Saat kita membaca tentang Opini Publik di pers (dan kita membaca banyak sekali tentang itu dengan satu dan lain cara), sedikit sulit untuk menyadari, terutama jika penerbit menggunakan huruf kapital, bahwa Opini Publik yang digembar-gemborkan ini sederhananya adalah Kau dan Aku dan Yang Lain.
Di awal aksi mogok yang lalu, koran-koran mengumumkan bahwa Opini Publik dengan tegas menentang dikte oleh minoritas. Menjelang akhir aksi mogok, koran-koran mengatakan Opini Publik sangat mendukung penyelesaian yang tidak membuat kedua pihak merasa kalah. Aku tidak mengeluhkan salah satu dari dua pernyataan ini, tapi aku bertanya-tanya, sebagaimana sering sebelumnya, bagaimana seorang pemimpin-penulis menemukan apa itu Opini Publik.
Saat kita membaca tentang Opini Publik di pers (dan kita membaca banyak sekali tentang itu dengan satu dan lain cara), sedikit sulit untuk menyadari, terutama jika penerbit menggunakan huruf kapital, bahwa Opini Publik yang digembar-gemborkan ini sederhananya adalah Kau dan Aku dan Yang Lain. Nah, karena mustahil siapapun mengakses opini kita semua, dia perlu berpuas diri dengan kurang-lebih setengah lusin sampel. Tapi dari mana dia dapat sampelnya? Mungkin dari klubnya sendiri, yang barangkali terbatas pada orang-orang yang punya kesamaan opini politik dengannya; hampir pasti dari kelasnya sendiri. Opini Publik dalam kasus ini sederhananya adalah apa yang dia pikirkan. Jikapun dia mengambil opini orang-orang asing—pelayan yang melayaninya saat makan siang, penjual tembakau, polisi di simpang jalan—opininya mungkin disiapkan secara khusus untuk konsumsi pribadinya, opini yang diilhami oleh kebijaksanaan, kejemuan, atau bahkan selera humor. Sebagai contoh, jika prosesnya dibalik, dan penjual tembakau bertanya apa pendapatku tentang mogok kerja, aku bakal menggerutu dan pergi dari tokonya; tapi dia keliru jika menisbatkan “kecemberutan masam” pada bangsa.
Pun penyelidik tidak bakal lebih tepat jika dia menilai Opini Publik dari kesaksian matanya ketimbang telinganya. Dengan cara itu, satu wartawan melihat, pada wajah rekan-rekannya dalam bus, “raut tekad keras untuk terus mengerjakan hal ini sampai selesai”. Jika mereka semua memang terlihat begitu, itu pasti pemandangan hebat. Tapi setidaknya mungkin saja raut khas ini adalah raut tekad kuat untuk mendapatkan kursi lebih nyaman di dalam bus yang membawa mereka pulang lagi ke rumah.
Pasti sangat mudah (dan tentu akan sangat menarik) untuk membentuk Opini Publik; aku bakal memprakarsasi sebuah L.F.P.O., atau League for Forming Public Opinion (Liga untuk Membentuk Opini Publik), dan bukan hanya membentuknya, tapi mewujudkannya (setelah terbentuk) ke dalam aksi langsung. Liga demikian, jikapun terbatas pada dua ratus anggota, bisa memberi pengaruh sangat luar biasa melalui aksi terpadunya. Anggap saja kita memutuskan menyerang
profiteering (aksi ambil untung). Kita bakal memilih toko—sebuah toko pembuat barang rajut, katakanlah. Dimulai pada Senin pagi, seorang anggota Liga akan masuk dan meminta ditunjukkan beberapa dasi. Setelah beberapa lama melihat-lihat stok dan memilih sepasang, dia menanyakan harga.