Kita memandang literatur keagamaan kita dengan penghormatan mendalam. Tapi kita tidak menganggapnya sebagai sumber tunggal otoritas dalam agama kita. Alkitab adalah fondasi tapi bukan keseluruhan struktur Yudaisme. Alkitab tidak menciptakan Yudaisme; tapi Yudaisme menciptakan Alkitab.
Abstrak
Yudaisme Reformasi melambangkan fase terakhir dalam evolusi pemikiran keagamaan Yahudi. Itu tumbuh dari upaya intelektual pasca-Mendelssohnian untuk mengadaptasi akidah historis Yudaisme dengan kondisi kehidupan Yahudi yang berubah, menyusul Revolusi Prancis. Para pelopornya, Israel Jacobson dkk, terpanggil untuk memerangi kemurtadan di satu sisi dan ortodoksi kaku di sisi lain. Bermula di Jerman, Gerakan Reformasi menyebar ke negara-negara Eropa Barat lain, dan menemukan rumah paling cocok di Amerika yang demokratis. Teologinya, sebagaimana dirumuskan oleh Abraham Geiger dan para pengikutnya, didasarkan pada nalar dan pada studi ilmiah Alkitab, Talmud, dan tradisi Yahudi. Melalui penekanan terbarukannya pada sisi etis kehidupan, Yudaisme Reformasi telah menambah tenaga baru pada agama tua Israel.
Sejarah Yahudi sejak penutupan Alkitab mengalir di tiga kanal utama. Tendensi terdepan kehidupan Yahudi adalah kesetiaan tak diragukan kepada berbagai praktek yang diwariskan oleh generasi-generasi terdahulu, sebuah tendensi yang menghasilkan kitab-kitab hukum yakni Alkitab, Mishna, dan Shulchan Arukh. Akan tetapi, semangat Yahudi tidak terbatasi di dalam kanal legalisme. Di samping hukum, terdapat arus rasionalisme, yang diungkapkan dalam karya-karya filosofis Filo, Saadja, Gabriol, dan khususnya Maimonides. Sisi emosional agama terwujud dalam mistikisme Kabala. Tak satupun dari tiga tendensi ini sama sekali hampa dari sekurangnya sepercik tendensi satu sama lain. Adalah kebanggaan Yudaisme bahwa ia memadukan seruan nalar dan kerinduan hati dengan Mitzwoth atau tugas sehari-hari. Faktanya, ketiga tendensi ini seringkali tidak berdamai dengan satu sama lain. Legalisme kerap melancarkan perang terhadap mistikisme dan rasionalisme; Kabala tak berupaya banyak untuk menyembunyikan ketidaksabarannya terhadap hukum dan pemikiran murni; dan filsafat juga memandang Kabala sebagai uap tipis yang pasti larut di hadapan matahari pencerahan, dan memandang legalisme sebagai sistem kering yang tak bernyawa tanpa stimulus nalar. Yang berada di atas angin dalam Yudaisme adalah para wakil tendensi hukum. Serangan-serangan mereka terhadap semangat rasionalisme merupakan halaman paling gelap dalam sejarah kita. Mereka tidak lebih berhasil dalam menyingkirkan nalar dari agama ketimbang jika mereka mencoba mencongkel otak dari kepala manusia hidup. Terlepas dari pembakaran karya besar Maimonides, ekskomunikasi/pengucilan Spinoza, dan penghukuman Mendelssohn, semangat rasionalisme menegaskan diri kembali dalam Gerakan Reformasi di paruh awal abad 19. Kata “reformasi” mendatangkan bermacam-macam garis pemikiran ke dalam benak orang-orang berbeda. Bagi orang konservatif, yang senantiasa “jengkel terhadap perjuangan sebuah ide baru”, itu terlihat sebagai lonceng kematian tatanan agama, kehidupan sosial, atau politik yang kepadanya mereka dirantai oleh kekuatan kebiasaan. Pria-pria dan wanita-wanita lain, yang berwatak radikal kronis, menyenangi reformasi karena itu memuat tanda kebaruan. Orang-orang normal menolak memandang reformasi sebagai mainan ataupun momok seram, melainkan sebagai kebijakan, yang adakalanya datang sebagai sebuah kebutuhan yang memaksa, kebutuhan untuk mengganti penampilan lama dengan penampilan baru dan lebih menarik, dan kebutuhan untuk mengganti tatanan sosial atau keagamaan sekarat dengan tatanan yang hidup. Tak satupun orang waras mau meruntuhkan sebuah bangunan hanya demi kesenangan penghancuran; pun tak satupun orang berpikiran sehat tidak mau memperbaiki atau membangun kembali rumahnya jika atapnya bolong, dan dinding, pintu, dan jendelanya rusak. Dalam kehidupan sosial dan keagamaan pun, orang-orang, meski berpegang sekuat tenaga pada institusi dan adat-istiadat yang diwariskan, kadang terpaksa merenovasinya untuk menyelamatkannya dari pelapukan. Kondisi seperti ini muncul pada kaum Yahudi di Eropa Barat sekitar seabad lalu, ketika tembok-tembok Ghetto mulai ambruk. Diketahui luas bahwa hampir sepanjang Zaman Pertengahan, kaum Yahudi dipaksa hidup di wilayah terpisah, yang kemudian dikenal sebagai Ghetto. Meski hal ini terjadi di negara-negara Muslim Spanyol dan Turki, tapi di negara-negara Kristen-lah Ghetto menjadi institusi unik. Di Italia, Bohemia, Moravia, Austria, Hongaria, Jerman, dan Polandia, kaum Yahudi secara umum dikarantina seperti penderita kusta di seksi-seksi terpisah di setiap kota. Ghetto-ghetto ini diadakan di masa berbeda-beda dan di bawah kondisi yang bermacam-macam. Mereka dipertahankan bukan hanya karena keinginan pihak Yahudi untuk hidup bersama, sebuah keinginan yang patut dipuji setinggi-tingginya, tapi utamanya karena kebijakan intoleran dan picik gereja untuk memperlakukan semua orang di luar batasnya sebagai makhluk inferior. Selama berabad-abad, Ghetto merupakan “tanah air” orang Yahudi, menawarinya sebuah lingkungan bersahabat di tengah dunia yang memusuhi, sebuah oase sungguhan dengan air mancur yang tertawa dan pepohonan yang berbuah di tengah gurun gersang. Setiap kota besar memiliki Yerusalem kecil semacam itu, di mana orang Yahudi menjalani kehidupannya sendiri, kehidupan Yahudi, yang terlihat semakin mempesona karena atmosfer sakit-sakitan di lingkungan luar sekitar yang berjejalan. Kaum Yahudi diizinkan memiliki pengadilan mereka sendiri dengan yurisdiksi penuh dalam hampir semua kasus, kecuali pidana. Mereka memelihara sekolah dasar dan tinggi, di mana literatur suci mereka menjadi mata pelajaran utama. Tinggal dalam keterasingan, mereka mengembangkan dialek mereka sendiri. Di negara-negara Teuton, bahasa daerah Jerman diwarnai dengan kata-kata dan frasa-frasa Ibrani dan tumbuh menjadi bahasa Yiddish-Jerman. Bahasa ini—secara tak pantas diejek oleh orang-orang jahil sebagai jargon rendah, seolah-olah sebagian besar bahasa-bahasa bukanlah jargon—dilestarikan dengan penuh kasih di kalangan Ashkenazim atau Yahudi Jerman bahkan ketika mereka menetap di Polandia setelah diusir dari negara mereka. Sampai hari ini Yiddish merupakan medium ekspresi lebih dari 7 juta orang Yahudi. Ghetto tidak sepenuhnya dinaungi awan suram. Sering matahari menyinarinya dengan cemerlang penuh. Terang dan bayang berbaur dalam kehidupannya yang banyak sisi. Terlepas dari rintangan besar, yang menuntut pengorbanan hebat, kaum Yahudi dengan riang mematuhi peraturan keagamaan mereka. Jiwa-jiwa mereka tertinggikan ke Pencipta mereka pada hari Sabbath dan hari raya. Muda dan tua berpartisipasi dengan antusias dalam nikmatnya musim dan upacara penuh sukacita. Bahkan terdapat momen-momen dalam kehidupan orang Yahudi Ghetto ketika, dalam kata-kata Heine, dia tidak lagi disihir menjadi anjing, melainkan berdiri tegak sebagai Pangeran Israel, kekasih Tuhan. Moralitas kaum ini sangat tinggi. Berhubung mata seluruh komunitas tertuju pada setiap individu, dorongan untuk hidup benar menjadi kuat. Si pengarang artikel “Ghetto” dalam Jewish Encyclopedia menulis bahwa “para penulis kronik Bohemia abad 16 menamakan Ghetto Praha sebagai ‘taman mawar’, dan menambahkan bahwa ketika gerbang-gerbang Ghetto ditutup pada malam hari, tidak ada satupun wanita di dalam situ yang reputasinya ternodai sedikitpun”. Dalam kebanyakan hal, Ghetto menjadi negara di dalam negara. Hanya saja ia tak memiliki pertahanan politik sebuah negara. Kapan saja, para bigot bisa masuk ke dalam wilayah damai Yahudi ini, dan merusak buah kerja keras Yahudi, dan bahkan mendepak para penghuni dari “tanah air” mereka. Tak heran kaum Yahudi memandang diri mereka sebagai tinggal dalam Galuth, dalam pengasingan, dan berdoa agar lekas kembali ke tanah air historis mereka, di mana mereka akan kembali menikmati berkah-berkah kedamaian, dan menyembah Tuhan dengan bebas. Itu bukan sekadar formula yang orang Yahudi bacakan di akhir doa paginya: “Aku beriman dengan keimanan sempurna pada kedatangan Mesias, dan, meski dia berlambat-lambat, aku akan setiap hari menunggu kedatangannya.” Dengan sabar orang Yahudi menunggu saat di mana Shofar sang Mesias akan berkumandang, mengumumkan kepadanya kabar baik pembebasan dari persekusi dan dari semangat intoleransi. Mata banyak orang kita menjadi kabur, memicing untuk melihat masa depan, dan sering salah mengira andaru (fenomena cahaya) sebagai bintang bersinar, dalam kegelapan yang menyelubungi mereka. Banyak pengaku mesias menemukan pengikut berapi-api di kalangan massa dan dielu-elukan sebagai Penebus suku-suku terpencar Israel yang sudah lama dinantikan. Menjelang pertengahan abad 18, terompet memang berkumandang, tapi itu bukan Shofar sang Mesias. Itu adalah Revolusi Prancis, membunyikan pesan kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan. Bagi orang Yahudi, sama seperti bagi anggota keluarga manusia yang lain, pesan ini membawa kehidupan baru dan harapan baru. Di Jerman, selain di Prancis, semangat liberalisme menemukan pembela-pembela kuat. Di antara mereka ini tempat menonjol diisi oleh penyair dramatis masyhur Lessing, yang memuliakan orang Yahudi di depan dunia, melalui komedi menariknya Die Juden dan mahakaryanya Nathan der Weise. Herder juga harus dipilih dalam kor besar penyanyi-penyanyi yang menggembar-gemborkan menyingsingnya toleransi beragama, yang berpengaruh besar pada kehidupan kaum Yahudi. Signifikansi utuh dari semangat liberalisme dan arah-arah yang ditujunya dapat dilihat dalam kisah hidup Moses Mendelssohn (1729-1786). Lahir di bawah langit gelap, orang kesayangan Tuhan ini pergi ke Berlin untuk mengejar pengetahuan. Di sana dia berteman dengan Lessing dan orang-orang terkemuka lain, dan mendapat pengakuan universal sebagai penulis menonjol di bidang estetika dan filsafat. Sebagai seorang master gaya Jerman dan sebagai seorang Yahudi taat, dia merasakan perlunya menerjemahkan Taurat (Pentateukh) ke dalam bahasa Jerman murni. Efek dari jasa yang nampak mini ini terhadap kehidupan kultural dan religi kaum Yahudi sangatlah luas. Di satu sisi itu mempromosikan studi tatabahasa Ibrani, sebuah subjek yang selama ini diterlantarkan; dan di sisi lain itu membuka pintu literatur Jerman bagi orang-orang yang terkurung dalam tembok Ghetto dan dalam pembelajaran talmud. Meski beberapa pemimpin Ortodoks menyukai terjemahan Mendelssohn, mayoritas rabbi menentang itu sebagai sebuah tindakan revolusi yang bakal menghantam jantung kaum Yahudi. Dibanding lawan-lawan mereka, mereka lebih peka merasakan bahwa dengan penggunaan bahasa Jerman murni sebagai ganti bahasa Yiddish-Jerman, seluruh institusi Ghetto terancam bahaya. Tak punya harapan untuk mendirikan istana, mereka sudah sewajarnya mempertahankan gubuk mereka. Mereka melarang terjemahan Mendelssohn, tapi tentangan mereka ternyata sia-sia. Teman-teman dan para pengikut Mendelssohn mencurahkan diri untuk memodel ulang sistem sekolah Yahudi dan mencerahkan massa. Perihal semua kesusahan yang diderita kaum Yahudi, sebagai akibat dari kejahilan, mereka memandang pencerahan sebagai obat utama. Mereka mendirikan sekolah-sekolah modern di Berlin dan di Breslau, di Seesen, di Frankfort-on-the-Main, dan di Wolfenbütel, di Brody, dan di Tarnopol, di Riga, di Odessa, dan di Warsawa. Mereka menerbitkan majalah-majalah untuk penyebaran ide-ide baru, dan memperluas garis batas Haskalah, atau gerakan pencerahan, hingga ke Rusia-Polandia.
Sejarah Yahudi sejak penutupan Alkitab mengalir di tiga kanal utama. Tendensi terdepan kehidupan Yahudi adalah kesetiaan tak diragukan kepada berbagai praktek yang diwariskan oleh generasi-generasi terdahulu, sebuah tendensi yang menghasilkan kitab-kitab hukum yakni Alkitab, Mishna, dan Shulchan Arukh. Akan tetapi, semangat Yahudi tidak terbatasi di dalam kanal legalisme. Di samping hukum, terdapat arus rasionalisme, yang diungkapkan dalam karya-karya filosofis Filo, Saadja, Gabriol, dan khususnya Maimonides. Sisi emosional agama terwujud dalam mistikisme Kabala. Tak satupun dari tiga tendensi ini sama sekali hampa dari sekurangnya sepercik tendensi satu sama lain. Adalah kebanggaan Yudaisme bahwa ia memadukan seruan nalar dan kerinduan hati dengan Mitzwoth atau tugas sehari-hari. Faktanya, ketiga tendensi ini seringkali tidak berdamai dengan satu sama lain. Legalisme kerap melancarkan perang terhadap mistikisme dan rasionalisme; Kabala tak berupaya banyak untuk menyembunyikan ketidaksabarannya terhadap hukum dan pemikiran murni; dan filsafat juga memandang Kabala sebagai uap tipis yang pasti larut di hadapan matahari pencerahan, dan memandang legalisme sebagai sistem kering yang tak bernyawa tanpa stimulus nalar. Yang berada di atas angin dalam Yudaisme adalah para wakil tendensi hukum. Serangan-serangan mereka terhadap semangat rasionalisme merupakan halaman paling gelap dalam sejarah kita. Mereka tidak lebih berhasil dalam menyingkirkan nalar dari agama ketimbang jika mereka mencoba mencongkel otak dari kepala manusia hidup. Terlepas dari pembakaran karya besar Maimonides, ekskomunikasi/pengucilan Spinoza, dan penghukuman Mendelssohn, semangat rasionalisme menegaskan diri kembali dalam Gerakan Reformasi di paruh awal abad 19. Kata “reformasi” mendatangkan bermacam-macam garis pemikiran ke dalam benak orang-orang berbeda. Bagi orang konservatif, yang senantiasa “jengkel terhadap perjuangan sebuah ide baru”, itu terlihat sebagai lonceng kematian tatanan agama, kehidupan sosial, atau politik yang kepadanya mereka dirantai oleh kekuatan kebiasaan. Pria-pria dan wanita-wanita lain, yang berwatak radikal kronis, menyenangi reformasi karena itu memuat tanda kebaruan. Orang-orang normal menolak memandang reformasi sebagai mainan ataupun momok seram, melainkan sebagai kebijakan, yang adakalanya datang sebagai sebuah kebutuhan yang memaksa, kebutuhan untuk mengganti penampilan lama dengan penampilan baru dan lebih menarik, dan kebutuhan untuk mengganti tatanan sosial atau keagamaan sekarat dengan tatanan yang hidup. Tak satupun orang waras mau meruntuhkan sebuah bangunan hanya demi kesenangan penghancuran; pun tak satupun orang berpikiran sehat tidak mau memperbaiki atau membangun kembali rumahnya jika atapnya bolong, dan dinding, pintu, dan jendelanya rusak. Dalam kehidupan sosial dan keagamaan pun, orang-orang, meski berpegang sekuat tenaga pada institusi dan adat-istiadat yang diwariskan, kadang terpaksa merenovasinya untuk menyelamatkannya dari pelapukan. Kondisi seperti ini muncul pada kaum Yahudi di Eropa Barat sekitar seabad lalu, ketika tembok-tembok Ghetto mulai ambruk. Diketahui luas bahwa hampir sepanjang Zaman Pertengahan, kaum Yahudi dipaksa hidup di wilayah terpisah, yang kemudian dikenal sebagai Ghetto. Meski hal ini terjadi di negara-negara Muslim Spanyol dan Turki, tapi di negara-negara Kristen-lah Ghetto menjadi institusi unik. Di Italia, Bohemia, Moravia, Austria, Hongaria, Jerman, dan Polandia, kaum Yahudi secara umum dikarantina seperti penderita kusta di seksi-seksi terpisah di setiap kota. Ghetto-ghetto ini diadakan di masa berbeda-beda dan di bawah kondisi yang bermacam-macam. Mereka dipertahankan bukan hanya karena keinginan pihak Yahudi untuk hidup bersama, sebuah keinginan yang patut dipuji setinggi-tingginya, tapi utamanya karena kebijakan intoleran dan picik gereja untuk memperlakukan semua orang di luar batasnya sebagai makhluk inferior. Selama berabad-abad, Ghetto merupakan “tanah air” orang Yahudi, menawarinya sebuah lingkungan bersahabat di tengah dunia yang memusuhi, sebuah oase sungguhan dengan air mancur yang tertawa dan pepohonan yang berbuah di tengah gurun gersang. Setiap kota besar memiliki Yerusalem kecil semacam itu, di mana orang Yahudi menjalani kehidupannya sendiri, kehidupan Yahudi, yang terlihat semakin mempesona karena atmosfer sakit-sakitan di lingkungan luar sekitar yang berjejalan. Kaum Yahudi diizinkan memiliki pengadilan mereka sendiri dengan yurisdiksi penuh dalam hampir semua kasus, kecuali pidana. Mereka memelihara sekolah dasar dan tinggi, di mana literatur suci mereka menjadi mata pelajaran utama. Tinggal dalam keterasingan, mereka mengembangkan dialek mereka sendiri. Di negara-negara Teuton, bahasa daerah Jerman diwarnai dengan kata-kata dan frasa-frasa Ibrani dan tumbuh menjadi bahasa Yiddish-Jerman. Bahasa ini—secara tak pantas diejek oleh orang-orang jahil sebagai jargon rendah, seolah-olah sebagian besar bahasa-bahasa bukanlah jargon—dilestarikan dengan penuh kasih di kalangan Ashkenazim atau Yahudi Jerman bahkan ketika mereka menetap di Polandia setelah diusir dari negara mereka. Sampai hari ini Yiddish merupakan medium ekspresi lebih dari 7 juta orang Yahudi. Ghetto tidak sepenuhnya dinaungi awan suram. Sering matahari menyinarinya dengan cemerlang penuh. Terang dan bayang berbaur dalam kehidupannya yang banyak sisi. Terlepas dari rintangan besar, yang menuntut pengorbanan hebat, kaum Yahudi dengan riang mematuhi peraturan keagamaan mereka. Jiwa-jiwa mereka tertinggikan ke Pencipta mereka pada hari Sabbath dan hari raya. Muda dan tua berpartisipasi dengan antusias dalam nikmatnya musim dan upacara penuh sukacita. Bahkan terdapat momen-momen dalam kehidupan orang Yahudi Ghetto ketika, dalam kata-kata Heine, dia tidak lagi disihir menjadi anjing, melainkan berdiri tegak sebagai Pangeran Israel, kekasih Tuhan. Moralitas kaum ini sangat tinggi. Berhubung mata seluruh komunitas tertuju pada setiap individu, dorongan untuk hidup benar menjadi kuat. Si pengarang artikel “Ghetto” dalam Jewish Encyclopedia menulis bahwa “para penulis kronik Bohemia abad 16 menamakan Ghetto Praha sebagai ‘taman mawar’, dan menambahkan bahwa ketika gerbang-gerbang Ghetto ditutup pada malam hari, tidak ada satupun wanita di dalam situ yang reputasinya ternodai sedikitpun”. Dalam kebanyakan hal, Ghetto menjadi negara di dalam negara. Hanya saja ia tak memiliki pertahanan politik sebuah negara. Kapan saja, para bigot bisa masuk ke dalam wilayah damai Yahudi ini, dan merusak buah kerja keras Yahudi, dan bahkan mendepak para penghuni dari “tanah air” mereka. Tak heran kaum Yahudi memandang diri mereka sebagai tinggal dalam Galuth, dalam pengasingan, dan berdoa agar lekas kembali ke tanah air historis mereka, di mana mereka akan kembali menikmati berkah-berkah kedamaian, dan menyembah Tuhan dengan bebas. Itu bukan sekadar formula yang orang Yahudi bacakan di akhir doa paginya: “Aku beriman dengan keimanan sempurna pada kedatangan Mesias, dan, meski dia berlambat-lambat, aku akan setiap hari menunggu kedatangannya.” Dengan sabar orang Yahudi menunggu saat di mana Shofar sang Mesias akan berkumandang, mengumumkan kepadanya kabar baik pembebasan dari persekusi dan dari semangat intoleransi. Mata banyak orang kita menjadi kabur, memicing untuk melihat masa depan, dan sering salah mengira andaru (fenomena cahaya) sebagai bintang bersinar, dalam kegelapan yang menyelubungi mereka. Banyak pengaku mesias menemukan pengikut berapi-api di kalangan massa dan dielu-elukan sebagai Penebus suku-suku terpencar Israel yang sudah lama dinantikan. Menjelang pertengahan abad 18, terompet memang berkumandang, tapi itu bukan Shofar sang Mesias. Itu adalah Revolusi Prancis, membunyikan pesan kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan. Bagi orang Yahudi, sama seperti bagi anggota keluarga manusia yang lain, pesan ini membawa kehidupan baru dan harapan baru. Di Jerman, selain di Prancis, semangat liberalisme menemukan pembela-pembela kuat. Di antara mereka ini tempat menonjol diisi oleh penyair dramatis masyhur Lessing, yang memuliakan orang Yahudi di depan dunia, melalui komedi menariknya Die Juden dan mahakaryanya Nathan der Weise. Herder juga harus dipilih dalam kor besar penyanyi-penyanyi yang menggembar-gemborkan menyingsingnya toleransi beragama, yang berpengaruh besar pada kehidupan kaum Yahudi. Signifikansi utuh dari semangat liberalisme dan arah-arah yang ditujunya dapat dilihat dalam kisah hidup Moses Mendelssohn (1729-1786). Lahir di bawah langit gelap, orang kesayangan Tuhan ini pergi ke Berlin untuk mengejar pengetahuan. Di sana dia berteman dengan Lessing dan orang-orang terkemuka lain, dan mendapat pengakuan universal sebagai penulis menonjol di bidang estetika dan filsafat. Sebagai seorang master gaya Jerman dan sebagai seorang Yahudi taat, dia merasakan perlunya menerjemahkan Taurat (Pentateukh) ke dalam bahasa Jerman murni. Efek dari jasa yang nampak mini ini terhadap kehidupan kultural dan religi kaum Yahudi sangatlah luas. Di satu sisi itu mempromosikan studi tatabahasa Ibrani, sebuah subjek yang selama ini diterlantarkan; dan di sisi lain itu membuka pintu literatur Jerman bagi orang-orang yang terkurung dalam tembok Ghetto dan dalam pembelajaran talmud. Meski beberapa pemimpin Ortodoks menyukai terjemahan Mendelssohn, mayoritas rabbi menentang itu sebagai sebuah tindakan revolusi yang bakal menghantam jantung kaum Yahudi. Dibanding lawan-lawan mereka, mereka lebih peka merasakan bahwa dengan penggunaan bahasa Jerman murni sebagai ganti bahasa Yiddish-Jerman, seluruh institusi Ghetto terancam bahaya. Tak punya harapan untuk mendirikan istana, mereka sudah sewajarnya mempertahankan gubuk mereka. Mereka melarang terjemahan Mendelssohn, tapi tentangan mereka ternyata sia-sia. Teman-teman dan para pengikut Mendelssohn mencurahkan diri untuk memodel ulang sistem sekolah Yahudi dan mencerahkan massa. Perihal semua kesusahan yang diderita kaum Yahudi, sebagai akibat dari kejahilan, mereka memandang pencerahan sebagai obat utama. Mereka mendirikan sekolah-sekolah modern di Berlin dan di Breslau, di Seesen, di Frankfort-on-the-Main, dan di Wolfenbütel, di Brody, dan di Tarnopol, di Riga, di Odessa, dan di Warsawa. Mereka menerbitkan majalah-majalah untuk penyebaran ide-ide baru, dan memperluas garis batas Haskalah, atau gerakan pencerahan, hingga ke Rusia-Polandia.
Judul asli | : | The Mission of Reform Judaism<i=1acL8Irbt5A5TD1nDo8hKBbzUUlxAerod 419KB>The Mission of Reform Judaism (1922) |
Pengarang | : | Samuel S. Cohon |
Penerbit | : | Relift Media, Januari 2024 |
Genre | : | Religi |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |