Skip to content
Sejarah Bani Israel Menurut Ernest Renan – Relift Media

Sejarah Bani Israel Menurut Ernest Renan Bacaan non-fiksi sejarah

author _Francis Espinasse_; date _1895_ genre _Sejarah_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ Renan hampir tak bisa menemukan bahasa untuk mengekspresikan kejijikannya terhadap degradasi agama partriarkal lama itu. Jahve adalah Tuhan nasional, dengan kata lain Tuhan durjana. Dia menyimpangkan Israel. Dia menjadikannya kejam, tak adil, khianat, egois, memikirkan kepentingannya sendiri saja. Sekitar 4.000 tahun lampau, menurut Renan, ras Arya menampakkan diri dengan pusatnya di Afghanistan, dan ras Semit dengan pusatnya di Arabia. Dalam hal anu­gerah mental, dalam hal bahasa, terutama dalam hal agama, kedua ras ini—Renan mengulangi sekali lagi teori favoritnya—menghadirkan kontras terbesar terhadap satu sama lain. Arya tentu saja politeis; Semit condong pada monoteisme. Arya mendewakan/menuhankan elemen-elemen dan kekua­tan-kekuatan alam, dan memiliki dewa/tuhan khusus untuk setiap bidang besar. Saat dalam bahaya di laut, Yunani Arya memohon pertolongan kepada Poseidon; saat sakit, dia me­manjatkan sumpah kepada Asclepius; untuk panen yang bagus, dia berdoa kepada Demeter. Orang-orang Semit, seawalnya sejak kita mengenal mereka, meyakini beribu-ribu roh, yang secara kolektif dinamakan Elohim, sebuah kata benda jamak yang, dengan mensyaratkan sebuah kata kerja bentuk tunggal, membentuk kesatuan mereka. Tapi tak satu­pun dari Elohim-elohim ini memiliki nama mereka sendiri seperti dewa-dewa Arya, dan orang Semit berdoa kepada mereka dalam semua kasus sebagaimana kepada satu Tuhan Berdaulat. Benar, Tuhan Berdaulat memiliki nama berbeda untuk masing-masing suku yang menyembah-Nya. Di satu suku Dia adalah Baal, di suku lain Moloch, di suku lain Che­mosh, tapi untuk menyelamatkan teori monoteisme Semitik-nya, Renan menjelaskan bahwa semua nama kesukuan Semitik untuk Tuhan menandakan hal yang sama—Maha Tinggi, Maha Kuasa, dan sebagainya. Tidak serta-merta, tapi dalam jalannya waktu, Elohim, untuk suku Bani Israel Semitik, menjadi satu Tuhan, yang, dalam bahasa penulis Elohistik ayat pertama Kejadian, “mula-mula menciptakan langit dan bumi”. Monoteisme didirikan oleh bangsa-bangsa Semit, dan, diterima dari Yuda­isme oleh Kristen dan Islam, telah—di luar India—menang atas politeisme ras agung Arya yang ke dalamnya bangsa-bangsa Eropa tergolong. Bahasa bangsa-bangsa Semit saja menghalangi pertumbuhan mitologi, yang merupakan induk politeisme, nomina numina. Bagi Arya primitif, setiap kata melingkupi kemungkinan mitos. Akar-akar Semitik itu keras, anorganik, realistik, tak subur akan mitologi maupun meta­fisika. Kehidupan nomaden, kehidupannya bangsa-bangsa Semit kuno, memperkuat kecenderungan mereka pada mono­teisme. Sifat kehidupan tersebut saja menghalangi pendirian kuil dan patung. Orang-orang nomaden Semitik yang mengembara ke Mesopotamia bersentuhan dengan penduduk wilayah Padan Aram—semacam aneks-nya Asyur—dan di situ mereka menemukan sebuah kaum yang memiliki literatur dan sains Babilonia, tapi berbicara dalam bahasa seperti bahasa mereka sendiri. Karenanya para pendatang baru ini bisa mengasimilasi legenda-legenda Babilonia, di antaranya legenda penciptaan, dan banjir besar, dengan legenda-legenda sang Abraham yang barangkali mitos. Untuk men­jelaskan superioritas besar keterangan perkara-perkara ini yang disampaikan dalam kitab Kejadian dibanding kete­rangan yang disingkapkan kepada kita oleh para pengurai prasasti aksara paku, Renan memiliki teori cerdik. Orang-orang Semit nomaden yang baru diinisiasi, yang jahil akan seni menulis dan bergantung pada hafalan, mereduksi legenda-legenda Babilonia yang tersebar menjadi sesuatu yang sederhana dan singkat yang bisa mereka bawa-bawa dengan mudah. Mereka menanamkan makna moral ke dalam cerita banjir besar, yang menjadi azab atas dosa-dosa umat manusia. Di samping penyembahan Elohim, para pengem­bara penggembala Semitik ini kini dianugerahi kosmogoni rasional yang dunia warisi dari mereka. Beberapa dari suku-suku ini, dikenal sebagai Ibrani, yang silsilahnya berasal dari Terah dan diduga puteranya (Abraham), mengembara ke Suriah. Salah satu dari mereka, menurut Renan, yang berbeda dari suku-suku Ibrani lainnya melalui keseriusan dan ikatannya pada penyembahan Tuhan Tertinggi, dikenal sebagai Israel. Bani Israel, putera-putera Israel, adalah nama favorit Renan untuk mereka. Dia menyebut Bani Israel mencakup sebuah klan yang superior dibanding selebihnya, Bani Yusuf, yang berimigrasi ke Mesir dan disambut baik di sana dan mengajak sisa sukunya mengikuti mereka. Mereka melakukannya, dan bermukim di tanah Goshen, di mana mereka menjalani kehidupan peng­gembala. Cerita indah dan mengharukan tentang Yusuf dan saudara-saudaranya direduksi oleh kritikan modern menjadi ini! Renan membatasi persinggahan Israel di Mesir jadi seabad. Persinggahan ini, timbangnya, merugikan untuk agama Bani Israel. Mereka mengadopsi dari Mesir anak sapi emas, ular perunggu, orakel pembohong—semuanya pembe­rian fatal—bersama dengan Peti Pandan yang memainkan peran begitu besar dan barangkali berguna dalam sejarah Israel berikutnya. Dengan penggulingan raja-raja gembala, yang Renan anggap sebagai orang-orang Semit, dan kena­ikan sebuah dinasti pribumi, dimulailah penganiayaan bani Israel di Mesir. Di bawah para pemberi tugas yang kasar mereka harus banting tulang dalam pembangunan karya-karya besar, urban dan lainnya, yang dijalankan oleh Ramses II, yang Renan juluki Louis XIV-nya Mesir. Dalam anarki yang dia wariskan kepada para suksesornya, Bani Israel melarikan diri ke semenanjung Sinai. Renan sama sekali tak yakin pernah ada orang yang namanya Musa; tapi secara umum dia condong mengakui eksistensi probabelnya, meski kemungkinan besar dia, bagi Bani Israel yang sedang melari­kan diri, adalah jauh lebih seperti Abdul Qadir ketimbang pembuat undang-undang yang dihasilkan oleh gabungan tradisi dan imajinasi. Di antara banyak “barangkali” dalam seksi cerita Renan ini, satu hal mencolok dengan lumayan jelas baginya. Yaitu bahwa dengan arak-arakan bani Israel di gurun Sinai, gunung ini menjadi bagi mereka Olimpus-nya dewa nasional baru mereka, Jahve (Jehovah kita), yang pe­nyembahan-Nya, karena jadi bercampur dengan penyemba­han anak sapi emas, ular perunggu, dan dewa-dewa nasional Suriah, memudarkan penyembahan Elohim selama berabad-abad. Renan hampir tak bisa menemukan bahasa untuk mengekspresikan kejijikannya terhadap degradasi agama partriarkal lama itu. Jahve adalah Tuhan nasional, dengan kata lain Tuhan durjana. Dia menyimpangkan Israel. Dia menjadikannya kejam, tak adil, khianat, egois, memikirkan kepentingannya sendiri saja.
“Untungnya,” seru Renan di tengah dukacita dan kedongkolannya, “untungnya dalam kejeniusan Israel terdapat sesuatu yang lebih tinggi daripada prasangka-prasangka kebangsaan. Elohisme lama takkan pernah punah; itu akan bertahan, atau lebih tepatnya akan mengasimilasi Jahveisme. Bonggol besar itu akan diberantas. Nabi-nabi, khususnya Yesus, nabi terakhir, akan mendepak Jahve, si tuhan eksklusif Israel, dan akan mengembalikan satu Tuhan semesta dan umat manusia ke formula patriarkal indah seorang bapak, yang adil dan baik.”
Tapi berabad-abad legenda dan sejarah harus dilintasi se­belum Renan dan para pembacanya sampai pada penyem­purnaan yang dielukan ini. Setiap kemenangan bani Israel dalam penaklukan berta­hap atas Palestina dirayakan dalam lagu-lagu yang—di kala­ngan sebagian yang muncul dari pelarian mereka dari Mesir—bertahan dalam ingatan kaum ini tanpa dituliskan. Seiring tahun-tahun bergulir, lagu-lagu ini menerima tambahan-tambahan legenda, seluruhnya—di zaman tulisan—menyan­dang bentuk cerita, prosa yang menghubungkan dan meng­uraikan lirik populer dan membentuk karya semisal Kitab Perang-perang Jahve, yang menyumbang beberapa materi pada kronik-kronik awal Israel. Di antara lirik-lirik ini, nyanyian Debora adalah yang paling agung. Lambat-laun berpadu menjadi sebuah bangsa, bani Israel beralih dari kekuasaan Hakim-hakim, yang menurut Renan menyerupai kediktatoran Romawi, ke pemerintahan monarkis di bawah Saul. Renan menganggap Daud adalah ketua bandit sukses dan beruntung, yang di antara tindakan tak bermoralnya adalah pembelotannya ke bangsa Filistin, musuh nasional Israel. Tapi Daud memberi Israel sebuah kota di Yerusalem, dan dengan memancangkan Peti Pandan di sana, menjadi­kannya pusat ibadah keagamaan bangsa tersebut. Dia mendirikan balatentara permanen, dan mendirikan sebuah dinasti yang berlangsung 500 tahun. Tak banyak orang, menurut Renan, yang kurang agamis daripada Daud, meski legenda menjadikannya santo, dan kepengarangan mazmur, yang hanya satu atau dua fragmennya dia mungkin tulis, dinisbatkan kepadanya. Apa yang Daud mulai dalam menjadikan Yerusalem pusat keagamaan Israel, Sulaiman tuntaskan dengan membangun kuil pertama, dan memasang Peti Pandan di situ. Tapi saat melakukan ini Sulaiman sama sekali bukan pemuja fanatik Jahve. Jahve mungkin tertinggi di Yerusalem, tapi di Bukit Zaitun, menghadap Zion, dewa-dewa pagan disembah secara bebas, di antaranya Chemosh, dewanya Moab dan dewa dalam prasasti masyhur Moab. Salah satu fungsi nabi-nabi masa mendatang adalah mencela pemberhalaan tersebut.
Judul asli : The History of Israel<i=1jjJ3KAFadXv2uciwA_P3odXT9KY7CMVr 214KB>The History of Israel
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Oktober 2023
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Sejarah Bani Israel Menurut Ernest Renan

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2023)