Aku akan cari isteriku ke seluruh penjuru dunia dan membawanya pulang jika kutemukan dia terpenjara di antara orang-orang yang eksistensinya menjadi kutukan bagi kebanggaanku. Tapi ke mana mesti kuayunkan langkah?
“Bicara soal raib mendadak, hilangnya Hannah dalam kasus Leavenworth bukanlah satu-satunya yang luar biasa menurut pengamatanku. Betul, ada satu kasus lain yang lebih menarik dalam beberapa hal, dan jika kalian mau berjanji tidak menyelidiki nama asli pihak-pihak terkait, karena skandal itu rahasia, akan kuceritakan pengalamanku.”
Sang pembicara adalah Q, detektif belia yang sedang menanjak. Saat itu di antara pasukan kami di biro, dia diakui sebagai orang paling lihai untuk kasus-kasus misterius dan belum pernah terjadi, selain tentu saja Bpk. Gryce; dan pernyataannya selalu membangkitkan keingintahuan kami. Berdiri menuju tungku di mana kami duduk berkeliling menikmati jam istirahat yang begitu diidamkan seorang detektif, kami serta-merta berjanji. Setelah duduk kembali dengan hawa puas seolah punya cerita bagus yang menambah reputasinya, dia memulai:
Suatu Minggu pagi aku mondar-mandir di Polsek ..…, lalu pintu terbuka dan masuklah seorang wanita paruh baya berpenampilan terhormat. Kondisinya yang gelisah langsung menarik perhatianku. Kuhampiri dia dan kutanya apa yang dia inginkan.
“Seorang detektif,” jawabnya, melirik waspada kepada bermacam-macam orang yang tersebar di ruangan. “Aku tak mau mengatakannya, tapi seorang gadis menghilang dari rumah kami tadi malam, dan”—dia berhenti di situ, tampaknya tercekik emosi—“dan aku ingin seseorang mencarinya,” akhirnya dia meneruskan dengan penekanan kuat.
“Seorang gadis? Gadis seperti apa; dan rumah mana yang kau maksud?”
Dia menatapku teliti sebelum menjawab. “Kau masih muda,” katanya, “tak adakah di sini yang lebih berwenang yang bisa kuajak bicara?”
Aku mengangkat bahu dan memberi isyarat ke arah Bpk. Gryce yang sedang lewat. Wanita itu langsung menaruh kepercayaan padanya. Mengajaknya bicara empat mata, dia asyik membisikkan beberapa kata yang tak bisa kudengar. Bpk. Gryce menyimak acuh tak acuh tapi tiba-tiba bergerak, mengindikasikan perhatian kuat dan kaget, meski dari wajahnya—kalian tahu seperti apa wajah Gryce. Yakin dia memperoleh sesuatu yang lebih suka diurusnya sendiri, aku hendak pergi saat Inspektur masuk.
“Mana Gryce?” tanyanya, “beritahu dia, aku mencarinya.”
Bpk. Gryce mendengarnya dan bergegas maju. Sewaktu melewatiku dia berbisik, “Ajak seseorang, ikut dengan wanita ini; selidiki kasusnya, lalu kabari jika kau butuh aku; aku akan di sini selama dua jam.”
Aku tak perlu izin kedua. Memberi isyarat kepada Harris, aku kembali menghampiri wanita itu. “Dari mana asalmu,” kataku, “sepertinya aku akan menemanimu pulang dan menyelidiki kasus ini.”
“Dia bilang begitu?” tanyanya, menunjuk Bpk. Gryce yang kini berdiri membelakangi kami, sibuk berbincang dengan Inspektur.
Aku mengangguk, dia pun langsung melangkah ke arah pintu. “Aku dari Second Avenue No….: rumah Tn. Blake,” bisiknya, melafalkan nama yang begitu dikenal. Aku langsung paham kenapa Bpk. Gryce menunjukkan gelagat tertarik. “Seorang gadis—yang menjahit untuk kami—semalam menghilang dengan cara yang membuat kami khawatir. Dia diculik dari kamarnya—” “Ya,” katanya penuh nafsu, memperhatikan raut keraguanku, “diculik dari kamarnya; dia tak pernah pergi dengan kemauan sendiri; dan dia harus ditemukan meski harus menghabiskan sedikit dolar yang kusimpan di bank untuk hari tuaku.”
Tingkahnya begitu sengit, nadanya begitu mencolok, dan ucapannya begitu berapi-api; aku langsung bertanya apakah gadis itu kerabatnya sampai dia begitu memikirkan penculikannya.
“Tidak,” sahutnya, “bukan kerabat, tapi,” sambungnya, menengok ke segala arah, “teman akrab—seorang—anak didik, kalau kata orang; aku—aku—dia harus ditemukan,” ulangnya lagi.
Kami sudah sampai di jalan raya.
“Ini tak boleh diceritakan,” bisiknya, memegang lenganku. “Aku sudah bilang padanya,” mengangguk ke arah Pos, “dan dia menjanjikan kerahasiaan. Bisa, kan, ini dilakukan tanpa ketahuan siapa-siapa?”
“Apa?” tanyaku.
“Mencari gadis itu.”
“Well,” kataku, “kami bisa pastikan itu setelah tahu beberapa fakta lain. Siapa nama gadis itu dan apa yang membuatmu berpikir dia tidak keluar rumah atas kemauannya sendiri?”
“Ah, ah, semuanya. Dia bukan tipe orang yang berbuat itu; juga pemandangan kamarnya, dan—mereka semua keluar dari jendela,” pekiknya tiba-tiba, “dan pergi lewat gerbang samping menuju Jalan …..”
“Mereka? Siapa yang kau maksud?”
“Ah, siapapun yang membawanya pergi.”
Aku tak mampu menahan “cih!” yang naik ke bibirku. Bpk. Gryce mungkin bisa, tapi aku bukan Gryce.
“Kau tak percaya,” katanya, “dia dibawa pergi?”
“Well, bukan,” kataku, “bukan dalam arti yang kau maksud.”
Dia mengangguk lagi ke pos polisi yang kini sudah satu blok di belakang. “Dia tak menyangsikannya sama sekali.”
Aku tertawa. “Apa kau bilang padanya bahwa kau menduga gadis itu dibawa dengan cara seperti itu?”
“Ya, dan dia bilang, ‘Sangat mungkin.’ Dan dia pantas percaya, sebab aku dengar orang-orang berbicara di kamarnya, dan—”
“Kau dengar orang-orang berbicara di kamarnya—kapan?”
“O, sekitar setengah satu malam. Aku sudah tidur, tapi bisik-bisik mereka membangunkanku.”
“Tunggu,” kataku, “katakan di mana kamarnya dan kamarmu.”
“Kamarnya ada di lantai tiga di belakang, sedangkan kamarku di depan di lantai yang sama.”
“Siapa kau?” kini aku menyelidiki. “Jabatan apa yang kau duduki di rumah Tn. Blake?”
“Aku pengurus rumahtangga.”
Tn. Blake seorang bujangan.
“Dan tadi malam kau terbangun oleh bisikan dari kamar gadis ini.”
“Ya, mulanya kupikir tetangga sebelah—kami sering mendengar kegaduhan mereka—tapi aku segera yakin itu datang dari kamarnya, dan aku keheranan. Dia gadis baik-baik,” katanya, tiba-tiba menatapku dengan mata menyala-nyala, “dia—dia sebaik gadis yang bisa ditunjukkan seluruh kota ini; tidakkah kalian berani, siapapun dari kalian, membayangkan hal lain—”
“Ayolah, ayolah,” kataku menenteramkan, sedikit malu dengan wajahku yang terlalu komunikatif, “aku belum bilang apa-apa, kami akan anggap dia sebaik emas, teruskan.”
Wanita ini menyeka keningnya dengan tangan yang gemetar seperti daun. “Sampai di mana tadi?” ujarnya. “Oh, aku dengar suara-suara dan terkejut, terus aku bangkit dan pergi ke pintunya. Gaduh yang kutimbulkan saat membuka kunci pintuku pasti telah membuatnya kaget, sebab suasana hening sama sekali begitu aku sampai di sana. Aku menunggu sebentar, lalu kuputar gagangnya dan kupanggil dia. Dia tak menjawab. Aku memanggil lagi. Kemudian dia datang ke pintu, tapi tidak membuka kuncinya. ‘Ada apa?’ tanyanya. ‘Oh,’ kataku, ‘rasanya aku dengar obrolan di sini dan aku merasa cemas.’ ‘Pasti dari tetangga,’ balasnya. Aku meminta maaf dan kembali ke kamarku. Tak ada lagi gaduh, tapi ketika kami dobrak kamarnya keesokan pagi dan mendapatinya telah raib, disertai jendela yang terbuka dan tanda-tanda marabahaya dan pertengkaran di mana-mana, aku sadar aku tidak keliru; bahwa ada orang-orang bersamanya pada waktu kudatangi, dan mereka membawanya pergi—”
Kali ini aku tak bisa menahan diri.
“Apa mereka menjatuhkannya dari jendela?” selidikku.
“Oh,” katanya, “kami membangun sambungan, dan ada jenjang ke lantai tiga, lewat situlah mereka membawanya.”
“Benar! Sepertinya dia korban sukarela,” kataku.
Wanita itu mencengkeram lenganku sekuat besi. “Kau tak percaya juga,” megapnya, menghentikanku di jalan. “Kutegaskan, kalau ceritaku benar, dan para maling ini atau apapun mereka betul-betul membawanya pergi, itu penderitaan baginya, itu hal mengerikan yang akan membunuhnya, jika belum. Kau tak paham dengan yang kau bicarakan, kau belum pernah melihatnya—”
“Apa dia cantik?” tanyaku, menyuruhnya cepat-cepat jalan karena lebih dari satu pejalan kaki menoleh ke arah kami. Pertanyaan ini memberinya goncangan.
“Ah, entahlah,” gumamnya, “sebagian mungkin tak menganggap begitu, tapi aku ya; tergantung caramu memandangnya.”
Untuk pertama kalinya aku merasakan getaran waspada dalam nadiku. Ah, aku tak bisa bilang. Nada suaranya ganjil, dan dia berbicara dengan jeli seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu dalam benaknya; tapi tingkahnya memang ganjil sejak awal. Apapun itu yang membangkitkan kecurigaanku, kuputuskan terus mengawasi nyonya ini. Memandang lurus wajahnya, aku bertanya kenapa dia yang melapor kepada pihak berwenang atas raibnya gadis itu.
“Tidakkah Tn. Blake tahu hal ini?”
Sikapnya sedikit berubah. “Ya,” katanya, “aku menceritakannya pada beliau saat sarapan; tapi Tn. Blake tak terlalu memperhatikan para pembantunya; dia menyerahkan segala urusan seperti ini padaku.”
“Kalau begitu dia tak tahu kau mendatangi polisi?”
“Tidak, pak, dan oh, kuharap kau mau rahasiakan ini darinya. Dia tak perlu tahu. Aku akan memasukkanmu lewat belakang. Tn. Blake bukan orang yang suka turut campur, dan—”
“Apa kata Tn. Blake pagi ini saat kau cerita bahwa gadis ini— Ngomong-ngomong, siapa namanya?”
“Emily.”
“Bahwa gadis ini, Emily, menghilang semalam?”
“Tidak banyak, pak. Dia duduk di meja sarapan, sedang membaca koran; dia cuma mendongak, sedikit mengerutkan dahi acuh tak acuh, kemudian berkata bahwa aku harus mengelola urusan pembantu tanpa menyusahkannya.”
“Dan kau tak memperpanjangnya?”
“Ya, pak; Tn. Blake bukan orang yang bisa diajak bicara dua kali.”
Dengan mudah aku percaya ucapan ini, mengingat apa yang kulihat darinya di depan umum; meski tidak tampak kasar, dia punya sifat pendiam yang jika dipelihara pasti membuatnya sulit didekati.
Sekarang kami sudah setengah blok dari mansion kuno yang dianggap oleh keturunan ningrat New York ini sebagai salah satu kediaman paling diidamkan di kota. Setelah memberi isyarat kepada rekanku agar berjaga di lawang pintu dan menunggu sinyal dariku kalau-kalau aku butuh Bpk. Gryce, aku berpaling pada wanita itu, yang kini mondar-mandir gelisah, dan bertanya bagaimana dia akan memasukkanku ke dalam rumah tanpa ketahuan Tn. Blake.
“Oh, pak, kau tinggal ikuti aku naik tangga belakang; dia takkan lihat, kalaupun melihat, dia takkan bertanya.”
Setelah sampai di pintu besmen, dia mengeluarkan kunci dari saku dan memasukkannya ke dalam dudukan, seketika itu juga kami berada di dalam rumah.
Judul asli | : | A Strange Disappearance<i=1E4mOi2Vrxve8Al9ZOx7ywbGJ_SQTfJPi 745KB>A Strange Disappearance (1880) |
Pengarang | : | Anna Katharine Green |
Penerbit | : | Relift Media, Maret 2014 |
Genre | : | Detektif |
Kategori | : | Fiksi, Novel |