“Patriotisme adalah induk perang—dan ia adalah induk perang tak adil. Ia menyebabkan pengabaian total terhadap kewajiban-kewajiban etis yang dibebankan pada sebuah bangsa sebelum mendeklarasikan atau memprovokasi perang, dan dengan begitu ia menghasut kepada kejahatan besar peradaban.”
Kendati patriotisme sudah banyak dibicarakan, diteriakkan, dan ditumpahi darah, yang cukup aneh itu hampir belum dipelajari secara serius. Tidak banyak orang, di hadapan semburan makian yang dilayangkan terhadap siapapun yang mencoba-coba mempertanyakan kebajikan agungnya dan haknya untuk memerintah, memiliki keberanian untuk melakukan—dan membubuhkan nama mereka padanya—pemeriksaan kritis terhadap hakikat dan nilainya. Kebanyakan monografi mengenai subjek ini menjanjikan, di mana mereka bukan retorika pujian belaka. Tentu saja ada pengecualian-pengecualian; tapi beberapa penentang patriotisme (sebagaimana dipahami secara normal) sebagian besar tidak sampai melakukan studi kritis, dan berpuas diri dengan celaan sederhana. Bahkan Tolstoy, yang penolakan totalnya terhadap patriotisme sebagai sebuah keburukan tetap dan hakiki sudah diketahui luas, tampaknya belum masuk jauh ke dalam hakikat subjek ini, tapi menganggap kejahatan-kejahatan besar yang diakibatkan oleh patriotisme saat ini sebagai bukti memadai bahwa apa yang umumnya dipanggil dengan nama tersebut adalah semua yang memungkinkan sebagai sejenis patriotisme.
Oleh karenanya, “Patriotism and Ethics”1, karya John George Godard, yang baru saja diterbitkan di London oleh Grant Richards, memenuhi kebutuhan nyata. Itu salah satu karya yang dilahirkan oleh Perang Afrika Selatan. Tapi itu mengupas perang tersebut hanya secara sambil lalu, untuk tujuan ilustrasi. Itu memeriksa seluruh subjek patriotisme, secara teoritis maupun praktis, dari sudutpandang etika kekinian. Tujuan pengarang tampaknya adalah untuk menghasilkan transformasi opini terkait karakter patriotisme yang selanjutnya akan mencegah terulangnya banyak ketidakadilan yang sebelumnya dilakukan atas nama patriotisme. Dia menyatakan argumennya dengan adil, dan tidak menyalahgambarkan posisi-posisi yang dia kritik. Kupasannya bertenaga, menyeluruh, dan praktisnya mendalam, kecuali bahwa di bab terakhirnya, “The Higher Ideal”, dia tampak gagal mencapai kesimpulan paling hakiki dan paling memuaskan terkait keputusan akhir yang harus dibuat tentang patriotisme.
Sebagai definisi patriotisme, dia menerima “cinta negara” atau “kebanggaan kebangsaan” (bukan istilah-istilah sinonim sama sekali) sebagai paling sederhana dan paling kurang dapat diprotes. Ungkapan lebih sederhana dan lebih benar adalah “ikatan alami dengan negara”. Sentimen itu sendiri sebagai sentiman, menurut pandangannya, tidaklah bajik ataupun jahat, dengan kata lain tidak memiliki karakter moral. Karakternya bergantung sepenuhnya pada cara penggunaannya. Penilaian fundamental ini tidak dia pertahankan di akhir, tapi tampaknya dia mencapai kesimpulan bahwa sentimen tersebut hanya bisa menghasilkan kejahatan, padahal seharusnya dia sudah tahu bahwa sebuah sentimen yang secara intrinsik tidak buruk bisa menjadi dasar untuk kebaikan.
Dalam bab “Patriotism and the Down Grade”, Tn. Godard menunjukkan bagaimana eksklusivitasnya, yang dia anggap “esensi sentimen tersebut”, memulai patriotisme di tingkat bawah. Itu “menegakkan rintangan antara berbagai seksi keluarga besar manusia, dan mendirikan semacam kasta kebangsaan. Jika ditimbang berkenaan dengan dunia secara luas, itu adalah anti-sosial. Itu memperkenalkan faktor diskriminatif, dan karenanya berakibat mengerdilkan simpati.” Asumsi bahwa patriotisme pada dasarnya eksklusif tampak hampir tidak sejalan dengan kemakluman Tn. Godard bahwa “terdapat medan sah untuk itu”, selama orang-orang terus dikelompokkan dalam kebangsaan-kebangsaan. Sebab dalam urusan sosial seperti ini, sesuatu yang pada dasarnya eksklusif tidak mungkin benar.
Eksklusivitasnya, lanjutnya, membawa, dalam tahap pertamanya, kepada kecurigaan yang bersifat internasional. Bangsa-bangsa, sekalipun jujur, tidak mendapatkan pujian atas kejujuran mereka. Kecurigaan berlalu “dengan gradasi menurun dan enteng ke kejijikan dan intoleransi, dan ke kecongkakan dan tipudaya”. “Patriotisme membutakan mata terhadap kelebihan bangsa-bangsa lain dan kekurangan bangsa sendiri, dan karenanya menghilangkan dari perilaku internasional keunggulan-keunggulan yang mengalir dari kritik sehat.” “Hasilnya hanya bisa berupa kemerosotan moral. Intoleransi dan kesombongan tidak kurang tercela pada sebuah bangsa dibanding pada perorangan, dan umumnya lebih jahat.”
Tahap berikutnya yang dicapai dalam perjalanan menurun adalah tahap “kecemburuan dan kedengkian, dan segera tahap kebencian dan pembalasan dendam”. “Barangkali akan sulit untuk menyebutkan kekuatan apapun yang umumnya tidak membenci dengan sepenuh hati sekurangnya satu kekuatan lain, dan mungkin lebih dari satu.” “Api patriotis tak pernah lebih panas daripada saat diumpani kebencian, dan persaudaraan yang diidentikkan dengan patriotisme sebagian besar memiliki karakter barbar yang timbul dari permusuhan bersama.” “Patriotisme tak pernah bisa menerima penolakan, dan ia tak pernah memaafkan luka.” Betapa semua ini berlaku pada patriotisme egois sentimental masa kini yang memerintah dan menggertak di mana-mana! Penulis berpandangan, perang secara etika bisa dijustifikasi ketika dan hanya “ketika itu murni defensif dan ketika itu murni perbaikan” (dalam kasus-kasus seperti ini perang bakal sulit ditemukan seperti jarum dalam jerami). Patriotisme, sebaliknya, “menjustifikasi semua perang, dan menjustifikasinya kepada setiap kombatan”. “Patriotismeku menyatakan tujuan negaraku pantas; patriotisme musuh menyatakan tujuan negaranya pantas. Dan, berhubung patriotisme dianggap sebagai sentimen bajik, medan tempur menampilkan tontonan menakjubkan berupa amoralitas yang berbuat seburuk-buruknya atas nama moralitas!”