Skip to content
Islam Sebagai Pengembalian: Bentuk Monoteisme Terburuk dan Penghambat Peradaban – Relift Media

Islam Sebagai Pengembalian: Bentuk Monoteisme Terburuk dan Penghambat Peradaban Bacaan non-fiksi religi

author _James Freeman Clarke_; date _1871_ genre _Religi_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ Muhammad mengajarkan Tuhan di atas kita; Musa mengajarkan Tuhan di atas kita dan sekaligus bersama kita; Yesus mengajarkan Tuhan di atas kita, Tuhan bersama kita, dan Tuhan di dalam kita. Menurut pandangan ini, Islam adalah sebuah relaps. Ia kembali ke level rendah. Menurut pandangan ini, yang tentu saja tepat, mo­noteisme Muhammad adalah monoteisme yang menghasilkan kehendak murni dari Tuhan; dengan kata lain yang membesar-besarkan kepribadian (sebab kepribadian terdapat dalam kehendak), sehingga Yang Ilahi menjadi Kehendak Bebas Tak Terhingga, atau Aku Tak Terhingga. Tapi kehendak yang dipisahkan dari nalar dan kasih adalah kesengajaan, atau kehendak sembarang murni. Nah, monoteisme Yahudi berbeda dari ini, dalam arti ia mengkombinasikan ide kepantasan dengan ide kehendak. Tuhan tak hanya melakukan apa yang Dia pilih, tapi Dia memilih melakukan hanya apa yang benar. Kebenaran adalah atribut Tuhan, yang memenuhi kitab-kitab Yahudi. Tetap saja, kedua sistem ini (Islam dan Yahudi) mening­galkan Tuhan di luar dunia; di atas semuanya sebagai Pen­cipta dan Pengaturnya, di atas semuanya sebagai Hakimnya; tapi bukan menembus semuanya dan di dalam semuanya. Ide Kasih Tak Terhingga harus ditambahkan dan dijadikan ter­tinggi dalam rangka memberi kita sebuah Entitas yang tak hanya di atas semuanya, tapi juga menembus semuanya dan di dalam semuanya. Inilah monoteisme Kristen. Muhammad mengajarkan bukan hanya keesaan tapi juga spiritualitas Tuhan, tapi ide Keesaan tuhannya adalah keesa­an numeris, bukan keesaan moral sehingga ide spiritualitas tuhannya adalah ide spiritualitas abstrak—Tuhan yang di­abstraksikan/dipisahkan dari materi, sehingga tidak boleh dilambangkan dengan gambar dan patung; Tuhan yang dica­but dari dunia, dan di atas semuanya—dalam keterpisahan total. Yudaisme juga menentang pemberhalaan dan penyem­bahan berhala, dan mengajarkan bahwa Tuhan ada di atas semuanya dan merupakan pencipta dunia; tapi Yudaisme mengkonsepsikan Tuhan sebagai bersama manusia, dengan berulangkali turun secara ajaib dalam nabi-nabi, hakim-hakim, raja-raja; juga bersama kaum-Nya, kaum Yahudi, hadir secara gaib di tabernakel dan kuil mereka. Dengan demikian, spiritualitas mereka tidak seabstrak spiritualitas Muslim. Tapi Kristen, begitu ia menjadi agama ras non-Semitik, begitu ia mengkonversi bangsa Yunani dan bangsa Romawi, tak hanya menanamkan kepada mereka monoteismenya, tapi menerima dari mereka tendensi panteisme yang kuat. Me­reka menambahkan [konsep] Tuhan “di dalam kita semua” kepada [konsep] Tuhan “di atas semuanya” dan [konsep] Tuhan “bersama semuanya”. Benar, ini juga akan dijumpai dalam Kristen asli yang lahir dari kehidupan Yesus. Perjan­jian Baru dipenuhi dengan panteisme jenis ini—Tuhan di dalam manusia, selain Tuhan bersama manusia. Yesus me­ngambil langkah maju dari Tuhan bersama manusia menuju Tuhan di dalam manusia, “Aku di dalam mereka, Engkau di dalamku.” Doktrin Roh Kudus merupakan ide ini, ide Tuhan yang tak hanya berupa kehendak dan kekuatan, tak hanya berupa kebijaksanaan dan hukum, tapi juga berupa kasih; Tuhan yang menginginkan komuni dan hubungan dengan anak-anak-Nya, sehingga Dia turun dan berdiam di dalam mereka. Muhammad mengajarkan Tuhan di atas kita; Musa mengajarkan Tuhan di atas kita dan sekaligus bersama kita; Yesus mengajarkan Tuhan di atas kita, Tuhan bersama kita, dan Tuhan di dalam kita. Menurut pandangan ini, Islam adalah sebuah relaps. Ia kembali ke level rendah. Ia kembali dari ide yang kompleks ke ide yang sederhana. Tapi yang kompleks lebih tinggi daripada yang sederhana. Benih bibit, dan sel benih, yang darinya kehidupan organik muncul, adalah lebih rendah daripada organisasi-organisasi yang dikembangkan darinya. Moluska lebih kompleks dan karenanya lebih tinggi daripada Radiata; Vertebrata lebih kompleks daripada Moluska. Manusia adalah yang paling kompleks di antara semuanya, dalam hal jiwa maupun raga. Ide Tuhan yang kompleks, yang meliputi kehendak, pikiran, dan kasih, dalam kesatuan sempurna, adalah lebih tinggi daripada kesatuan kehendak simplistik yang Muhammad ajarkan. Tapi yang lebih tinggi semestinya muncul dari dan menaklukkan yang lebih rendah. Lantas bagaimana Islam muncul dari Kristen dan Yudaisme? Penjelasannya akan ditemukan dalam hukum reaksi dan relaps. Reaksi kembali ke dasar lebih rendah, untuk memu­ngut sesuatu yang terjatuh, terlupakan, tertinggal, dalam progresi manusia. Syarat progresi adalah bahwa tak boleh ada yang hilang. Kebenaran lebih rendah harus dilestarikan dalam kebenaran lebih tinggi; kehidupan lebih rendah diambil ke dalam kehidupan lebih tinggi. Nah, Kristen, dalam melangkah maju, telah menerima dari ras-ras Indo-Jermanik pengertian Tuhan di alam, selain Tuhan di atas alam, yang merupakan [ide] bawaan lahir ras-ras tersebut. Kristen mengambil agama alam ke dalam monoteisme. Tapi dalam mengambilnya, Kristen beranjak begitu jauh hingga kehi­langan sedikit keesaan hakiki Tuhan. Doktrin Trinitas-nya, setidaknya dalam bentuk-bentuk Timur-nya, kehilangan monoteisme personal Yudaisme yang murni. Tentu saja doktrin Trinitas mengandung kebenaran agung, tapi itu telah dibawa terlalu jauh. Jadi Islam datang, sebagai sebuah protes terhadap tendensi kemajemukan/pluralitas ketuhanan ini, sebagai tuntutan akan Tuhan personal murni. Ia adalah Uni­tarianisme Timur. Ia adalah penegasan baru akan keesaan sederhana Tuhan, melawan politeisme dan melawan pem­berhalaan. Kelebihan dan kekurangan, kebaikan dan keburukan, dari Islam dapat ditemukan dalam ini, ide sentralnya menyangkut Tuhan. Ia mengajarkan ketundukan, ketaatan, kesabaran; tapi ia memupuk individualisme disengaja. Ia menjadikan kehidupan sosial lebih rendah. Pemerintahannya bukan pemerintahan. Kebajikannya stoik. Ia menjadikan kehidupan gersang dan hampa. Ia mendorong kebanggaan dan kekeja­man buas. Ia menjadikan manusia tiran atau budak, menjadi­kan wanita wayang, menjadikan agama ketundukan pada despotisme tak terhingga. Saatnya ia berakhir. Pekerjaannya sudah selesai. Ia keyakinan keras, dingin, kejam, kosong, yang mesti memberi jalan pada bentuk-bentuk lebih murni sebuah peradaban lebih tinggi.
Judul asli : Mohammedanism a Relapse; the worst Form of Monotheism, and a retarding Element in Civilization<i=1kn1yNPfoMSJ0jDbppI9RNq-otrtiVktT 538KB>Mohammedanism a Relapse; the worst Form of Monotheism, and a retarding Element in Civilization
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, November 2023
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Islam Sebagai Pengembalian: Bentuk Monoteisme Terburuk dan Penghambat Peradaban

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2023)