Ini akan menjadi waktu menguntungkan bagi Israel untuk bangun dengan semangat kenabian terbarukan sebagai pemikul akidah pemersatu dunia, sebagai Mesias jaya bangsa-bangsa. Melalui Israel, akidah-akidah monoteistik dunia dapat dipersatukan.
“Pada waktu itu akan mengalir air kehidupan dari Yerusalem; setengahnya mengalir ke laut timur, dan setengah lagi mengalir ke laut barat... Maka Tuhan akan menjadi Raja atas seluruh bumi; pada waktu itu Tuhan adalah satu-satunya dan nama-Nya satu-satunya.” Kata-kata nubuat Zakharia ini dapat diterapkan pada dua agama besar dunia yang memancar dari Yudaisme dan memenangkan separuh ras manusia, yang eksis saat ini, untuk Tuhan-nya Abraham. Meski mereka memasukkan banyak elemen non-Yahudi dalam sistem-sistem mereka, mereka menyebarkan kebenaran fundamental kepercayaan dan etika Yahudi ke setiap bagian bumi. Kristen di Barat dan Islam di Timur membantu memimpin umat manusia semakin dekat ke kebenaran monoteistik murni. Secara sadar atau tidak, keduanya menemukan motif pemandu mereka dalam harapan Mesianik nabi-nabi Israel dan mendasarkan sistem moral mereka pada etika Kitab-kitab Ibrani. Semangat-semangat utama Yudaisme mengenali ini, mendeklarasikan agama Kristen maupun Islam sebagai agensi Providensi Ilahi, yang diamanahi dengan misi historis yaitu bekerjasama dalam membangun Kerajaan Mesianik, dengan begitu mempersiapkan kemenangan akhir monoteisme murni dalam hati dan kehidupan semua manusia dan bangsa di dunia. Pandangan-pandangan ini, yang disuarakan oleh Jehuda ha Levi, Maimonides, dan Nahmanides, dinyatakan kembali oleh banyak rabbi tercerahkan di zaman belakangan. Para rabbi ini menguraikan bahwa bangsa-bangsa Kristen maupun Muslim beriman pada Tuhan yang sama dan wahyu-Nya kepada manusia, pada kesatuan ras manusia, dan pada kehidupan akhirat; bahwa mereka telah menyebarkan pengetahuan Tuhan melalui literatur suci yang didasarkan pada Kitab kita; bahwa mereka telah memelihara perintah-perintah ilahi yang pada dasarnya diutarakan dalam Dekalog kita; dan telah praktisnya mengajari manusia untuk memenuhi hukum-hukum kemanusiaan Nuh. Oleh karena fakta terakhir ini, para ahli Yahudi zaman pertengahan menganggap kaum Kristiani sebagai setengah proselit, sementara kaum Muslim, lantaran monoteis murni, selalu lebih dekat lagi dengan Yudaisme.
Namun, secara umum Yudaisme rabbinik tidaklah dalam posisi untuk menghakimi Kristen secara imparsial, karena ia tak pernah belajar mengetahui Kristen primitif yang ditampilkan dalam Perjanjian Baru. Kita tidak melihat indikasi dalam sumber-sumber Talmudik tertua ataupun [Flavius] Yosefus bahwa gerakan tersebut menghasilkan lebih banyak kesan di Galilea atau Yerusalem daripada agitasi-agitasi Mesianik lain pada waktu itu. Yang kita dengar tentang Yesus dari para rabbi abad 2 dan setelahnya hanyalah bahwa ilmu sihir dipraktekkan oleh Yesus dan murid-muridnya yang merukyah dengan namanya; dan, yang lebih buruk lagi, bahwa sekte yang dinamai dengan namanya dicurigai melakukan penyimpangan moral seperti beberapa sekte Gnostik, yang dikenal dengan nama kolektif Minim, “para sektarian”. Bahkan, Gereja awal terutama direkrut dari para Eseni dan tidak terlalu berbeda dari Sinagoge selebihnya. Para anggotanya, yang disebut Yudaeo-Kristiani, terus menaati hukum Yahudi dan mengganti sikap mereka terhadapnya secara berangsur-angsur saja. Keadaan berubah di bawah pengaruh Paulus, sang rasul untuk kaum pagan, yang menekankan semangat antinomianisme; sekte-sekte Yudaeo-Kristen kemudian dikesampingkan, permusuhan terhadap Yudaisme menjadi mencolok, dan Gereja semakin mengusahakan rapprochement dengan Roma. Kemudian para rabbi mulai menyadari bahaya serius terhadap Yudaisme dari para ahli bid’ah ini, Minim, ketika, pasca keruntuhan tragis bangsa Yahudi, mereka tumbuh menjadi kekuatan dunia sebagai sekutu-sekutu Kekaisaran Romawi. Karenanya Isaac Nappaha, seorang Haggadis abad 4, menyatakan: “Titik balik untuk kedatangan Mesias, putera Daud, tidak akan datang sampai seluruh Kekaisaran (Romawi) dikonversi ke dalam Kristen (Minuth).” Ini dilengkapi oleh Rabbah dari Babilonia, yang bermain dengan ungkapan Biblikal, berkata: “Sampai seluruh dunia (Romawi) berpaling kepada Putera (Tuhan).” Sejak saat itu Romawi Kristen diistilahkan Edom, seperti Romawi pagan dari masa Herod si orang Edom. Bahkan, maklumat imperial Romawi Kristen menunjukkan kebencian fratrisidal terhadap Esau, hampir tanpa jejak agama kasih yang diakukan. Tak heran para Haggadis mengidentikkan Romawi dengan “Babi hutan” dalam Alkitab, dan tak sabar menantikan masa ketika Romawi harus menyerahkan pemerintahannya sebagai kekaisaran-dunia yang keempat kepada bangsa Tuhan, mengantarkan era Mesianik.
Sementara itu kemunduran Kristen dari monoteisme menjadi lebih mantap dan lebih nyata. Satu Tuhan-nya orang Yahudi didorong ke latar belakang oleh “Putera Manusia”; dan Bunda Perawan beserta anak ilahinya menjadi dipuja seperti Ratu Langit era pagan, menunjukkan kemiripan terutama dengan Isis (bunda-dewi Mesir) yang menggendong Horus (putera-dewa muda) di atas pangkuannya. Dewa-dewa pagan dari berbagai negeri ditransformasi menjadi santo-santo Gereja dan disembah melalui patung-patung, dalam rangka memenangkan hati massa pagan ke dalam keyakinan Kristen. Dengan demikian, monoteisme asli yang murni dan absolut dan konsepsi kekudusan yang keras diubah menjadi kebalikannya oleh hirarki dan monastisisme Gereja. Lantas, bagaimana bisa bangsa Yahudi mengakui Kristus tersalib sebagai bagian dari mereka? Kristus yang dakwahnya justru membawakan kepada mereka kutukan dan kematian alih-alih keselamatan dan kehidupan, bahkan sambil berbicara atas nama Tuhan-nya Israel seperti para nabi dahulu kala? Bagaimana bisa mereka melihat di dalam doktrin-doktrin aneh Gereja suatu kemiripan dengan sistem keyakinan mereka sendiri, apalagi doktrin-doktrin yang menjijikkan mereka adalah doktrin-doktrin yang paling ditekankan oleh Kristen? Maimonides menganggap para pengikut Gereja Roma sebagai penyembah berhala, sebuah pandangan yang dimodifikasi oleh para otoritas Yahudi di Barat karena mereka jadi lebih familiar dengan doktrin-doktrin Kristen.
Kekaisaran-dunia Gereja kemudian dibagi antara Roma, yang para penulis Yahudi sebut Edom, dan Bizantium, yang mereka namakan Yavan, tapi keduanya tidak menunjukkan kemajuan nyata dalam pandangan dan ideal keagamaan. Sebaliknya, mereka berdua mempersekusi dengan api dan pedang bangsa kecil yang setia kepada monoteisme kunonya, dan memberangus sisa pengetahuan dan ilmu. Karena Gereja punya tugas besar mendisiplinkan ras-ras liar dan semi-barbar, tak ada banyak ruang tersisa untuk pengetahuan atau untuk ideal tinggi. Pada waktu itu, penuntut balas keras dengan jiwa monoteisme murni yang dipersekusi muncul di kalangan bani Ismail di gurun Arabia dalam sosok Muhammad, seorang penunggang unta dari Mekkah, seorang pria berhasrat kuat dan hampa dari pengetahuan, tapi dikaruniai api nabi-nabi kuno Israel. Dia merasa dipanggil oleh Allah, Tuhan-nya Abraham, untuk melancarkan perang terhadap kemusyrikan bangsanya dan memulihkan akidah murni purbakala. Dia menyulut api dalam hati saudara-saudara sebangsanya, api yang tak padam sampai mereka memproklamirkan keesaan Tuhan di seantero Timur, sampai mereka mengkocar-kacirkan dogma trinitarian Gereja di Asia maupun Afrika, dan memperluas domain mereka hingga semenanjung Spanyol. Dia membujuk kaum Yahudi untuk mengakuinya sebagai nabi terakhir, “nabi penutup”, di antara para nabi, dengan berjanji akan mengadopsi beberapa praktek keagamaan mereka; tapi ketika mereka menolak, dia menunjukkan diri sebagai fanatik dan pendendam, seorang putera tulen kaum Badui, tak kenal henti dalam kemurkaannya dan mengakhiri karirnya sebagai seorang despot kejam sensual tipe Timur sejati. Meski demikian, dia menciptakan sebuah agama yang membawa kepada kemajuan kultur intelektual dan spiritual luar biasa, dan yang di dalamnya Yudaisme menemukan dorongan berharga untuk usaha-usaha serupa. Dengan demikian Ismael terbukti pewaris Abraham yang lebih baik daripada Esau, saudaranya Yakub yang berseteru.
Pertanyaan penting tapi sulit, yaitu mana di antara ketiga ini yang terbaik, Islam, Kristen, atau Yahudi, ini dijawab dengan sangat pandai oleh Lessin dalam Nathan the Wise-nya, dengan mengadaptasi perumpamaan tiga cincin, diambil dari Boccaccio. Kesimpulannya adalah bahwa agama terbaik adalah agama yang mendorong orang-orang dengan sebaik-baiknya untuk memajukan kesejahteraan sesama. Tapi pertanyaan ini sendiri jauh lebih tua; itu didiskusikan di istana para Khalifah di Baghdad sejak abad 10, di mana para penganut setiap agama yang terwakili di sana mengekspresikan pendapat mereka secara terus-terang. Selama berabad-abad, itu menjadi subjek penyelidikan filosofis dan komparatif. Di antara penyelidikan-penyelidikan ini, yang paling menyeluruh dan mendalam adalah Cuzari karya filsuf dan penyair Yahudi, Jehuda ha Levi. Tapi perumpamaan tiga cincin juga telah ditelusuri ke belakang dalam koleksi-koleksi dongeng Yahudi dan Kristen hingga abad 13, dan tampaknya mulanya merupakan karya seorang penulis Yahudi. Berdiri di antara dua agama kuat dengan seruan angkat senjata duniawi mereka, orang Yahudi terpaksa berpaling pada akalnya sebagai hampir satu-satunya sumberdayanya untuk meloloskan diri. Dua karya Yahudi telah melestarikan bentuk-bentuk sebelumnya dari perumpamaan ini. Dalam koleksi sejarah karangan Ibnu Verga dari abad 15, diriwayatkan bahwa “Don Pedro Tua, Raja Aragon (1196-1213), bertanya kepada Efraim Sancho, seorang bijak Yahudi, mana di antara kedua agama, Yahudi atau Kristen, yang lebih baik. Setelah tiga hari menimbang, sang bijak menceritakan kepada sang raja kisah dua anak laki-laki yang masing-masing telah menerima batu mulia dari ayah mereka (seorang tukang perhiasan) ketika dia pergi untuk melakukan sebuah perjalanan. Anak-anak lelaki ini kemudian pergi kepada seorang asing, mengancamnya dengan kekerasan, kecuali jika dia mau memutuskan mana di antara perhiasan itu yang lebih berharga. Sang raja, mempercayai ini sebagai fakta, memprotes tindakan kedua anak lelaki, sehingga si Yahudi menjelaskan: Esau dan Yakob adalah kedua anak lelaki yang masing-masing telah menerima perhiasan dari Bapa mereka di surga. Ketimbang bertanya padaku perhiasan mana yang lebih berharga, tanyakanlah pada Tuhan, sang Tukang Perhiasan di surga. Dia tahu perbedaannya, dan bisa membedakan keduanya.”
Sebuah bentuk perumpamaan yang lebih tua dan barangkali lebih orisinil ditemukan oleh Steinschneider dalam sebuah karya Abraham Abulafia dari abad 13, bunyinya sebagai berikut: “Seorang ayah berniat mewariskan sebuah perhiasan berharga kepada putera tunggalnya, tapi kesal oleh sikap tak tahu terimakasihnya, dan oleh karena itu dia mengubur perhiasannya. Namun, para pelayannya tahu soal harta itu dan mengambilnya dan mengklaim menerimanya dari si ayah. Seiring berjalannya waktu, mereka menjadi sangat congkak sehingga si putera menyesali perilakunya, dan lantas si ayah memberikan perhiasan tersebut kepadanya sebagai barang miliknya yang sah.” Kisah berakhir dengan menyatakan bahwa Israel adalah sang putera dan Muslim dan Kristiani adalah para pelayan.
Judul asli | : | Christianity and Mohammedanism, the Daughter-Religions of Judaism<i=1B4AasvMP99zAicgA3kASGlLQ9yRqbT82 404KB>Christianity and Mohammedanism, the Daughter-Religions of Judaism (1910) |
Pengarang | : | Kaufmann Kohler |
Penerbit | : | Relift Media, Desember 2023 |
Genre | : | Religi |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |