Mistikisme Persia paling awal terdiri dari utamanya asketisisme yang mengarah pada quietisme. Bagi para Sufi awal ini, jalan mistik-lah yang paling penting, kehidupan Penyucian yang akan membebaskan mereka dari diri dan menuntun mereka kepada Tuhan.
[Nona Margaret Smith, M.A., Ph.D., cendekiawan ke-Islam-an, semakin diakui luas sebagai pakar Mistikisme. Karyanya, Rabi’a the Mystic and her fellow-saints in Islam, diterbitkan oleh Cambridge University dan History of Mysticism-nya di Timur Dekat dan Timur Tengah dan Eropa dari zaman kuno sampai modern baru saja diterbitkan. Dia kini sibuk dengan buku ketiganya mengenai Mistikisme. Dia punya keunggulan yakni mengenal Islam secara langsung karena menghabiskan hampir 12 tahun di Timur Dekat, Mesir, dan Suriah.
Para Sufi dahulu dan sekarang adalah para Esoterikis, memakai metafora/kiasan untuk menyembunyikan dan sekaligus mengungkapkan fakta-fakta kehidupan Jiwa. Para penstudi Teosofi esoterik akan mengenali doktrin-doktrin milik mereka sendiri diuraikan dalam rangkuman cakap tentang fundamental-fundamental Mistikisme Islam ini.—Editor The Aryan Path]
Mistikisme Islam Persia, seperti mistikisme Islam di tempat lain, bermula dari sebuah ideal kehidupan, dan ini terus menjadi sasaran mistikus Persia, yakni Sufi, tapi di samping mistikisme praktis ini, di Persia berkembang sebuah doktrin teosofis untuk menjustifikasi ideal tersebut. Mistikisme Islam mengalami kenaikan dalam situasi keresahan politik yang melanda Persia khususnya, dan situasi pertikaian keagamaan antara para pengikut mazhab-mazhab pemikiran berbeda dalam Islam, sementara di periode awal Abbasiyah pertumbuhan rasionalisme dan penyebaran materialisme dan karenanya kelonggaran moral membuat orang-orang berwatak serius di kalangan pengikut Nabi mencari kehidupan yang betul-betul agamis dalam penarikan diri dari urusan dunia ini. Jiwa-jiwa saleh tersebut menjumpai di dalam al-Qur’an dan ajaran-ajaran Islam ortodoks sebuah doktrin Kesatuan/Keesaan Tuhan, dan ketundukan total pada Kehendak Tuhan, tapi Tuhan yang terpisah begitu jauh dari makhluk-makhluk-Nya sehingga mustahil ada relasi timbal-balik antara Dia dan mereka. Berlatarbelakang ideal keagamaan tersebut, semakin banyak orang memberontak; menolak makna harfiah demi makna hakiki, mereka mencita-citakan sebuah pengalaman langsung dengan Tuhan dan sebuah sarana yang melaluinya jiwa bisa membebaskan diri dari belenggu kemanusiaannya dan naik ke rumahnya dalam Tuhan untuk tinggal dalam Diri-Nya. Mistikus Persia memiliki teladan petapa Kristen yang menjalani hidup non-duniawi total, khusyuk dengan perenungan Tuhan, yang memberinya ideal kehidupan beragamanya, sementara di sisi doktrin, tendensi bawaan akal Persia ke arah monisme menuntunnya untuk menyambut ide-ide mistik Neo-Platonisme dan untuk mengasimilasi “al-Haqq”, Kebenaran Kreatif, dengan Ke-ada-an Ilahi-nya Plotinus. Kontak erat antara India dan Persia tak diragukan lagi bertanggungjawab atas masuknya ke dalam mistikisme Persia elemen-elemen yang menemukan padanan mereka dalam praktek-praktek dan kepercayaan-kepercayaan Buddhis, misalnya doktrin “fanā”, kematian personalitas manusia, dan kekembalian jiwa—meski bukan melalui pemusnahan—kepada Tuhan dalam status penyatuan kekal. Doktrin Persia berupa Imam sebagai perwakilan personal Tuhan juga memiliki andil dalam perkembangan teosofi Sufi ke dalam sebuah panteisme total, melibatkan ide deifikasi/penuhanan. Mistikisme Persia paling awal terdiri dari utamanya asketisisme yang mengarah pada quietisme. Bagi para Sufi awal ini, jalan mistik-lah yang paling penting, kehidupan Penyucian yang akan membebaskan mereka dari diri dan menuntun mereka kepada Tuhan. Di antara mistikus-mistikus awal itu adalah Ibrahim bin Adham, pangeran dari Balkh, yang berkonversi ke dalam Sufisme karena sebuah suara dari langit ketika dia pergi berburu, dan Rabi’a al-‘Adawiya, wali perempuan dari Basrah yang mengajarkan doktrin mistik Cinta tanpa pamrih, dan yang tahu seperti apa dianugerahi Penglihatan Tuhan. Risalat paling awal dalam bahasa Persia yang membahas Sufisme adalah “Unveiling of the Veiled” (“Menyingkap Yang Terselubung”) karangan al-Hujwīrī, yang lahir di Ghazna di Khurasan. Dia bercerita bahwa seorang penanya memintanya untuk mengemukakan “Jalan” para Sufi dan hakikat “maqom” mereka, untuk menjelaskan doktrin-doktrin keagamaan dan ibarat-ibarat mistis mereka, untuk menyingkap hakikat Cinta Tuhan dan menjelaskan mengapa akal sampai terselubungi dari memahami esensi Cinta Tuhan, dan terakhir untuk mengemukakan praktek para Sufi sehubungan dengan semua perkara ini. Tampaknya, di masa al-Hujwīrī, terdapat kerinduan dari masyarakat terhadap ajaran Sufi, dan bukan hanya segelintir jiwa terpilih, tapi masyarakat secara umum, tertarik pada ajaran mistik. Dia memberitahu para pembacanya bahwa seseorang dapat terselubung dari Kebenaran oleh fitrahnya, dan untuk orang seperti itu tidak ada harapan, atau oleh atribut-atributnya saja, dan dalam kasus kedua ini selubung dapat dihancurkan, dan sebagaimana cermin bernoda bisa dibersihkan dan dicerahkan, begitu pula dia jadi dapat melihat dengan jernih. Oleh karenanya, risalat ini dirancang untuk “pemolesan hati yang dikeruhkan oleh selubung atribut-atribut, tapi yang di dalamnya berdiam Esensi Cahaya Kebenaran”, dan dia mengawali bukunya dengan kata pengantar:
Mistikisme Islam Persia, seperti mistikisme Islam di tempat lain, bermula dari sebuah ideal kehidupan, dan ini terus menjadi sasaran mistikus Persia, yakni Sufi, tapi di samping mistikisme praktis ini, di Persia berkembang sebuah doktrin teosofis untuk menjustifikasi ideal tersebut. Mistikisme Islam mengalami kenaikan dalam situasi keresahan politik yang melanda Persia khususnya, dan situasi pertikaian keagamaan antara para pengikut mazhab-mazhab pemikiran berbeda dalam Islam, sementara di periode awal Abbasiyah pertumbuhan rasionalisme dan penyebaran materialisme dan karenanya kelonggaran moral membuat orang-orang berwatak serius di kalangan pengikut Nabi mencari kehidupan yang betul-betul agamis dalam penarikan diri dari urusan dunia ini. Jiwa-jiwa saleh tersebut menjumpai di dalam al-Qur’an dan ajaran-ajaran Islam ortodoks sebuah doktrin Kesatuan/Keesaan Tuhan, dan ketundukan total pada Kehendak Tuhan, tapi Tuhan yang terpisah begitu jauh dari makhluk-makhluk-Nya sehingga mustahil ada relasi timbal-balik antara Dia dan mereka. Berlatarbelakang ideal keagamaan tersebut, semakin banyak orang memberontak; menolak makna harfiah demi makna hakiki, mereka mencita-citakan sebuah pengalaman langsung dengan Tuhan dan sebuah sarana yang melaluinya jiwa bisa membebaskan diri dari belenggu kemanusiaannya dan naik ke rumahnya dalam Tuhan untuk tinggal dalam Diri-Nya. Mistikus Persia memiliki teladan petapa Kristen yang menjalani hidup non-duniawi total, khusyuk dengan perenungan Tuhan, yang memberinya ideal kehidupan beragamanya, sementara di sisi doktrin, tendensi bawaan akal Persia ke arah monisme menuntunnya untuk menyambut ide-ide mistik Neo-Platonisme dan untuk mengasimilasi “al-Haqq”, Kebenaran Kreatif, dengan Ke-ada-an Ilahi-nya Plotinus. Kontak erat antara India dan Persia tak diragukan lagi bertanggungjawab atas masuknya ke dalam mistikisme Persia elemen-elemen yang menemukan padanan mereka dalam praktek-praktek dan kepercayaan-kepercayaan Buddhis, misalnya doktrin “fanā”, kematian personalitas manusia, dan kekembalian jiwa—meski bukan melalui pemusnahan—kepada Tuhan dalam status penyatuan kekal. Doktrin Persia berupa Imam sebagai perwakilan personal Tuhan juga memiliki andil dalam perkembangan teosofi Sufi ke dalam sebuah panteisme total, melibatkan ide deifikasi/penuhanan. Mistikisme Persia paling awal terdiri dari utamanya asketisisme yang mengarah pada quietisme. Bagi para Sufi awal ini, jalan mistik-lah yang paling penting, kehidupan Penyucian yang akan membebaskan mereka dari diri dan menuntun mereka kepada Tuhan. Di antara mistikus-mistikus awal itu adalah Ibrahim bin Adham, pangeran dari Balkh, yang berkonversi ke dalam Sufisme karena sebuah suara dari langit ketika dia pergi berburu, dan Rabi’a al-‘Adawiya, wali perempuan dari Basrah yang mengajarkan doktrin mistik Cinta tanpa pamrih, dan yang tahu seperti apa dianugerahi Penglihatan Tuhan. Risalat paling awal dalam bahasa Persia yang membahas Sufisme adalah “Unveiling of the Veiled” (“Menyingkap Yang Terselubung”) karangan al-Hujwīrī, yang lahir di Ghazna di Khurasan. Dia bercerita bahwa seorang penanya memintanya untuk mengemukakan “Jalan” para Sufi dan hakikat “maqom” mereka, untuk menjelaskan doktrin-doktrin keagamaan dan ibarat-ibarat mistis mereka, untuk menyingkap hakikat Cinta Tuhan dan menjelaskan mengapa akal sampai terselubungi dari memahami esensi Cinta Tuhan, dan terakhir untuk mengemukakan praktek para Sufi sehubungan dengan semua perkara ini. Tampaknya, di masa al-Hujwīrī, terdapat kerinduan dari masyarakat terhadap ajaran Sufi, dan bukan hanya segelintir jiwa terpilih, tapi masyarakat secara umum, tertarik pada ajaran mistik. Dia memberitahu para pembacanya bahwa seseorang dapat terselubung dari Kebenaran oleh fitrahnya, dan untuk orang seperti itu tidak ada harapan, atau oleh atribut-atributnya saja, dan dalam kasus kedua ini selubung dapat dihancurkan, dan sebagaimana cermin bernoda bisa dibersihkan dan dicerahkan, begitu pula dia jadi dapat melihat dengan jernih. Oleh karenanya, risalat ini dirancang untuk “pemolesan hati yang dikeruhkan oleh selubung atribut-atribut, tapi yang di dalamnya berdiam Esensi Cahaya Kebenaran”, dan dia mengawali bukunya dengan kata pengantar:
Segala puji bagi Allah, yang telah menampakkan kepada Wali-wali-Nya hal-hal tersembunyi dari Kerajaan-Nya dan telah menyingkapkan kepada Wali-wali terpilih-Nya misteri-misteri kekuasaan-Nya dan telah menumpahkan darah para Kekasih dengan pedang keagungan-Nya dan telah menyebabkan hati orang-orang yang merindukan-Nya merasakan sukacita penyatuan dengan-Nya. Dia-lah yang menghidupkan hati yang mati dengan persepsi mencerahkan akan kekekalan-Nya dan keperkasaan-Nya, dan yang menghembuskan ke dalam hati itu roh gnosis yang menyegarkan dengan memberitahukan Nama-nama-Nya.
Judul asli | : | Persian Islamic Mysticism<i=1xL99SQqa8uJTybOygGetPhOkqqw2SvFN 276KB>Persian Islamic Mysticism (1930) |
Pengarang | : | Margaret Smith |
Penerbit | : | Relift Media, Mei 2024 |
Genre | : | Religi |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |