Ketika terdesak dari setiap parit lain, para trinitarian akan selalu bisa mempertahankan diri di atas prinsip yang sama seperti sekarang, dengan menyangkal bahwa trinitas yang mereka predikatkan pada esensi ilahi adalah sesuatu yang positif/tegas, melainkan hanya sebuah pemungkiran terhadap ketunggalan bilangan itu.
Maka, setelah menyelesaikan bagian utama Dalil Umum melalui pembuktian formal kejamakan persona dalam ketuhanan, aku mendesak maju ke pertimbangan bagian akhir, yakni bahwa kejamakan persona yang kita argumenkan adalah trinitas. Argumen pertama yang mendukungnya kuambil dari nalar itu sendiri, yang menanamkan bahwa trinitas saja bilangan sempurna dan sekaligus perlu. Namun, sebelum mengembangkan asal-usul bilangan, tak ada salahnya mempertimbangkan makna samar istilah keesaan/ketunggalan dan membela ungkapan trinitas dalam keesaan atau keesaan dalam trinitas dari tuduhan menjijikkan bahwa itu kontradiksi istilah.
Nah, keesaan memiliki dua arti: yaitu keidentikan atau kesamaan wujud, ketika diterapkan pada substansi; dan singularitas/kekhususan bilangan, ketika diterapkan pada persona-persona atau subsistensi-subsistensi individual. Dalam ungkapan trinitas dalam keesaan atau keesaan dalam trinitas, keesaan dipahami dalam arti pertama. Sebab ketika kita menyatakan bahwa keesaan ketuhanan eksis dalam trinitas persona-persona, atau bahwa trinitas persona-persona subsis dalam keesaan ketuhanan, yang kita maksud bukanlah keesaan persona atau bilangan, yang memang bakal menjadi kontradiksi istilah, melainkan hanya keesaan, ketunggalan, atau kesamaan wujud, yang bertolak belakang dengan keesaan persona, dan karenanya [bertolak belakang] dengan keesaan bilangan, sebab ungkapan-ungkapan ini, sebagaimana tampak jelas bagi orang paling kurang tajam sekalipun, adalah ekuivalen. Oleh karena alasan ini, dan bukan yang lain, dalam mendiskursuskan keesaan ketuhanan, aku lebih suka istilah kesamaan dibanding keesaan, sebab itu sepenuhnya tidak ambigu dan jauh lebih terkalkulasi (lantaran pemakaian dan artinya yang familiar) untuk menjaga maksudku dari disalahpahami dan diselewengkan.
Tapi supaya tidak memperlambat lebih lama lagi pelaksanaan argumen ini, aku akan dengan ringkas menuliskan asal-usul bilangan, yang darinya bobot dan kekuatan argumen akan seketika muncul. Bilangan adalah tunggal atau jamak, adalah pertimbangan sebuah unit individual yang berdiri terpisah atau banyak unit individual yang dianggap kolektif. Tapi tunggal, yang darinya jamak segera terbentuk dan yang ke dalamnya ia selalu terpecah, bisa subsis hanya selama benda itu sendiri dapat dihitung secara terpisah dan dibedakan dari suatu benda lain, entah dari jenisnya sendiri atau jenis berbeda. Namun, benda-benda tidak bisa dipisahkan ataupun dipandang secara individual tanpa suatu tanda pembeda esensial, yang dengan demikian mereka pasti berlainan; ini, berkenaan dengan semua substansi badani, tentu saja merupakan keanekaragaman situasi. Maka, keanekaragaman situasi adalah jelas-jelas asal-usul bilangan bagi mereka; dan, meski kita tak bisa membatasi substansi non-jasmani atau rohani pada situasi, tetap saja, berhubung mereka memang berlainan secara individual seperti halnya makhluk-makhluk jasmani, keanekaragaman pasti merupakan landasan subsistensi bilangan mereka, meski bukan landasan situasi. Tapi keanekaragaman, jenis apapun, niscaya mengimplikasikan tiga personalitas atau subsistensi: ini, itu, dan sesuatu selainnya, yang menyebabkan si ini berbeda dari si itu dan menghancurkan soliditas atau kesamaan wujud mereka. Sesuai dengan doktrin ini, dan berdasarkan prinsip-prinsip yang benar-benar logis dan metafisik, R. Shabtai menampik bahwa [angka] apapun yang kurang dari trinitas merupakan bilangan. חאחד בעצמו אינו מספר כי נדר המספר שלשה שבו זונ ונפרד. “Unit dari dirinya sendiri bukanlah sebuah bilangan, sebab definisi bilangan, atau apa yang benar-benar merupakan bilangan, adalah sebuah trinitas, yang terdiri dari setara dan tak setara, yakni dari dua dan satu.” Jadi trinitas adalah bilangan sempurna dan perlu. Itu sempurna lantaran tidak mengharuskan apapun dipahami untuk mendukung subsistensinya; dan perlu dalam artian bahwa bahkan keesaan sendiri tidak bisa subsis tanpanya.
Bahwa itu mesti terus-menerus dilebihkan daripada setiap jamak lain yang tidak dijumpai dalam keadaan-keadaan tapi dibiarkan ditentukan sesuai diskresi, hal ini dibebankan semata-mata pada kesempurnaan numerisnya. Dengan cara itu nabi Hosea, yang diperintahkan oleh Tuhan untuk memperanakkan anak-anak dari isteri suka zina tapi tanpa ada bilangan apapun yang diperinci, memperanakkan Jezreel, Lo-ruhamah, dan Lo-ammi, tapi tidak lebih, karena bilangannya kini sempurna dan alhasil perintah itu sendiri dipatuhi secara ketat. Jadi, ketika Balaam diajak oleh Balak untuk mengutuk bangsa Israel, upaya itu dilakukan tiga kali, dan sesudahnya itu ditinggalkan sebagai percuma dan sia-sia. Yoas, diperintah untuk menghantam bumi, menghantamnya tiga kali dan kemudian berhenti; sudah sewajarnya menyimpulkan bahwa, berhubung tak ada bilangan tertentu yang ditentukan, trinitas kali pasti cukup. Nabi Elia, ketika berkurban kepada Jehovah di hadapan para pendeta Baal, memerintahkan agar air dituangkan ke kayu tiga kali, sebelum doa. Nabi Yeremia, yang ditugasi untuk mencela serius tanah Israel, menyerunya tiga kali, sebelum mengucapkan nubuat. Nabi yang sama, saat berbantah-bantahan dengan saudara-saudara senegerinya tentang ketidaksalehan perilaku mereka dan memarahi mereka lantaran secara implisit menceritakan kepemilikan mereka atas kuil agar dia meniru pengulangan kata “kuil” yang terlalu sering oleh mereka, mengulang-ulanginya tiga kali, dengan demikian memakai bilangan tertentu sebagai ganti bilangan tak tentu. Nah, mengapa dalam kejadian pertama dan serupa, trinitas mesti dipilih dibanding setiap jamak lain, hal ini belum pernah dijelaskan oleh para penafsir Yahudi berdasarkan prinsip-prinsip umum; bahkan tidak pula berdasarkan prinsip apapun, yang mencukupi untuk penggambaran kasus-kasus paling sederhana. Tapi jika kita akui, yang kupikir sudah cukup dibuktikan, bahwa itu adalah bilangan pertama yang bisa disebut sempurna dengan keketatan yang pantas, bukan saja contoh-contoh tadi, tapi juga ratusan contoh lain sejenis, akan memiliki pemecahan rasional.
Demikianlah argumennya, yang di atasnya aku terutama memancangkan posisi berikutnya. Itu dengan sendirinya mengandung jawaban memadai untuk keberatan yang berulangkali menyerang hipotesis trinitarian, bahwa jika tiga persona dapat subsis dalam ketuhanan, mengapa tidak sepuluh; jawabannya cepat dan pasti, yaitu bahwa yang kesatu (trinitas) adalah bilangan sempurna dan perlu, sedangkan yang satu lagi (sepuluh) bukan. Itu bertentangan keras dengan para pengusung keesaan/ketunggalan persona dengan menunjukkan bahwa ketunggalan persona tiada lain hanyalah ketunggalan bilangan, yang tidak bisa subsis sendirian tapi mensyaratkan subsistensi-subsistensi lain ko-eksis bersama dengannya, sehingga mengharuskan mereka mengakui personalitas jamak ketuhanan atau tegasnya disebut politeisme. Sebab, kecuali jika kita ikut-ikutan dengan filsuf dari Stagira dan menyatakan bahwa materi seusia dengan akal/pikiran, yang berarti politeisme (dalam pengertian harfiah istilah ini), tampaknya kita terpaksa melepas gagasan ketuhanan yang subsis dalam ketunggalan bilangan dan karenanya dalam ketunggalan persona.
Bahkan kaum Yahudi sendiri, mengantisipasi kekuatan argumen ini dan hendak mencegahnya, sudah menampik bahwa ketunggalan yang mereka argumenkan adalah ketunggalan bilangan atau ketunggalan jenis apapun yang bisa dipahami oleh akal.
Judul asli | : | From the Trinity being a perfect and necessary Number<i=1EPaOhOGMU4JV-EV_Hprc4dkXCz4lVwjq 265KB>From the Trinity being a perfect and necessary Number (1815) |
Pengarang | : | John Oxlee |
Penerbit | : | Relift Media, Agustus 2024 |
Genre | : | Religi |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |