Skip to content
Takhayul Politik Maha Besar – Relift Media

Takhayul Politik Maha Besar Bacaan non-fiksi politik

author _Herbert Spencer_; date _1884_ genre _Politik_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ series_title _Manusia vs Negara_ Kekuasaan tak terbatas atas para warga, yang secara rasional dinisbatkan pada orang berkuasa ketika dia dianggap wakil tuhan, kini dinisbatkan pada badan berkuasa, yang kewakil-tuhanannya tidak ditegaskan oleh siapapun. Takhayul politik maha besar di masa lalu adalah hak ilahi raja-raja. Takhayul politik maha besar di masa kini adalah hak ilahi parlemen. Tak disangka-sangka, minyak pengurapan rupanya telah menetes dari kepala satu orang ke kepala banyak orang, dan memberi kesakralan kepada mereka pula dan kepada dekrit-dekrit mereka. Seberapapun irasionalnya kita menganggap kepercayaan yang pertama, kita harus akui itu lebih konsisten daripada kepercayaan yang kedua. Entah kita kembali ke zaman ketika raja adalah dewa atau ke zaman ketika dia adalah keturunan dewa, ataupun ke zaman ketika dia adalah tunjukan dewa, kita melihat alasan bagus untuk ketaatan pasif kepada kehendaknya. Ketika, sebagaimana di bawah Louis XIV, para teolog semisal Bossuet mengajarkan bahwa raja-raja “adalah dewa-dewa, dan hingga derajat tertentu sama-sama memi­liki independensi Ilahi”, atau ketika dianggap, sebagaimana oleh partai Tory kita sendiri di masa lampau, bahwa “raja adalah utusan langit”; jelas bahwa, berdasarkan premis ini, kesim­pulan tak terelakkannnya adalah tidak ada batasan yang dapat dikenakan pada titah pemerintahan. Tapi untuk keper­cayaan modern, dasar demikian tidak eksis. Tak mengaku keturunan ilahi atau tunjukan ilahi, sebuah badan legislatif tidak bisa menunjukkan justifikasi supranatural untuk klaim-klaimnya atas otoritas tak terbatas; dan tak ada justi­fikasi natural pernah diupayakan. Oleh karena itu, keper­cayaan pada otoritas tak terbatasnya tidak memiliki konsis­tensi yang dulu menjadi ciri kepercayaan pada otoritas tak terbatas seorang raja. Adalah mengherankan betapa lazimnya orang-orang secara fakta terus memegang doktrin-doktrin yang mereka sudah tolak secara nama—mempertahankan substansi usai membuang wujud. Dalam Teologi, ilustrasinya adalah Carlyle. Di masa kuliahnya—menganggap telah meninggalkan kredo bapa-bapanya—dia menolak cangkangnya saja, menyimpan isinya; dan konsepsinya akan dunia, manusia, dan perilaku, membuktikan dia masih termasuk Calvinis Skotlandia paling galak. Demikian pula, Sains menyediakan contoh seseorang yang menyatukan naturalisme dalam Geologi dengan supra­naturalisme dalam Biologi—Sir Charles Lyell. Meskipun dia, selaku pengurai utama teori uniformitarian dalam Geologi, hanya mengabaikan kosmogoni Musa, dia lama membela kepercayaan pada jenis-jenis organik ciptaan istimewa, yang untuk itu tidak ada sumber yang dapat disematkan selain kosmogoni Musa; dan baru di paruh terakhir hidupnya dia menyerah kepada argumen-argumen Tn. Darwin. Dalam Politik, sebagaimana diimplikasikan di atas, kita punya kasus analogis. Doktrin yang ditegaskan secara tak terucap, yang lazim bagi kaum Tory, kaum Whig, dan kaum Radikal, bahwa otoritas pemerintahan adalah tak terbatas, bermula dari zaman ketika pembuat hukum disangka memiliki surat kuasa dari Tuhan; dan [doktrin] itu masih bertahan hidup, meski kepercayaan bahwa pembuat hukum memiliki surat kuasa Tuhan telah mati. “Oh, Undang-undang dari Parlemen bisa berbuat apa saja,” adalah jawaban yang diberikan kepada seorang warga yang mempertanyakan legitimasi campur­tangan Negara yang sewenang-wenang; dan si warga ter­diam tak berdaya. Tak terlintas dalam kepalanya untuk me­nanyakan bagaimananya, dan kapannya, dan darimananya kemahakuasaan yang ditegaskan ini yang dibatasi hanya oleh kemustahilan-kemustahilan fisik. Di sini kita akan mohon izin untuk mempertanyakannya. Oleh sebab tak ada justifikasi, yang dulunya sah secara logis, bahwa—mengingat penguasa di Bumi adalah wakil penguasa di Langit—ketundukan kepadanya dalam semua hal adalah sebuah kewajiban, mari kita bertanya apa alasan yang ada untuk menegaskan kewajiban tunduk dalam semua hal kepada kekuasaan yang memerintah, konstitusional ataupun republikan, yang tidak memiliki supremasi dari Langit. Jelas pertanyaan ini mengikat kita pada kritikan terhadap teori-teori masa lalu dan masa kini mengenai otoritas politik. Menghidupkan kembali pertanyaan-pertanyaan yang diduga sudah lama terjawab, mungkin akan dianggap sama dengan membutuhkan suatu apologi; tapi terdapat cukup apologi dalam implikasi yang dijelaskan di atas, bahwa teori yang diterima secara umum adalah kurang berdasar atau tidak berdasar. Gagasan kedaulatan adalah yang pertama kali tampil; dan pemeriksaan kritis terhadap gagasan ini, sebagaimana yang dipegang oleh mereka yang tidak mengasumsikan asal-usul supranatural kedaulatan, membawa kita kembali ke argumen-argumen Hobbes. Mari kita anggap benar postulat Hobbes bahwa, “pada masa manusia hidup tanpa kekuasaan bersama untuk mem­buat mereka semua tetap hormat, mereka ada dalam kondisi yang dinamakan perang ... setiap orang melawan setiap orang;” meski ini tidak benar, karena ada beberapa masya­rakat kecil tak beradab di mana, tanpa “kekuasaan bersama untuk membuat mereka semua tetap hormat”, manusia memelihara perdamaian dan kerukunan secara lebih baik daripada di masyarakat-masyarakat di mana kekuasaan demikian eksis. Mari anggap dia benar pula dalam berasumsi bahwa kenaikan seorang manusia memerintah di atas manusia-manusia terkait berbuah dari keinginan mereka untuk melestarikan ketertiban di antara mereka; meski nyatanya itu biasanya timbul dari kebutuhan akan peng­abdian kepada seorang pimpinan dalam perang, defensif ataupun ofensif, dan pada mulanya tidak memiliki kaitan wajib, dan seringkali tidak memiliki kaitan sungguhan, dengan pelestarian ketertiban di antara individu-individu tergabung. Sekali lagi, mari kita mengakui asumsi yang tak dapat dipertahankan bahwa untuk melepaskan diri dari keburukan-keburukan konflik kronis, yang bisa-bisa berke­terusan di antara mereka, para anggota sebuah komunitas memasuki sebuah “pakta atau perjanjian”, yang dengannya mereka semua mengikatkan diri untuk menyerahkan kebebasan bertindak yang primitif, dan mengabdikan diri kepada kehendak seorang otokrat yang disepakati; juga menerima implikasi bahwa keturunan mereka selamanya diikat oleh perjanjian yang dibuat leluhur jauh untuk mereka. Mari kita, saya katakan, tidak keberatan dengan data-data ini, tapi beralih ke kesimpulan-kesimpulan yang Hobbes tarik. Dia mengatakan:
“Di mana tidak ada perjanjian yang mendahului, di situ tidak ada hak yang dipindahtangankan, dan setiap orang mempunyak hak atas setiap hal; dan sebagai akibatnya, tidak ada perbuatan yang tidak adil. Tapi ketika sebuah perjanjian dibuat, maka melanggarnya adalah tidak adil; dan definisi KETIDAKADILAN adalah tak lain tidak melaksanakan perjanjian... Oleh karena itu, sebelum nama adil dan tidak adil bisa mempunyai tempat, harus ada suatu kekuasaan pemaksa, untuk memaksa orang-orang sama-sama kepada pelaksanaan perjanjian mereka, melalui teror suatu hukuman, yang lebih besar daripada keuntungan yang mereka harapkan dari melanggar perjanjian.”
Apakah karakter orang-orang di zaman Hobbes memang seburuk itu hingga mendasari asumsinya bahwa tidak ada seorangpun akan melaksanakan perjanjian mereka tanpa hadirnya kekuasaan pemaksa dan ancaman hukuman? Di zaman kita “nama adil dan tidak adil bisa mempunyai tempat” terlepas dari pengakuan akan suatu kekuasaan pemaksa. Di antara teman-teman saya, saya bisa sebutkan beberapa nama yang akan saya percayai secara mutlak untuk melaksanakan perjanjian mereka tanpa “teror hukuman demikian”, dan yang atasnya tuntutan keadilan akan sama imperatifnya dalam absennya kekuasaan pemaksa sebagai­mana dalam hadirnya itu. Namun, jika kita mencatat bahwa asumsi tak berdasar ini melemahkan argumen pembelaan Hobbes untuk otoritas Negara, dan jika kita menerima premisnya maupun kesimpulannya, kita harus meninjau dua implikasi signifikan. Pertama adalah bahwa otoritas Negara sebagaimana diderivasikan secara demikian adalah sebuah sarana menuju sebuah tujuan, dan tidak memiliki keabsahan kecuali sebagai membantu tujuan tersebut; jika tujuannya tidak terbantu, otoritas tersebut, menurut hipotesis ini, tidak eksis. Kedua adalah bahwa tujuan tersebut yang menjadi alasan eksisnya otoritas, sebagaimana diperinci secara demi­kian, adalah penegakan keadilan—pemeliharaan hubungan-hubungan yang adil. Argumentasi ini tidak membuahkan dasar untuk pemaksaan lain atas warga selain yang diperlu­kan untuk mencegah pelanggaran langsung, dan pelang­garan tak langsung yang terbentuk melalui pelanggaran kontrak; jika kita tambahkan perlindungan terhadap musuh-musuh luar pada hal ini, seluruh fungsi yang diimplikasikan oleh penderivasian otoritas berdaulat ala Hobbes terkandung di dalamnya.
Judul asli : The Man versus the State: The Great Political Superstition<i=1Mgt9nnJ9Itt42etTwSjidc4TwZBCpD_K 508KB>The Man versus the State: The Great Political Superstition
Pengarang :
Seri : Manusia vs Negara
Penerbit : Relift Media, November 2021
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Takhayul Politik Maha Besar

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2021)