Mereka hidup sesuai sudutpandang mereka sekonsisten mayoritas pemilih kelahiran pribumi dari kelas yang sama. Tapi partisipasi mereka dalam urusan publik senantiasa diwarnai afiliasi rasial atau kebangsaan, oleh pandangan asing tentang kehidupan, dan oleh ketidakmampuan untuk memahami bakat sejati bangsa Amerika.
Di tengah bermacam-macam ketidakpastian yang kita alami karena perang, satu fakta tampak menonjol dengan kepastian yang bertambah—bahwa di tengah-tengah kita, dan bahkan memberikan suara dalam kebijakan-kebijakan hidup atau mati kita, sudah bertahun-tahun ada banyak orang yang sebagus-bagusnya memberi kesetiaan terbelah kepada negara ini, dan seburuk-buruknya merupakan partisan suatu negara asing yang setia dan keras. Bukti untuk fakta ini sangat beranekaragam, meliputi penghancuran gudang, dermaga, dan pabrik munisi, pembakaran banyak sekali makanan, pembuatan torpedo yang tak efektif, percobaan peledakan kapal perang, dan penyebaran kuman penyakit ke tengah-tengah anak-anak, tentara, dan sapi. Tujuan seragam dari semua aktivitas ini adalah pengurangan efisiensi perang AS. Indikasi-indikasinya tampak meyakinkan bahwa para pelaku bukanlah mata-mata atau agen khusus Jerman yang dikirim ke sini setelah masuknya kita ke dalam perang atau sebelumnya, melainkan dari antara kandidat untuk lima ribu tiang lampunya1 Tn. Gerard—orang-orang yang telah tinggal di tengah-tengah kita untuk waktu lama, dan telah diterima sebagai bagian dari kita.
Unjuk rasa sejak perang dimulai, dan khususnya sejak AS memasuki perang, tiba-tiba begitu intens sampai-sampai ada bahaya besar terbentuknya kesan bahwa perang menciptakan situasi ini, dan bahwa bahaya tersebut adalah bahaya perang, dan bahwa masalah ini akan terpecahkan dengan sendirinya ketika perang berakhir. Ini sangat merugikan untuk pemahaman yang benar akan situasi ini, dan untuk pemecahan logis atas permasalahan nasional yang akan kita hadapi ketika perang berakhir. Perang tidak menciptakan bahaya dari para anggota badan politik berhati asing, ia hanya menampakkannya. Situasi ini diciptakan oleh kebijakan tradisional kita terhadap orang luar negeri, dan ancaman yang inheren dalam situasi ini sudah ada, dan dicium oleh banyak penstudi cermat urusan politik, jauh sebelum perang terbayangkan. Walaupun saat itu manifestasi-manifestasi bahaya ini kurang spektakuler, bahayanya sendiri tidak kurang bandel, meresap, dan busuk. Ketika Carl Petersen dilantik dengan penuh kemenangan ke dalam jabatan walikota, bukan karena dia seorang Republikan atau seorang Demokrat, bukan karena dia bersikap begini dan begitu dalam persoalan publik penting, tapi karena dia seorang Swedia; ketika Patrick O’Donnell dijadikan sersan detektif, bukan karena dia punya kualifikasi tertinggi di antara semua orang yang tersedia, tapi karena dia anggota loji Irlandia yang sama dengan kepala polisi; ketika Salvini dan Goldberg dan Trcka menerima pengutamaan politik atau kesukaan yudisial karena asal ras mereka atau asal bangsa mereka, esensi bahayanya persis sama dengan ketika Hans Ahlberg mencoba menenggelamkan sebuah kapal kargo Amerika karena muatan gandumnya ditujukan untuk Inggris alih-alih Jerman.
Bahaya yang dimaksud adalah bahaya adanya—di sebuah negara demokrasi—kelompok-kelompok besar pemilih yang digerakkan oleh afiliasi rasial dan kebangsaan yang berbeda dari afiliasi negara di mana mereka tinggal; dengan kata lain, elemen-elemen besar orang luar negeri yang tidak terasimilasi. Pernyataan bahaya ini tidak harus mengimplikasikan inferioritas orang-orang luar negeri, secara mental, fisik, atau moral. Perbedaan tanpa inferioritas adalah berbahaya, perbedaan yang bergandengan dengan inferioritas sudah pasti merusak. Kita tak usah menyatakan kembali bermacam-macam keburukan yang sudah berkembang, dan yang mengancam berkembang, dari imigrasi kualitas jelek yang tidak cukup tercegah oleh tes-tes seleksi kita. Tak diragukan lagi, rata-rata fisik dan mental masyarakat kita, mungkin juga rata-rata moral, sudah jelas-jelas berkurang, dan progres kelas-kelas pekerja ke arah standar hidup agak tinggi sudah tertahan, tapi poin yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa perbedaan itu sendiri berbahaya. Imigran yang masih bersimpati dan berkarakter orang luar negeri memberi pengaruh merugikan terhadap kehidupan bangsa di setiap titik singgung. Mustahil dia berfungsi sebagai unit normal dalam kompleks sosial. Jika melalui naturalisasi dia memperoleh hak untuk berpartisipasi dalam urusan politik, kesempatan untuk merusak jadi berkali lipat. Dia tidak bisa mendekati persoalan publik seolah kesetiaannya seratus persen kepada negara tempatnya tinggal. Fakta-fakta ini terutama diilustrasikan oleh elemen sangat besar yang dikenal sebagai “burung-burung migrasi”. Satu-satunya cara agar keburukan-keburukan ini bisa diatasi adalah melalui asimilasi tulen.
Asimilasi adalah sebuah metamorfosa spiritual. Itu mewujud dalam banyak perubahan pakaian, bahasa, tatakrama, dan perilaku. Tapi tampilan-tampilan luaran ini bukan asimilasi. Seorang asing diasimilasi secara menyeluruh ke dalam sebuah masyarakat baru ketika dia jadi dijiwai total oleh warisan spiritual masyarakat tersebut. Dia harus berhenti berpikir dan merasa dan berimajinasi dengan cara-cara yang ditentukan oleh lingkungan sosial lamanya, dan harus merespon stimulus kontrak sosial dalam semua hal seolah-olah sejak awal dia telah berkembang di bawah pengaruh masyarakat angkatnya. Dan ini tentu saja melibatkan pembuangan total simpati apapun, kasih-sayang apapun, atau loyalitas apapun yang berbeda dari yang dirasakan oleh pribumi rumah barunya terhadap negara asalnya atau kaum negara tersebut. Asimilasi sempurna yang didefinisikan demikian mungkin terasa mustahil untuk imigran dewasa. Ini kenyataan yang hampir universal. Cetakan spiritual lingkungan masa bayi, masa kecil, dan masa muda seseorang jarang bisa dihapus pada masa hidup belakangan. Menyadari ini, orang-orang yang benci untuk mengakui bahwa para imigran kita tidak sedang diasimilasi, bergegas mengubah definisi. Tapi ini tidak membantu perkara, sebab itu tidak mengubah keadaan.
Dalam hal ini, perang sudah memberikan pengabdian nyata kepada negara ini. Kita tidak bisa lagi membutakan diri terhadap fakta bahwa tidak ada persatuan nasional. Profesor William Graham Sumner sering berkomentar bahwa AS tak punya hak yang pantas atas istilah bangsa, lantaran keberadaan orang-orang negro di dalam perbatasannya. Entah definisi “bangsa” yang satu itu diadopsi atau tidak, tak diragukan lagi bahwa homogenitas kebangsaan riil sama sekali tidak ada, dan bahwa negro sama sekali bukan satu-satunya elemen tak selaras. Bahkan, dalam banyak hal, masalah imigrasi lebih dekat dan mengancam daripada masalah negro; sebab masalah negro sedikit-banyak statis, lantaran tidak diperburuk oleh tambahan berketerusan dari luar. Kita tahu apa masalah negro, dan bisa menyatakannya dalam ungkapan yang relatif permanen. Sedangkan masalah imigrasi menghadirkan aspek-aspek yang senantiasa berubah, bukan hanya karena ukuran angkanya yang bertambah, tapi juga karena keanekaragaman elemen-elemennya dan ketidakpastian perkembangannya di masa mendatang.
Salah satu manifestasi mencolok dari pengakuan baru akan situasi berbahaya ini adalah pergantian kedok orang-orang yang menentang pembatasan imigrasi. Jawaban standar terhadap peringatan kaum restriksionis biasanya berupa pernyataan bahwa asimilasi sedang berlangsung dengan kepesatan dan ketuntasan yang sangat memuaskan. Amerika adalah “kuali peleburan” besar bangsa-bangsa, yang darinya akan mengalir—malah betul-betul sedang mengalir—sebuah tipe manusia baru dan lebih baik, bersih dari semua terak dan dross. Sebagai bukti meyakinkan atas klaim ini, semua adaptasi dangkal dengan lingkungan baru yang dijalani oleh imigran dan anak-anaknya diajukan dengan begitu pamer dan bernafsu. Daya asimilasi Rakyat Amerika dinyatakan tak terbatas, dan jika ada rintangan apapun dalam prosesnya, itu semua bisa diperbaiki dengan distribusi. Konstruksi rumit analogi, metafora, dan pseudo-argumen ini tiba-tiba terbongkar sebagai kamuflase lemah! Nona Grace Abbott, pembela terang-terangan imigran, terpaksa mengakui bahwa “kesatuan agama, kesatuan ras, kesatuan cita-cita, tidak eksis di AS. Kita adalah banyak kebangsaaan yang terpencar di satu benua”. Nona Frances Kellor menulis sebuah buku berjudul Straight America, di mana dia mengakui kegagalan asimilasi di masa lalu, dan berpaling pada dinas militer universal sebagai jalan terakhir. Ny. Mary Antin tetap berhati-hati dan bungkam, dan Tn. Isaac A. Hourwich kurang kelihatan di depan umum daripada sebelumnya.
Tapi bahkan para penentang pembatasan tidak mau menyerah pada logika keadaan, dan ketimbang mengakui perlunya pembatasan sungguhan saat ini, memajukan sebuah pengganti baru. Pengganti ini dikenal dengan nama umum “Amerikanisasi”, dan didesakkan kepada kita sebagai obat tepat dan memadai untuk penyakit-penyakit yang tak bisa lagi disangkal oleh siapapun. Esensi gerakan ini adalah bahwa orang-orang yang mengandung ide-ide dan ideal-ideal Amerika sejati—sebuah kelompok yang jarang disebutkan namanya atau dideskripsikan dengan tegas, tapi biasanya disebutkan samar-samar sebagai “kita”—mesti menekuk semua energi mereka ke arah asimilasi populasi asing, dan mesti berusaha, lewat sarana-sarana buatan dan penuh maksud, untuk mengerjakan transmutasi kultural, karena hubungan alami dan nir-sadar imigran terbukti tidak memadai untuk itu. Dan harus diakui dengan terus-terang, banyak dari proposal para “Amerikanisator” pada hakikatnya berfaedah dan layak diadopsi. Ketika diusulkan bahwa populasi asing kita semestinya ditampung, diberi makan, diberi pakaian, dididik, dan dihibur dengan lebih baik, kita semua bangkit menyetujui—asalkan dia melakukan bagiannya ke arah itu; tapi sebagai pertahanan diri, kita harus berbuat lebih dari bagian kita. Ketika kita didesak untuk membantu imigran belajar bahasa Inggris dan mengenali sejarah politik dan pemerintahan bangsa ini, akal sehat kita memberi respon cepat. Kerancuan mencolok dari gerakan ini terdapat dalam asumsi bahwa satu atau semua hal ini, sebaik apapun mereka, merupakan asimilasi, atau akan—dalam perjalanan alami pengerjaannya—menghasilkan asimilasi. Siapa yang akan berusaha menunjukkan bahwa orang-orang kelahiran asing itu, yang dalam tiga setengah tahun terakhir telah sekeji-kejinya melanggar kewajiban mereka kepada negara angkat mereka, umumnya kurang berpendidikan, kurang familiar dengan bahasa Inggris, kurang makmur, atau bahkan kurang mengenal institusi-institusi Amerika, dibanding orang-orang yang tetap loyal dalam hati atau sekurangnya dalam perilaku? Tentu saja, mari mengurangi sebanyak mungkin di tengah-tengah masyarakat kita orang-orang yang tidak bisa membaca dan menulis, yang tidak paham bahasa Inggris, yang memperlakukan wanita mereka menurut kitab undang-undang semi-barbarisme zaman pertengahan, dan yang puas dengan kondisi hidup agak lebih rendah daripada apa yang kita anggap cocok untuk binatang peliharaan. Tapi mari kita tidak menganggap bahwa orang-orang yang telah membebaskan diri dari anomali-anomali ini adalah orang Amerika tulen.