Para pemuja sains umumnya mengakui sebuah maksud nyata dalam apa yang secara kolektif kita namakan Alam. Berhubung sulit untuk membayangkan sebuah maksud tanpa seorang pemaksud, kita bisa lolos dari absurditas pengaitan diri kita dan tempat tinggal kita kepada untung-untungan hanya dengan mengasumsikan eksistensi Tuhan.
Di zaman kuno, berbeda pendapat dari ide-ide teologis yang berlaku umum disambut dengan bukan saja kegeraman popular ekstrim, tapi juga penghukuman paling keras oleh penguasa sipil. Peningkatan inteligensia dan kemajuan peradaban telah benar-benar mengubah keadaan itu, dan kini setiap pasal teologi dan agama dibahas secara bebas, kadang bahkan dengan cara yang tak sopan dan menghina. Namun, kita mempertahankan hak penyelidikan dan pembahasan bebas, mengingat penyalahgunaannya sekali-kali tidak terlalu buruk jika dibandingkan dengan pemberangusannya oleh pemerintah. Mungkin ada gunanya mempertimbangkan apa saja fitur kepercayaan agama yang kemungkinan akan bertahan terhadap kritik memusuhi, dan tetap menjadi fitur permanen agama di masa depan. Aku menganggap fitur-fitur itu adalah lima berikut ini, yaitu: Tuhan, Keabadian, Tugas, Tanggungjawab, Pembalasan.
1.
Tuhan. Para pemuja sains umumnya mengakui sebuah maksud nyata dalam apa yang secara kolektif kita namakan Alam. Berhubung sulit untuk membayangkan sebuah maksud tanpa seorang pemaksud, kita bisa lolos dari absurditas pengaitan diri kita dan tempat tinggal kita kepada untung-untungan hanya dengan mengasumsikan eksistensi Tuhan; dan berhubung para agamawan sependapat dengan para agnostik dalam mengakui kekuatan tertinggi ini sebagai tidak bisa dicaritahu, kita dapat secara rasional mengimani-Nya tanpa memahami-Nya.
2.
Keabadian. Setelah mengasumsikan eksistensi dan tindakan Tuhan, rasanya absurd mengira Dia bakal memberi kapasitas-kapasitas demikian kepada manusia tanpa memberi kesempatan kepada semuanya untuk meluas dan mengembang sebagaimana sudah dilakukan segelintir. Fondasi sebesar dan serumit itu mengimplikasikan superstruktur disengaja. Tampaknya masuk akal, seperti John Fiske katakan, untuk merasakan segenap kepercayaan terhadap kemasukakalan karya Tuhan. Pasti Dia akan memberi kesempatan dalam sebuah status eksistensi lain untuk pengembangan fakulti-fakulti luar biasa dan mengagumkan itu yang, meski termanifestasi secara subur pada minoritas kecil manusia, tetap laten pada mayoritas besar, menyangkut dunia ini. Oleh karenanya, kita akan terus hidup sesudah matinya raga.
3.
Tugas. Kita tidak bisa memahami Tuhan. Tapi karena karya-karya yang (untuk menghindari absurditas) kita harus nisbatkan pada maksud dan tindakan-Nya jauh di luar bayangan kita, dan karena maksud dan tindakan tersebut jelas-jelas baik dalam banyak hal, barangkali aspek alam dan aspek kemanusiaan yang bagi kita tampak tidak baik, tampak demikian karena terbatasnya kekuatan kita dan karena kecilnya porsi waktu yang dijatahkan untuk kita di sini dan jahilnya kita akan maksud-maksud Tuhan di masa depan. Barangkali keseluruhan rencana itu sama hebat dan baiknya dengan bagian-bagiannya yang kini terlihat oleh penglihatan kita yang tak sempurna. Bila demikian, sungguh rasional jika kita menisbatkan kebaikan sempurna (apa yang nabi-nabi Ibrani namakan kebajikan) kepada pencipta eksistensi kita, dan memikul kewajiban moral kita untuk bekerjasama dengan-Nya dengan bersikap baik dan berbuat baik semampu kita. Jika Tuhan memang seperti yang kuduga, kita harus mengakui tugas mengusahakan kerjasama dengan-Nya yang dapat membantu maksud-Nya yaitu memajukan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.