindris kecil yang memuat nama Shadai, dan para wanita yang sedang bersalin dikelilingi kertas-kertas kecil yang memuat nama Shadai. Sudah pasti maknanya hilang, seperti makna ikan yang dimakan umat Katolik pada hari Jumat, seperti begitu banyak makna keagamaan atau takhayul. Apakah ada juga kebertepatan aneh dalam keserupaan penyembahan tersebut? Mari sekarang ambil contoh yang kurang penting, kata Mizraïm, Mesir. Mari buang akhiran jamak atau lebih tepatnya bentuk ganda aïm. Kita mendapatkan kata Mizr. Sekarang mari simak apa arti misr dalam Sanskerta. Misr, dari misra, berarti “combined, united, jointed places” (“tempat-tempat yang dipadukan, disatukan, digabungkan”). Misr dalam Sanskerta berarti Mesir (hulu dan hilir, karenanya bentuknya ganda dalam bahasa Ibrani). Kurang kerjaan jika kita meneruskan ini. Sebelum pergi lebih jauh, aku akan berkomentar bahwa esai ini berisi tiada lain beberapa garisbesar sebuah karya penting yang sedang disusun yang memerlukan waktu, kesabaran, dan kedalaman riset. Elohim Kejutan mitologis pertama yang muncul dari studi filologi dan mitologi komparatif, kita jumpai dalam tritunggal masyhur: Bereshith bara Elohim, “Pada mulanya Tuhan-tuhan menciptakan.” Tiga kata di awal Kitab Kejadian ini telah senantiasa menjadi batu sandungan para cendekiawan Yahudi dan Kristen. Mengapa Elohim dalam bentuk jamak, dan mengapa kata kerjanya dalam bentuk tunggal? Tafsir-tafsir paling fantastis diberikan untuk anomali gramatis ini. Petrus Lombardus sampai mencoba membuktikan trinitas dalam [tiga kata] ini, pluralis majestatis; dan Rudolph Stier menciptakan untuk maksud ini sebuah istilah gramatis baru, pluralis trinitatis. Tafsir-tafsir paling halus dan paling cerdik diberikan. Akan tetapi, para cendekiawan keliru; dasar kekeliruan mereka terletak dalam fakta bahwa mereka menalar secara kasuistik ketimbang secara saintifik. Dari sudutpandang mitologi komparatif, kita tidak melihat dalam teogoni lain manapun sebuah bentuk jamak konvensional yang serupa, meski dewa-dewa tertinggi bangsa India/Hindu, bangsa Mesir, bangsa Babilonia, bangsa Asyur, bangsa Yunani, dan bangsa Romawi merepresentasikan kemajemukan julukan-julukan paling beragam. Savitri adalah Praja-Pati, adalah Indra, Rudra, Agni, Soma, Vishnu, dll. Marduk Babilonia memiliki 50 nama dewa-dewa agung yang dianugerahkan padanya; dia adalah Bel dan Ea dan Anu dan Nebo, Enlil, dan Nergal, dll. Meski demikian, mereka meniadakan pluralis majestatis ini, di mana kata benda bersesuaian dengan kata kerja dalam bentuk jamak. Zeus, Yupiter, Osiris, dll, memiliki kekayaan julukan ilahi yang sama, dan bangsa Yunani khususnya sudah tentu merupakan kaum dengan adab halus dan tinggi berkenaan dengan dewa-dewa mereka. Ketika kita melihat ketidaksesuaian antara kata benda ilahi dan kata kerja, itu lebih berupa bentuk tunggal kata benda ilahi dan bentuk jamak kata kerja. Dan fakta ini terdapat dalam Kitab Kejadian hanya ketika Elohim—yang, kita akan simak sebentar lagi, bukan Elohim sama sekali—berbicara kepada dirinya sendiri, bermajelis/berunding dengan dirinya sendiri. “Sekarang, mari Kita membuat manusia dalam rupa Kita.” Tapi dalam kisah itu, bentuk tunggal kata kerja selalu dipakai. Tidak, pluralis majestatis Elohim ini tidak boleh diambil serius. Timbul satu pertanyaan lebih penting lain yang, sebagaimana akan kita simak, berkaitan erat dengan pertanyaan pertama. Bagaimana mungkin bahwa, sementara semua kosmogoni lain dimulai dengan penciptaan dewa-dewa, Alkitab sendirian menunjukkan kepada kita sebuah Deus ex machina, sudah jadi, tanpa menunjukkan bagaimana Dia diciptakan atau dari bahan apa Dia dibentuk? Seperti kami katakan, kedua pertanyaan berkaitan erat. Keduanya tercakup dalam kata yang sama, dan penjelasan ganda akan ditemukan dalam etimologi Elohim sendiri. Itu akan menunjukkan kepada kita, misalnya, bahwa bentuk jamak Elohim tidaklah jamak sama sekali; itu akan menunjukkan lebih lanjut kepada kita bagaimana Tuhan Kitab Kejadian diciptakan sebelum Dia menjadi pencipta pada giliran-Nya. Elohim tersusun dari dua kata, dan penjelasannya terletak dalam pemisahan mereka. Karena El sekarang dalam bentuk tunggal, maka kata kerja bara (“created”/”mencipta”) bersesuaian dengan kata benda tersebut dengan sangat alami. El bara, “El created” (“El mencipta”). Ini adalah solusi pertama. Solusi satu lagi paling menarik, kendati itu tampak lebih rumit pemaparannya dan deduksi akhirnya.
Dalam esai ini aku bermaksud menunjukkan bahwa hampir setiap istilah mitologis Ibrani dalam Kitab Kejadian menemukan istilah serupa dalam mitologi bangsa India/Hindu, dan bahwa keserupaan istilah-istilah itu, sebagai akibat wajar, mengandung kecocokan mutlak mitos-mitos. Lebih jauh aku akan tunjukkan bahwa sebagian besar istilah-istilah Ibrani, bahkan yang kurang penting, diderivasikan dari akar-akar kata Sanskerta dan bahwa tidak diragukan lagi terdapat hubungan tipis antara bahasa Sanskerta dan bahasa Ibrani. Temuan-temuan esai ini mungkin akan menghasilkan panen kejutan yang berlimpah. Banyak istilah yang penjelasannya kurang-lebih meragukan akan dipecahkan secara tegas, istilah-istilah lain akan menunjukkan bahwa mereka bertentangan secara nyata dengan makna-makna primitif yang diberikan oleh para cendekiawan. Seluruh struktur mitologis mungkin akan berubah bentuk intrinsiknya, dan orang-orang akan terkejut tiba-tiba menemukan rekonstruksi mitologi bangsa Ibrani, yang hilang secara tak sengaja atau dihancurkan secara sengaja. Boleh jadi para cendekiawan akan ragu untuk mengikuti kami ke arah baru yang condong pada metode-metode penjelasan kata-kata dan mitos-mitos per analogiam (secara perbandingan)—terutama cendekiawan-cendekiawan yang keyakinan teologisnya selaras dengan konsepsi saintifik mereka; tapi melalui pemeriksaan lebih dalam terhadap fakta-fakta saintifik dan hasil yang pasti timbul, mereka mau tak mau menganggap kebertepatan-kebertepatan yang banyak ini sangat mengherankan. Mari ambil satu atau dua contoh: Kata Shadai atau Shaddai diterjemahkan oleh semua cendekiawan sebagai “the almighty” (“yang maha kuasa”), dan El shadai sebagai “the almighty God” (“Tuhan yang maha kuasa). Metode kami secara perbandingan akan menunjukkan bahwa terjemahan ini sama sekali tidak benat. Lebih dari itu, itu akan menunjukkan bahwa keserupaan kata-kata Sanskerta dan Ibrani mengungkap sebuah fakta mitologis yang tidak diketahui sampai sekarang. Mari kita simak, sebagai contoh, dari mana Shadai diderivasikan. Itu berasal dari kata shadod, “to destroy” (“menghancurkan/membinasakan”). Maka, Shadai berarti “destroyer” (“penghancur/pembinasa”) dan El shadai berarti “the God of destruction” (“Tuhan penghancuran/pembinasaan”). Mari kita selidiki akar kata kerja shadod, yakni shad. Apa arti shad dalam Sanskerta? “To subdue, to vanquish, to destroy” (“menundukkan, menaklukkan, menghancurkan/membinasakan”). Karenanya, akarnya sama. Mari kita simak apa arti shadia dalam Sanskerta. Itu berarti “the destroyer” (“sang penghancur/pembinasa”) dan merupakan julukan Shiva. Oleh karenanya, El shadai adalah Shiva-Shadia. Apakah ini kebertepatan? Mari beranjak lebih jauh, mari ikuti itu sampai ke konsekuensi-konsekuensi terujungnya. Mari simak bagaimana para penyembah Shiva memuja Shiva dan para penyembah El-Shadai memuja El-Shadai. Pembandingan ini akan semakin menarik karena belum pernah dilakukan sebelumnya. Para penyembah Shadai Hindu, para penyembah Shiva, mengenakan pada lengan kiri mereka sebuah wadah atau gelang berisi linga dan yoni yang disatukan. Kami tak perlu berkomentar bahwa Shiva melambangkan nafsu dan penghancuran, atau penghancuran dan rekonstruksi. Kaum Yahudi memiliki kebiasaan yang sama bahkan di masa kita. Mereka mengenakan pada lengan kiri sebuah kotak hitam kecil (Shadai atau Shiva melambangkan warna gelap, malam). Pada kedua sisi wadah ini, huruf sheen, yang melambangkan kata Shadai, terpahat timbul. Dapat diduga bahwa kotak kecil ini, yang dinamakan baith, “the house” (“rumah”), mulanya berisi emblem-emblem phallus/penis yang sama yang kemudian diganti oleh para Talmudis dengan beberapa teks dari Alkitab. Para Rabbi Talmudis mengganti bahkan nama kotak-kotak ini, yang tadinya dinamakan Totuphath (etimologinya tak diketahui) menjadi Tephilim (bahasa Yunani, filakteri), “kotak-kotak doa”. Tak usah ditambahkan bahwa kaum Yahudi dulu adalah penyembah kultus phallus/penis, bahwa perjanjian antara El-Shadai dan Abraham adalah perjanjian phallus/penis, dll. Kami hanya akan berkomentar bahwa penyembahan phallus/penis berasal dari bangsa India/Hindu dan bahwa Shiva khususnya dikaitkan secara sempit dan brutal dengan penyembahan ini. Saking mendarah dagingnya kultus Shadai-Shiva ini pada kaum Yahudi sampai-sampai usaha para Jehovis ataupun zaman sendiri tidak bisa menghancurkannya. Bahkan hari ini di pintu-pintu setiap orang Yahudi ortodoks dapat dilihat sebuah kotak kaca atau logam silindris kecil yang memuat nama Shadai, dan para wanita yang sedang bersalin dikelilingi kertas-kertas kecil yang memuat nama Shadai. Sudah pasti maknanya hilang, seperti makna ikan yang dimakan umat Katolik pada hari Jumat, seperti begitu banyak makna keagamaan atau takhayul. Apakah ada juga kebertepatan aneh dalam keserupaan penyembahan tersebut? Mari sekarang ambil contoh yang kurang penting, kata Mizraïm, Mesir. Mari buang akhiran jamak atau lebih tepatnya bentuk ganda aïm. Kita mendapatkan kata Mizr. Sekarang mari simak apa arti misr dalam Sanskerta. Misr, dari misra, berarti “combined, united, jointed places” (“tempat-tempat yang dipadukan, disatukan, digabungkan”). Misr dalam Sanskerta berarti Mesir (hulu dan hilir, karenanya bentuknya ganda dalam bahasa Ibrani). Kurang kerjaan jika kita meneruskan ini. Sebelum pergi lebih jauh, aku akan berkomentar bahwa esai ini berisi tiada lain beberapa garisbesar sebuah karya penting yang sedang disusun yang memerlukan waktu, kesabaran, dan kedalaman riset. Elohim Kejutan mitologis pertama yang muncul dari studi filologi dan mitologi komparatif, kita jumpai dalam tritunggal masyhur: Bereshith bara Elohim, “Pada mulanya Tuhan-tuhan menciptakan.” Tiga kata di awal Kitab Kejadian ini telah senantiasa menjadi batu sandungan para cendekiawan Yahudi dan Kristen. Mengapa Elohim dalam bentuk jamak, dan mengapa kata kerjanya dalam bentuk tunggal? Tafsir-tafsir paling fantastis diberikan untuk anomali gramatis ini. Petrus Lombardus sampai mencoba membuktikan trinitas dalam [tiga kata] ini, pluralis majestatis; dan Rudolph Stier menciptakan untuk maksud ini sebuah istilah gramatis baru, pluralis trinitatis. Tafsir-tafsir paling halus dan paling cerdik diberikan. Akan tetapi, para cendekiawan keliru; dasar kekeliruan mereka terletak dalam fakta bahwa mereka menalar secara kasuistik ketimbang secara saintifik. Dari sudutpandang mitologi komparatif, kita tidak melihat dalam teogoni lain manapun sebuah bentuk jamak konvensional yang serupa, meski dewa-dewa tertinggi bangsa India/Hindu, bangsa Mesir, bangsa Babilonia, bangsa Asyur, bangsa Yunani, dan bangsa Romawi merepresentasikan kemajemukan julukan-julukan paling beragam. Savitri adalah Praja-Pati, adalah Indra, Rudra, Agni, Soma, Vishnu, dll. Marduk Babilonia memiliki 50 nama dewa-dewa agung yang dianugerahkan padanya; dia adalah Bel dan Ea dan Anu dan Nebo, Enlil, dan Nergal, dll. Meski demikian, mereka meniadakan pluralis majestatis ini, di mana kata benda bersesuaian dengan kata kerja dalam bentuk jamak. Zeus, Yupiter, Osiris, dll, memiliki kekayaan julukan ilahi yang sama, dan bangsa Yunani khususnya sudah tentu merupakan kaum dengan adab halus dan tinggi berkenaan dengan dewa-dewa mereka. Ketika kita melihat ketidaksesuaian antara kata benda ilahi dan kata kerja, itu lebih berupa bentuk tunggal kata benda ilahi dan bentuk jamak kata kerja. Dan fakta ini terdapat dalam Kitab Kejadian hanya ketika Elohim—yang, kita akan simak sebentar lagi, bukan Elohim sama sekali—berbicara kepada dirinya sendiri, bermajelis/berunding dengan dirinya sendiri. “Sekarang, mari Kita membuat manusia dalam rupa Kita.” Tapi dalam kisah itu, bentuk tunggal kata kerja selalu dipakai. Tidak, pluralis majestatis Elohim ini tidak boleh diambil serius. Timbul satu pertanyaan lebih penting lain yang, sebagaimana akan kita simak, berkaitan erat dengan pertanyaan pertama. Bagaimana mungkin bahwa, sementara semua kosmogoni lain dimulai dengan penciptaan dewa-dewa, Alkitab sendirian menunjukkan kepada kita sebuah Deus ex machina, sudah jadi, tanpa menunjukkan bagaimana Dia diciptakan atau dari bahan apa Dia dibentuk? Seperti kami katakan, kedua pertanyaan berkaitan erat. Keduanya tercakup dalam kata yang sama, dan penjelasan ganda akan ditemukan dalam etimologi Elohim sendiri. Itu akan menunjukkan kepada kita, misalnya, bahwa bentuk jamak Elohim tidaklah jamak sama sekali; itu akan menunjukkan lebih lanjut kepada kita bagaimana Tuhan Kitab Kejadian diciptakan sebelum Dia menjadi pencipta pada giliran-Nya. Elohim tersusun dari dua kata, dan penjelasannya terletak dalam pemisahan mereka. Karena El sekarang dalam bentuk tunggal, maka kata kerja bara (“created”/”mencipta”) bersesuaian dengan kata benda tersebut dengan sangat alami. El bara, “El created” (“El mencipta”). Ini adalah solusi pertama. Solusi satu lagi paling menarik, kendati itu tampak lebih rumit pemaparannya dan deduksi akhirnya.
Judul asli | : | The Mythological Hebrew Terms Explained by the Sanskrit<i=1j-_7qxnvR7T9yW8cTo9yXk7tjYIl38-2 529KB>The Mythological Hebrew Terms Explained by the Sanskrit (1908) |
Pengarang | : | O. Neufchotz de Jassy |
Penerbit | : | Relift Media, Juli 2024 |
Genre | : | Religi |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |