
Karena tak sepenuhnya dipahami, dinyatakan bagaimana Tuhan itu, yang dalam Injil begitu sering dinyatakan esa dan tak terbagi, di saat yang sama bisa berlipatbanyak. Noëtus menyimpulkan Bapak segala hal yang tak terbagi ini menyatukan diri dengan manusia Kristus, lahir di dalamnya, dan menderita dan mati di dalamnya. Bangsa kuno sependapat bahwa Noëtus, meski dia paham doktrin yang diajarkan Gereja tidak bisa direkonsiliasikan dengan teks-teks Injil (yang menyangkal ada dewa-dewa apapun selain Tuhan yang esa, Bapak semua hal [Eksodus iii 6 dan xx 3, Yesaya xlv 5, Baruch iii 36, Yesaya xlv 14])—sebab Hipolitus maupun Epifanius dengan jelas memberitahu kita bahwa dia mendasarkan doktrinnya pada teks-teks ini—meski Noëtus paham demikian dan tidak ragu sama sekali bahwa Kristus disebut Tuhan dalam Injil-injil suci, dia jatuh ke dalam kepercayaan bahwa Tuhan esa tertinggi, yang disebut Bapak umat manusia dan khususnya Bapak Kristus, memangku sifat manusia dalam oknum Yesus dari Nazareth, dan, melalui penderitaan dan kematiannya, menebus dosa-dosa manusia. Hipolitus (Sermo dalam Noëtus 1) berkata: Ἔφη τὸν χριστὸν ἀυτὸν εἶναι τὸν πατέρα, και αυτὸν τὸν πατέρα γεγεννῆσθαι και πεπονθέναι και ἀποτεθνηκέναι. (Dixit Christum eundem esse patrem, ipsumque patrem genitum esse, passum et mortuum.) Menurut Epifanius, Noëtus menjawab teguran para presbiter dengan berkata: Quid mali feei? Unum Deum veneror, unum novi (xà‹¡ ux äddor eäär αυτοῦ, γεννηθέντα, πεπονθότα, ἀποθάνοντα), nee praeter ipsum alterum natum, passum, mortuum. Dan tak lama kemudian dia membuat para Noëtian berkata: Ου πολλοὺς Θεοὺς λέγομεν, ἀλλ ' ἕνα Θεὸν ἀπαθῆ, ἀυτὸν πατέρα τοῦ ὑιοῦ, ἀυτὸν υἱὸν, και πε Tovita. (Non plures Deos affirmamus, sed unum duntaxat Deum, qui et pati nihil possit, et idem filii pater sit, ac filius, qui passus est.) Tapi Teodoretus secara paling eksplisit di antara semuanya mengekspresikan dogma mereka (yang kata-katanya kutampilkan hanya dalam bahasa Latin, supaya singkat) begini: Unum dicunt Deum et patrem esse – non apparentem illum, quando vult, et apparentem, cum voluerit — genitum et in genitum, ingenitum quidem ab initio, genitum vero, quando ex virgine nasci voluit; impassibilem et immortalem, rursusque patibilem et mortalem. Impas sibilis enim cum esset, crucis passionem sua sponte sustinuit. (Dia menambahkan:) Hunc et filium appellant et patrem, prout usus exegerit, hoc et illud nomen sortien tem. Apa yang Epifanius katakan kepada kita, yakni bahwa para Noëtian menjadikan Kristus sebagai Bapak maupun Putera; atau sebagaimana Teodoretus sampaikan, Mereka menyebut Kristus Putera sekaligus Bapak, tergantung kesempatan; bangsa kuno maupun bangsa modern memahami ini dalam pengertian lebih buruk dari yang diperlukan. Sebab mereka bilang bahwa Noëtus meyakini Bapak dan Putera adalah oknum yang satu dan itu-itu juga; bahwa oknum ini menyandang nama Bapak, sebelum menghubungkan diri dengan manusia Kristus, tapi mengambil gelar Putera setelah penyatuannya dengan manusia Kristus, sehingga Dia bisa dipanggil Bapak maupun Putera; sebagai Bapak jika dipandang dalam diri-Nya sendiri dan terpisah dari Kristus, tapi sebagai Putera jika dipandang terangkai dengan manusia Kristus. Dari pemaparan pandangan-pandangannya ini, sering ditarik konsekuensi-konsekuensi yang mendiskreditkan reputasi dan bakat-bakat Noëtus. Padahal itu semua bukan pandangan Noëtus; pembaca yang awas dapat mengetahui ini dari penyangkalan terhadap semua itu. Dia membedakan oknum Bapak dari oknum Putera: Bapak adalah Tuhan tertinggi yang menciptakan semua hal; Putera Bapak adalah manusia Kristus, yang tentu saja dia sebut Putera Tuhan secara tegas, lantaran mukjizat prokreasinya dari perawan Maria. Bapak, ketika bergabung dengan Putera ini, tidak kehilangan nama atau martabat Bapak; tidak pula dia dijadikan Putera; justru dia tetap, dan akan senantiasa tetap, Bapak; tidak pula dia bisa mengubah nama atau sifat-Nya. Tapi, lantaran Bapak bergabung seintim-intimnya dengan Putera, dan menjadi satu oknum dengannya, maka Bapak, walaupun sifatnya berbeda dari sifat Putera, bisa dipanggil Putera dalam arti tertentu. Dan dengan demikian Noëtus tidak mengucapkan apapun yang lebih absurd daripada yang kita ucapkan ketika berkata, sejalan dengan Injil Suci, Tuhan adalah manusia, manusia adalah Tuhan; Tuhan menjadi manusia, manusia menjadi Tuhan. Dia hanya menerapkan nama Bapak dan Putera, sebagai ganti istilah Tuhan dan manusia. Dan dalil-dalilnya, Bapak adalah Putera dan Bapak menjadi Putera, sepadan dengan dalil-dalil kita, Tuhan adalah manusia, Tuhan menjadi manusia; dan mereka harus dijelaskan dengan cara sebagaimana dalil-dalil kita dijelaskan, yakni sebagai hasil dari apa yang kita namakan persatuan hipostatik. Satu-satunya perbedaan antara dia dan kita adalah bahwa dia memahami Bapak sebagai sifat ilahi utuh, yang dia anggap tak bisa dibagi-bagi; sedangkan kita memaksudkan Tuhan sebagai oknum ilahi yang berbeda dari oknum Bapak. Ide yang dia gabungkan ke kata Putera sama dengan yang kita gabungkan ke kata manusia. Sudah pasti keliru bahwa Noëtus dan semua Patripassian meyakini (yang menurut banyak buku tidak bisa disangkal) bahwa Bapak, Putera dan Roh Kudus hanyalah tiga penamaan untuk oknum yang satu dan itu-itu juga. Menurut pemahaman sekte ini, Bapak adalah nama oknum ilahi atau Tuhan, Putera adalah nama oknum manusiawi atau manusia. Adapun Roh Kudus, bangsa kuno tidak memberitahu kita apa pandangan Noëtus. Tapi dari sangkalannya bahwa Tuhan terbagi ke dalam tiga oknum, tentu jelas dia memandang istilah Roh Kudus bukan sebagai oknum ilahi, tapi sebagai penamaan energi ilahi atau suatu sifat yang berbeda dari Tuhan.
Judul asli | : | The Noëtian Controversy<i=1a2OtYf-UZcfuuhAgeDBRiobe5Kn2OCSC 450KB>The Noëtian Controversy (1753) |
Pengarang | : | Johann Lorenz von Mosheim |
Penerbit | : | Relift Media, Mei 2023 |
Genre | : | Religi |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |