Kemajuan orang India dalam sains ini sebagian besar disebabkan oleh sistem notasi mereka yang mengagumkan, yaitu yang disebut sistem notasi Arab, yang tak diragukan lagi didapat oleh orang-orang Arab dari guru-guru Hindu, sebagaimana diakui oleh para narasumber terbaik.
Ada pesona tertentu dalam jarangnya pengetahuan kita tentang bangsa-bangsa tua bumi, yang disebabkan oleh posisi kronologis mereka sebagaimana oleh daya tarik intrinsik perbuatan dan perkataan mereka; dan ketajaman pesona itu berutang tidak sedikit pada kejarangan pengetahuan tersebut.
Kita terus-menerus mendengar bahwa abad ini adalah abad praktis; bahwa kita adalah utilitarian dalam pengertian paling ketat; bahwa tidak ada fakulti romantis tersisa pada kita; bahwa kita mudah mencibir semua pengetahuan yang tidak ada sangkutpaut praktis dan langsung dengan kehidupan dan kepentingan sehari-hari kita semua. Bagaimana bisa kita mempercayai hal ini ketika kita begitu bersemangat mendengar tentang otonomi bangsa Aztec, seraya kurang begitu peduli pada Chile modern, misalnya?
Kita bisa berbicara dengan minat lebih besar tentang Karnac daripada tentang Bogota, dan seorang mumi lebih kita sayangi daripada seorang Mongol. Kita menuntut pikiran kita disugesti kadang-kadang oleh sebuah zaman kebiasaan-kebiasaan tua dan aneh, zaman orang-orang aneh dengan dewa-dewa lebih aneh. Dalam kehidupan kita yang sibuk, rasanya melegakan berpaling kepada si India, yang bisa meluangkan waktu “untuk duduk di bawah pohon dan merenungi kesempurnaan-kesempurnaannya sendiri”, atau kepada si Mesir yang mengembangkan piramida-piramida, dan obelisk-obelisk, dan jalan sphinx-sphinx, karena keluangan waktunya yang tak terhingga.
Selalu ada “orang-orang pengeluh”—yang menganggap waktu sudah basi—yang bakal meratap bersama Sir Thomas Browne bahwa “mumi telah menjadi barang dagangan, Mizraim mengobati luka-luka, dan Firaun dijual untuk balsam”; tapi mereka lupa bahwa abad agung 19 membeli mumi-muminya agar bisa memperhatikan mereka baik-baik, dan bahwa ia mempelajari Batu Rosetta karena daya tarik semata dan bukan untuk menghasilkan uang.
Tapi daya tarik sejati zaman-zaman terdahulu adalah studi cara berpikir mereka. Kita mempelajari apa yang mereka pikirkan untuk menentukan bagaimana mereka memikirkannya. Kita punya rasa penasaran besar dan samar untuk menghubungkan pikiran kita dengan pikiran zaman-zaman lampau. Separuh pesona Darwin, Tylor, Lubbock, dan Wilson adalah karena sebab ini.
Kita kesal mengetahui bahwa, 1600 tahun sebelum era kita, ada seorang penyair yang bernyanyi:
“Seperti sepapan kayu hanyut, Yang terombang-ambing di samudera luas, Dengan papan lain berjumpa, Bertemu—bersentuhan—berpisah lagi; Begitu pula, terombang-ambing, dan hanyut, senantiasa Di laut kehidupan yang resah, Orang-orang bertemu, dan bersapa, dan berputus, Berpisah selamanya.”Ini sudah pasti bukan sajak sebuah kaum primitif; bait-bait ini bukan cadelan sayup bayi-bayi ras kita; tidakkah perlu waktu untuk membiasakan akal India dengan tamsil-tamsil serumit ini? Sajak ini bakal tidak terasa kekanakan andai Tennyson yang menulisnya; itu menarik kesadaran sama dalamnya seperti “Hymn in the Vale of Chamounix” karya Coleridge, dan bahkan bakal dibandingkan dengan “Peter Bell” karangan si penyair agung Distrik Lake. Jika kaum ini begitu tua 3400 tahun lampau, kapan mudanya? Kita mulai percaya, bersama Bailly, akan eksistensi “ce peuple ancien qui nous a tout appris, excepté son nom et son existence”. Maka, akan menarik untuk kita lirik keadaan sains di kalangan para pendahulu kita ini. Tapi mari kita ingat bahwa kita sedang menerapkan uji keras ketika membandingkan progres mereka dengan sains masa kini. Mari kita ingat bahwa baru dalam seratus tahun ini kekembalian komet-komet diprediksikan; bahwa pengetahuan kita tentang susunan matahari didapat sejak 1859; bahwa Newton meninggal baru 147 tahun; dan bahwa Largange dan Laplace hidup dan bekerja di abad kita sendiri. Ketika kita pertimbangkan seperti apa astronomi tanpa ketiga orang besar ini—dengan kata lain, seperti apa astronomi beberapa tahun lalu saja—kita lebih siap untuk mengapresiasi studi-studi yang meletakkan fondasi-fondasi lampau kemenangan mereka. Akan mustahil, dalam batas-batas moderat, untuk menentukan nilai astronomi India, seberapa menarik pun usaha itu, sebab kita bakal langsung memasuki ranah yang dapat diperdebatkan, dan berada di tengah-tengah para narasumber hebat yang berkonflik. Bailly, Delambre, Bentley, Davis, Hunter, Sir William Jones, dan lain-lain, memiliki kepercayaan beragam, seringkali bertentangan. Sebagian partisan kepada ilmuwan-ilmuwan Yunani, sebagian kepada ilmuwan-ilmuwan Arab, yang lain kepada ilmuwan-ilmuwan India dari masa lampau. Tapi, untungnya, beberapa buku manuskrip orisinil bangsa India telah turun kepada kita; di antaranya berbagai risalat lengkap tentang matematika, dan mereka ini otentik dan berusia sangat tua. Persisnya seberapa tua, sulit untuk dipastikan. Bailly, seorang partisan India, menerima taksiran sebesar-besarnya; Delambre, seorang pencela sains India dan penyokong Yunani percaya bahwa risalat terpenting di antara mereka ditulis sekitar 1114 M; sementara penerjemah manuskrip ini, Colebrooke, seorang cendekiawan Sanskerta terkemuka, menetapkan tahun penulisan 1150 M. Risalat ini, “Lílívatí” karya Bháscara Achárya, diduga adalah sebuah kompilasi, dan ada alasan-alasan untuk percaya sebagian darinya ditulis sekitar 628 M. Bagaimanapun keadaannya, itu sangat menarik, dan tahunnya cukup lampau untuk memberikan kepurbakalaan terhormat kepada matematika India.
Judul asli | : | Early Hindoo Mathematics<i=1t0vR9b9d0hRL4HrsAAzIOuM2m837RjQU 318KB>Early Hindoo Mathematics (1873) |
Pengarang | : | Edward Singleton Holden |
Penerbit | : | Relift Media, Juli 2024 |
Genre | : | Sains |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |