Skip to content
Jalan Tanpa Nama – Relift Media

Jalan Tanpa Nama Cerita fiksi misteri

author _Harold Hersey_; date _1919_ genre _Misteri_; category _Cerpen_; type _Fiksi_ “Kau tahu, kita orang-orang Barat tak pernah tahu di mana harus berhenti. Kita menghancurkan atau dihancurkan. Aku sudah menggali rahasia terdalam peradaban-peradaban kuno itu, turun, turun, turun, ke dalam agama-agama mereka, pemikiran mereka, ide mereka.” Apa yang akan kau perbuat jika diundang oleh seorang teman lewat surat pribadi untuk menghadiri pemakamannya keesok­an hari? Akankah kau melakukan persis seperti dia perintah­kan, atau akankah kau coba menggali misteri itu berlawanan dengan keinginannya? Berikut adalah masalah yang betul-betul terjadi—kisah sebuah persahabatan akrab dan benturan antara akal praktis Barat dan dunia Timur yang licik tak kasat mata. Kembalinya Albert Rawlinson adalah tipikal pria ini. Dia tiba-tiba muncul di Edgeville, dengan tenangnya me­nyatakan ayahnya tewas dalam kecelakaan di luar negeri dan bahwa dia bermaksud tinggal di kota kecil itu lagi. Keda­tangannya membawa pula muatan barang-barang aneh dari Timur, diawasi oleh seorang pelayan tanpa emosi yang dia pungut di Tibet—seorang bernama Wang Soo, berbakti pada kemauannya sekecil apapun, tak mempan dengan perta­nyaan-pertanyaan, sama sekali bungkam perihal tuannya. Dia sejenis keajaiban kesembilan di desa. Rumah tua itu telah ditutup selama dua puluh tahun. Sebagai bocah sepuluh tahun Albert meninggalkannya; sebagai pria tiga puluh tahun dia kembali ke sana. Beranda yang mengelilingi sisi-sisi bobroknya telah melapuk, rum­put-rumput liar tumbuh bahkan di sela-sela papan. Daun-daun jendela bergantung muram pada engselnya, berderak-derak oleh angin di atas kusen jendela kosong. Anak-anak takut dengan tempat itu, mengambil jalan memutar lebar demi menghindarinya. Bangunan ini berdiri di seksi terpen­cil di sudut utara Edgeville, pohon-pohon poplar jangkung sekelilingnya turut membuatnya semakin terpisah dari kehi­dupan normal wilayah tersebut. Cerita-cerita hantu biasa telah terkumpul secepat pelapukannya. Anak-anak mene­ruskan idenya; mereka yang lebih tak gentar berani men­dekat dan melempar batu ke dalam jendela kosong sekali-sekali. Rawlinson langsung mengambil pemilikan, mengupah sepasukan besar tukang untuk memperbaiki apa yang bisa diperbaiki, merobohkan seluruh seksi dan merekonstruksi mereka, membersihkan dan merenovasi rumah dan peka­rangannya sampai orang takkan pernah mengenali apa yang dulu ada. Dalam sebulan, dia mengubah tampilannya sede­mikian rupa hingga enak dipandang. Wang Soo memahami seni pertamanan dengan pengetahuan sempurna yang diraih oleh orang Timur sejati. Dia bekerja siang malam. Hasilnya adalah efek-efek ajaib yang menarik pelancong penasaran dalam radius bermil-mil. Edgeville jadi terkenal karena tamannya, yang nyatanya lebih bagus lagi daripada reputasinya. Fakta bahwa Kennedy kenal Albert Rawlinson “secara intim” bukanlah penguji atas apa yang memang dia pahami dari orang ini. Albert Rawlinson dapat sepatutnya dijuluki orang “aneh”—pendiam, mudah marah mendadak dan tanpa alasan, tapi setia dalam satu persahabatannya dengan Ken­nedy sampai akhir. Sudah diketahui umum bahwa jika dia mulai melakukan sesuatu, dia melakukannya dengan baik. Ada kisah-kisah aneh tentang usaha awalnya untuk mempelajari rahasia agama-agama Timur itu. Konon bekas luka panjang di bawah dagunya didapat dari perjumpaan tak terduga dengan biksu tertentu dari Lhassa, yang keberatan dia berkeliaran di suatu kuil. Rawlinson tidak menyangkal atau membenarkan ini. Namun, benar bahwa pendidikannya semasa kecil berlang­sung di Timur. Di mana persisnya, tidak ada yang tahu. Kematian tak terduga ibunya membuat murung ayahnya. Rawlinson senior jadi membenci kota kelahirannya—Edge­ville kecil—yang terisolir di lembah terlupakan Middle West. Dia memandang hina eksistensi rutinnya, kebiasaan-kebia­saannya. Dia bahkan menulis buku menentang Puritanisme, yang gagal total di pasaran. Itu tak lebih dari rengekan se­orang duda tak puas. Bahkan Rawlinson harus mengakui ini, ketika sesekali dia menyebutkan satu percobaan ayahnya untuk menjadi seorang filsuf. Rawlinson senior benci opini publik, pura-pura mengabaikannya, tapi senantiasa menya­darinya lebih dari apapun. Dia menutup rumah tua di Edgeville—bahkan menggembok gerbang besi dan menyewa seorang berkeluarga untuk mengawasi tempat itu—dan menghilang, membawa Albert muda impresionistis ke wilayah-wilayah tak dikenal. Bersama orangtua demikianlah si bocah menjalani masa kecilnya. Kadangkala kabar angin datang melayang dari sumber-sumber tak terduga, mengaku memberi kabar pasti tentang kedua pengelana, tapi itu memang kabar angin. Jelas si ayah dan puteranya tak pernah berniat kembali ke tanah kelahiran. Bagi Kennedy, Albert Rawlinson adalah semacam pahla­wan—pahlawan remang-remang dari kabut. Dia mengenal­nya semasa kecil di sekolah. Mereka berpisah ketika masing-masing berumur kira-kira sepuluh tahun. Untuk suatu ala­san, ini menghasilkan kesan kuat pada mereka berdua. Itu mungkin karena Kennedy punya selapis sifat simpati yang menyenangkan Albert tanpa membuatnya muak, dan Albert punya segurat nafsu berkelana yang membuat anak rumah­an itu terus terpesona. Entah benar atau tidak suatu kualitas berbeda dan tersirat yang menyatukan kedua bocah itu, tetap saja faktanya di sekolah mereka tak terpisahkan. Kepada Kennedy-lah Albert membawa mimpi-mimpi pertamanya, aspirasi awalnya menuju kedewasaan. Albert tidak populer di sekolah. Dia punya gaya ganjil sombong, cara sembunyi-sembunyi, sikap tenang ketua-tuaan yang menghalau per­temanan. Anak-anak lain memandangnya orang aneh, asing bagi lingkaran mereka. Beberapa kali Kennedy bergegas membelanya saat mereka mempermainkannya. Suatu kali mereka melemparinya batu. Kennedy, tanpa memikirkan diri sendiri, menyerbu masuk dan membubarkan kerumunan. Dia besar, kuat, dan tidak dianugerahi banyak imajinasi. Mereka bahkan tetap saling berkirim surat ngalor-ngidul. Kennedy adalah satu-satunya orang di Edgeville yang senan­tiasa mendengar kabar dari keluarga Rawlinson, tapi Albert berkata dalam surat pertamanya bahwa dia takkan pernah menulis lagi jika dia dengar Kennedy memamerkan satupun suratnya. Ini cukup untuk Kennedy. Dia membaca mereka berkali-kali dan kemudian mengarsipkan mereka baik-baik di lemari besinya. Prakteknya sebagai pengacara telah me­yakinkannya bahwa lebih baik tetap tutup mulut daripada bicara. Kennedy sedang pergi saat Rawlinson kembali. Dia tidak menerima kabar tentang niatnya lewat surat atau telegram. Namun, ini tidak mengagetkannya; dia tahu karakter orang ini. Saat pulang, dia mampir dan mendapati teman sekolah lamanya berubah lebih banyak dari yang dia sangka. Matanya tampak kehilangan kilaunya, dan dia terutama mengamati kebiasaan grogi mengejangkan tangan atau melipat-lipat saputangan menjadi persegi tak ada habisnya ketika sedang bicara. Dia menjabat tangan agak asal-asalan, menurut Ken­nedy. “Kau terlihat masih hampir sama,” komentar Rawlinson setelah membisu sebentar di mana dia seperti mengebor Kennedy dengan matanya. “Aku ingat dagu itu, rambut keri­ting itu, hidung itu. Kau sudah makmur. Baguslah.” “Aku senang kau kembali,” seling temannya setelah sekali lagi membisu. “Benar. Aku juga senang. Aku jadi bosan dengan wajah-wajah kuning dan kuncir-kuncir tak ada habisnya itu di sebe­rang lautan. Ketika ayah tak diduga-diuga terbunuh saat mencoba mendobrak ke suatu tempat di mana dia tak diundang, kuputuskan untuk mengemas barang kami dan kembali ke Edgeville. Aku sudah mengoleksi perpustakaan besar terkait Buddhisme dan ilmu okult, dan aku berencana menulis buku tentang subjek itu.” “Hebat! Tapi betapa efektifnya kau merenovasi tempat tua ini.” “Ya,” kata Rawlinson dengan bunyi dipanjangkan. “Aku berpikir kami akan lakukan perbaikan pada tampilan per­tama yang menyambutku. Aku tak ingat pernah melihat puing-puing seperti itu, kecuali di pegunungan Mongolia, di mana segalanya menjadi puing-puing, bahkan manusia sen­diri.” Kennedy berbalik saat mendengar kata-kata ini. Di bela­kangnya berdiri si China kolot yang sudah dia dengar—Wang Soo. Rawlinson tampak sedikit marah karena orang itu men­dekat tanpa pemberitahuan. Dia meludahkan beberapa kata dalam bahasa tak wajar, dan si pelayan tak beremosi meng­hilang secara aneh seperti saat datang. Kennedy gagal meng­usir kesan wajah si China dari pikirannya selama seminggu penuh. Mereka berjalan-jalan di pekarangan, memperhatikan orang-orang bekerja dan mengenang masa sekolah mereka. Setelah beberapa saat, Kennedy naik ke dalam wagonnya dan mengemudi pergi. Menoleh ke belakang, dia lihat Raw­linson berdiri di mana tadi dia meninggalkannya, kedua tangannya bersilang di belakang punggung, kepalanya ter­tunduk seolah sedang berpikir. Kennedy melihatnya tiba-tiba bergeser posisi. Wang Soo muncul dari balik serumpun pepohonan dekat tempat mereka berdiri. Yang terakhir Kennedy lihat saat berbelok di tikungan jalan adalah kepala mereka merapat dalam per­cakapan asyik, wajah si China menatap tajam Rawlinson dengan semangat aneh. Kennedy bergidik. Itu terasa tidak nyata sama sekali. Ini sama sekali tidak seperti apapun yang familiar baginya. Dia harus akui tidak suka sikap tunduk si China. Itu tidak Amerika sama sekali. Rumah itu mulai terlihat seperti campuran gaya arsitektur China dan setengah lusin kebang­saan lain yang ditambahkan. Rawlinson bersikeras mema­sang pergola di taman. Tak ada keraguan akan fakta bahwa Wang Soo menciptakan karya seni di tamannya, tapi, untuk suatu alasan, dia menentang pergola di rumpun pepohonan yang tumbuh dekat gerbang. Rawlinson meminta bantuan pada Kennedy belakangan. Mereka berdebat soal urusan itu. Hasilnya adalah dibangunnya rumah kecil. Rumah lama dikreasi ulang. Beranda besar melingkari sisi-sisi yang baru dicat, dan ivy yang tumbuh pesat sudah mulai mengangkat jari-jari hijaunya seolah ingin merayap naik sampai menge­pung bahkan jendela-jendela besar di lantai dua. Di dalam, mata disambut oleh kemegahan yang hampir menyesakkan. Di sini ada segala bentuk seni yang dikenal oleh Timur, diseret ke kota pedesaan kecil konvensional ini. Dia berdalih kepada Kennedy pada satu kesempatan dengan berkata bahwa setidaknya tempat itu akan menjadi museum unggul sesudah dirinya mati. Mereka berdua sangat sering bertemu, tapi makan waktu setahun sebelum mereka mendapatkan suatu macam kein­timan lagi. Saat itulah si pengacara pedesaan mengetahui bahwa sobat masa kecilnya sepertinya mengingat suatu insiden dalam hidupnya yang menggoreskan ketakutan ke dalam hatinya. “Aku tak banyak bicara,” katanya suatu malam. “Tetap saja, aku membuat satu kesalahan dalam hidupku yang demi menghapusnya aku bersedia memberikan seluruh kekayaan. Itulah alasan sebetulnya kenapa aku pulang.” Kennedy tidak bisa menggali lebih banyak darinya. Raw­linson cuma duduk mengisap pipa di tengah semua contoh seni grotes yang dia bawa pulang. “Aku pikir semua sudah berakhir sekarang,” katanya me­nutup curhat pertama dan satu-satunya. “Namun, kau tak bisa pastikan hal-hal ini. Seorang pria kulit putih pergi ke sana dan mengutak-atik hal tak kasat mata dan aneh. Biasa­nya dia lolos tanpa terluka, karena dia tidak pergi cukup jauh. Tapi, bung, aku pergi sampai ke batasnya! Aku—” Dia ber­henti. “Tak ada gunanya memperdebatkan urusan itu; ayo main catur.”
Judul asli : The Street Without a Name<i=18a5-bbfDTl_2dgrBs1fTk8g2fiM3lRiI 471KB>The Street Without a Name
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Juli 2023
Genre :
Kategori : ,

Unduh