Hubungan Amerikanisasi wanita kelahiran luar negeri di dalam rumahtangga mereka dengan semua aspek pengembangan industri-industri kita sangatlah dahsyat, dan akan menjadi semakin jelas sebagai kerja yang kita mesti lakoni.
Kaum perempuan di seluruh pelosok negeri ini telah mulai menyadari fakta bahwa, apapun yang kita rasakan soal tingkat pertahanan pesisir dan tentara permanen yang diperlukan, kita pasti mengakui bahwa sikap pikiran nasional kita sama pentingnya dengan benteng dan kapal selam. Bahwa memiliki
satu bangsa alih-alih
banyak suku sama pentingnya dengan tentara permanen.
Kita mulai menyadari bahwa suku-suku yang hidup berdampingan belum tentu menyusun bangsa, dan bahwa pabrik dan tambang bukanlah satu-satunya atau belum tentu medium terbaik untuk menghasilkan warga. Tertanam dalam benak kita bahwa di dalam kesatuan efisien dan harmonis banyak suku dalam pertahanan umum suatu bangsa, terdapat sekurangnya tiga hal esensial utama: sebuah bahasa bersama dengan tingkat buta huruf minimum; sebuah kewarganegaraan bersama, yang meliputi ideal-ideal, kepercayaan-kepercayaan, standar-standar, dan kebiasaan-kebiasaan serupa, dan dilambangkan oleh sumpah setia kepada Amerika; dan sebuah standar hidup tinggi, yang, di negara demokratis, cenderung mengurangi ketidakpuasan dan ketidaksetiaan di masa genting dan di titik strategis.
Kaum perempuan terorganisir di negeri ini tampaknya menantikan pemajuan apa yang boleh kita sebut gerakan kewarganegaraan baru; membantu gerakan tersebut, kita menemukan jalan tengah yang bisa disepakati sepenuh hati oleh para anggota organisasi-organisasi pertahanan dan para anggota liga-liga perdamaian—perlunya mengangkat standar kewarganegaraan Amerika.
Di negeri ini terdapat 5.439.801 perempuan kelahiran luar negeri berusia 15 tahun ke atas. Ketika mereka tiba bersama keluarga mereka, si suami pergi bekerja dan hampir seketika membangun kontak yang memberinya pandangan akan Amerika. Pikirannya terbuka, dia mulai menguasai lingkungan Amerika-nya. Anak-anak dimasukkan ke sekolah negeri—mereka berteman dengan anak-anak kelahiran Amerika, mereka belajar cara Amerika dan segera menjadi wasit dalam semua urusan keluarga yang akan diputuskan menurut standar Amerika. Mereka, alih-alih orangtua, menjadi pemelihara dan sumber otoritas, dan disiplin keluarga mogok. Si ibu adalah budak semua pekerjaan; dia menjadi latar belakang pudar dunia lama untuk keluarga Amerika-nya—keluarga yang sering menjadi malu akan itu dan akan dia. Dia tidak belajar bahasa Inggris; dia mendapatkan sisa-sisa Amerika dari keluarga progresifnya; dia tidak menjadi ter-Amerikanisasi; dia tidak menyerap ideal-ideal dan ide-ide baru; dia belajar sedikit tentang makanan Amerika dan tentang cara merawat anak-anaknya di iklim yang baru dan sangat beda. Setelah 15 tahun berada di negeri ini, tidaklah aneh mendapati bahasa Inggris dituturkan oleh setiap anggota keluarga kecuali sang ibu, dan pakaian Amerika dikenakan oleh semua kecuali ibu. Bahkan pembedaan dangkal ini menutup banyak pintu baginya. Anak perempuan dewasanya dalam topi yang sangat ter-Amerikanisasi tidak ingin pergi berbelanja dengan ibunya yang masih mengenakan selendang hitam di atas kepalanya. Bukan berarti si ibu begitu jelek, tapi karena, bagi si puteri, kesetiaan kepada selendang hitam lama melambangkan ketidakpahaman ibunya akan dunia baru dan ide-ide baru yang di dalamnya si puteri hidup. Si ibu, sama sekali bukan penolong dalam meng-Amerikanisasi keluarganya, menjadi sebuah kekuatan reaksioner. Dengan sangat disayangkan atau dengan keras kepalanya, tapi selalu dengan jahilnya, dia memerangi setiap potong Amerikanisme yang coba dipaksakan oleh suami dan anak-anaknya ke dalam rumahtangga Eropa Selatan. Tapi ketika si suami lulus tes yang memberinya hak kewarganegaraan, dia menjadi warga penuh juga, begitu pula anak-anaknya—semua dalam kondisi siap kecuali si ibu.
United States Bureau of Education, National Americanization Committee, Bureau of Naturalization, dan organisasi-organisasi lain yang berkepentingan pada imigran—pada penghapusan buta huruf dan pada pengkonversian imigran menjadi warga cukup berpendidikan—berpaling kepada para wanita klub di negeri ini untuk minta bantuan praktis.
Apa yang bisa dilakukan para wanita klub itu terkait kerja pasti untuk mempromosikan Amerikanisasi riil ini, khususnya di kalangan wanita imigran, dapat dinyatakan kira-kira begini: Caritahu berapa banyak wanita imigran yang ada di komunitas. Apakah mereka berbahasa Inggris? Apakah suami mereka berbahasa Inggris? Apakah suami mereka ternaturalisasi? Apakah rumahtangganya Eropa Selatan atau Amerika? Apakah keluarganya berloyalitas Amerika? Apakah keluarga tersebut cukup tahu tentang Amerika untuk loyal kepadanya? Tak diragukan lagi anak-anaknya berbahasa Inggris; tapi apa hakikat sejati Amerikanisme mereka? Apakah mereka mempelajarinya terutama di sekolah dan rumah—atau di simpang jalan dan di ruang biliar? Jangkau wanita imigran. Itu satu-satunya cara untuk menghasilkan rumahtangga Amerika. Pastikan dia belajar bahasa Inggris. Melalui itu dia mendapatkan kontak Amerika pertamanya. Tapi para wanita imigran jarang bisa ikut sekolah malam. Sebagaimana sudah dilakukan di sejumlah tempat, selenggarakan kelas-kelas dari jam dua sampai tiga siang untuk mereka.
Sebagaimana pria-pria imigran berhasil diajari bahasa Inggris hanya ketika pengajaran berurusan dengan topik kehidupan dan pekerjaan sehari-hari mereka, begitu pula metode mengajar bahasa Inggris kepada kaum wanita paling bisa dikaitkan dengan metode pengurusan rumahtangga, memasak, menjahit, dll. Selain itu, banyak standar dan kebiasaan Amerika bisa dibawakan kepada wanita imigran dengan cara ini. Dia bisa betul-betul diinisiasi ke dalam Amerikanisme dan bahasa sekaligus.