Sementara matanya mulai terbiasa dengan kegelapan, dan tertolong oleh olokan cahaya yang berhasil dimasukkan oleh malam berawan tanpa bulan ke dalam jendela jauh, tuan dari Amerika bisa menangkap sesosok wujud di kaki ranjang. Dia hanya bisa melihat paruh atasnya.
Menjelang jam 12 malam di bulan November beberapa tahun lalu, tiga orang pria dalam penerangan lilin menaiki tangga agung sebuah rumah di Grosvenor Square, yang menghiasi distrik hunian London yang dikenal dengan nama kuno dan indah itu, Mayfair. Mansion ini, meski rapi dan rinci dalam setiap detil—namun sesuai dengan citarasa irit—memiliki atmosfer asam dan peka, seperti rumah yang sudah lama tak dihuni kecuali oleh pengurus.
Yang kesatu dari mereka—mereka naik satu-satu—mengangkat tinggi kandil dapur, sementara rekan-rekannya melangkah sebaik mungkin di antara bayang-bayang masam yang dipantulkan pada tangga ék oleh cahaya cacat. Dia yang paling belakang, yang termuda di antara ketiganya, berkata riang: “Burung tua jahat, dasar bibiku! Memutus lampu listrik hanya karena sedang pergi.”
Si pemimpin, yang wajahnya tersingkap cahaya lilin sebagai kurus nyaris asketis, wajah pucat letih yang dicetak halus tapi teksturnya dikotori foya-foya pria modis, berpuas diri dengan permintaan singkat padat kepada teman mudanya untuk tak bicara terlalu keras.
Namun, tuan di tengah-tengahlah yang ada manfaatnya untuk pembaca pertimbangkan. Dia ini pria amat jangkung dan berbadan kuat; tapi bukan perawakannya, melainkan pembawaan tenangnya, yang luar biasa. Pakaiannya, dikenakan pula oleh rekan-rekannya dan termasuk jenis pakaian menengah pria yang dikenal sebagai “jas makan malam”, “le smoking”, atau “Tuksedo”, menempel pada badan besarnya dengan kesan kokoh atau tegas; pandangan sepintas saja kepada rekan-rekannya akan menunjukkan kesan ini dicela oleh para penjahit Inggris, yang punya formula kaku: keeleganan kasual adalah satu-satunya keeleganan yang mungkin untuk tuan-tuan berkedudukan. Wajahnya memiliki raut tampan tapi berhasrat dan tak penat itu, kepunyaan banyak orang Amerika yang patut diirikan, dan, untuk alasan-alasan yang tak terlalu jelas, kadang dikenal sebagai Keanggunan. Namun, bukan berarti raut berhasrat dan tak penat ini, sebagaimana sebagian orang kira, adalah tanda lahiriah tiadanya minat pada foya-foya tapi justru tanda rasa penasaran antusias dan naif terkait anekaragam foya-foya. Tuan dari Amerika ini tampak, singkatnya, sebagai pria layak, dan, dalam usia awal 30-annya, telah membentuk sebuah filosofi yang dua tiangnya adalah kenyamanannya dan ketenangannya dalam menopangnya; persepsi entengnya terhadap omong-kosong sebagai poros, dan ketidakgentarannya sebagai garis lintang dan garis bujur.
Pada pendaratan kedua, sang pemimpin, yang bernama Sir Charles Hillier dan tampak nyaris tak tertahankan letihnya oleh martabat sebuah baronetsi kuno, membuka sebuah pintu. Dia tidak berlalu ke dalam ruangan itu, tapi mengulurkan kandil kepada si tuan dari Amerika. Sebutir mutiara hitam menodai dada kemeja lembutnya, dan sikapnya begitu dingin hingga hampir kasar; itu adalah kesalahan pengasuhan saat bosan, kesalahan yang terutama mengesalkan bagi tuan-tuan dari Amerika, dan sudah sewajarnya.
“Syarat taruhan,” kata Sir Charles Hillier dalam suara letih menarik, “adalah lilin ini harus mencukupimu untuk malam ini. Mengerti?”
“Tentu—kenapa tidak?” senyum si tuan dari Amerika.
“Selanjutnya,” sambung suara letih, dingin, enak, “kau tak diberi korek api, dan karenanya tak bisa menyalakan kembali lilinnya saat padam. Jika kau bisa melewati malam di kamar itu, aku dan Anderson membayarmu lima ratus dolar. Dan sebaliknya.”
“Sudah pasti, Hillier. Kita sudah paham semua itu.” Dan si tuan dari Amerika mengambil lilin dari tangan Hiller dan menengok ke dalam kamar, tapi dengan minat seredup-redupnya. Dalam penerangan cacat itu tak banyak yang bisa dilihat selain panel ék, gantungan-gantungan berat di sekitar ranjang besar, dan gravir baja seorang duelis Meissonier yang menyerang mereka dari dinding dekat.
“Jarang,” katanya, “aku melihat sebuah kamar yang kurang berhantu seperti ini.”
“Ah,” kata Sir Charles Hillier samar.
“Tapi,” kata tuan dari Amerika, “karena kau dan Kerr-Anderson bersikeras menghadiahiku lima ratus pound untuk melewati malam di dalamnya, apakah aku mengeluh? Tidak tuan!”
“Bawa pistolmu?” selidik pemuda Kerr-Anderson, seorang anak muda tembem yang profesinya adalah makan malam di luar.
“Tentu,” kata tuan dari Amerika.
Hillier berkata: “Well, Puce, aku tak keberatan bilang padamu, kalau saja urusan konyol ini selesai dari awal. Aku sudah bertaruh seumur hidupku, tapi aku selalu lebih suka taruhan yang tidak mengincar hidup atau mati seseorang—”
“Kau tak bisa menakutiku dengan sampah itu, Hillier,” bentak Tn. Puce, dan jelas sekali Tn. Puce tidak suka Sir Charles Hillier, sebab Tn. Puce penuh “api”, sementara Sir Charles selalu sangat letih dan selalu hampir tak terhibur.
“Bibiku,” kata pemuda Kerr-Anderson, “akan sangat kesal jika terjadi sesuatu dan dia sampai mendengarnya. Dia benci mayat di rumahnya lebih dari apapun yang kutahu. Kau yakin akan melanjutkan, Puce?”
“Yakin? Walah, jika Abraham Lincoln datang detik ini dan bilang Ratu Anne mati, aku akan sama yakinnya dia berkata benar sebagaimana aku yakin akan menghabiskan malam ini di kamar tua berhantu milik bibimu ini. Ya tuan! Dan sekarang selamat malam, anak-anak. Berundinglah untuk menulis cek untuk Howard Puce.”
“Aku suka orang Amerika,” kata Sir Charles Hillier samar. “Mereka begitu antusias. Selamat malam, Puce, dan semoga Tuhan memberkatimu. Kuharap kau lebih beruntung daripada orang terakhir yang menghabiskan malam di kamar itu. Dia tercekik. Ayo, Anderson. Kita bisa temukan jalan keluar kita dengan korek api. Ngomong-ngomong, Puce, jangan letuskan pistolmu itu kecuali terpaksa. Di rumah sebelah, Johnny Paramour sedang terbaring sakit parah karena racun ptomaine, yang dia dapat dari gigitan seorang hantu saat mengintip lubang kunci kamar tidur seorang wanita untuk mencaritahu apa dia memakai kaki kayu. Selamat malam, teman.”
Tuan dari Amerika, seorang diri di kamar berhantu, tak kehilangan sikap tenangnya sedikitpun. Bahkan jika ada yang mengganggunya sama sekali, itu adalah dibuat jengkel oleh sikap Hiller di sebuah pesta makan malam beberapa malam sebelumnya; tahu Hiller pemboros bangkrut, dia biarkan dirinya ditantang ke dalam petualangan konyol ini dan dengan begitu kehilangan satu malam sarat fasilitas di suitenya di Claridge’s Hotel. Sebab lima ratus pound tidak berarti banyak bagi Tn. Howard Puce Junior—meski rasanya terhibur mengetahui bahwa lima ratus pound pasti berarti cukup banyak bagi Sir Charles Hillier, terlepas dari lagaknya. Tn. Puce memuaskan diri dengan memeriksa sepintas lalu kamar besar suram itu; dia mengetuk secara amatiran panel-panel ék di sana-sini kalau-kalau ada tanda “sampah lorong rahasia”, tapi hanya berhasil mengotori buku jarinya; dan baru ketika menjatuhkan diri ke ranjang besar dalam pakaian lengkap, terbersit dalam kepalanya bahwa lima ratus pound sterling adalah angka yang sangat besar untuk dipertaruhkan untuk sebuah kamar berhantu konyol. Kesimpulan yang sudah sewajarnya lompat ke dalam benak seseorang, pikir Tn. Puce, adalah pasti ada yang tak beres dengan kamar ini; kalau tidak, apakah seorang elang seperti Hillier bakal mempertaruhkan uang pada kualitas-kualitas terornya? Tn. Puce sebetulnya sudah mengusulkan, ketika pertama kali taruhan diajukan, bahwa lima ratus pound mungkin terlalu banyak untuk dipertaruhkan pada imajinasi seidiot itu; tapi Hillier bilang dengan sangat letih bahwa dirinya tak pernah bertaruh kurang dari lima ratus, tapi bahwa jika Tn. Puce lebih suka bertaruh dengan omong-kosong dan uang receh, dia, Hillier, akan senang memperkenalkannya kepada beberapa anak kecil riang kenalannya. Pikiran-pikiran itu membujuk Tn. Puce untuk bangkit dan memeriksa lebih seksama dinding dan perabot kamar. Tapi karena furniturnya sebatas barang keperluan paling sederhana, dan karena dalam penerangan yang redup dinding berpanel ék tampak sama saja seperti dinding lain, tuan dari Amerika berserapah tak karuan dan kembali berbaring di ranjang. Namun, dia sudah mengambil keputusan tidak akan tidur. Dia akan memantau, pikir Tn. Puce, kalau-kalau ada tanda hantu tua ini, dan dia akan mendengar-dengarkan sekuat tenaga, pikir Tn. Puce, kalau-kalau ada isyarat bunyi ketok meletihkan, angin kasar, bau apek, gemerincing rantai dan semacamnya itu, yang senantiasa menggembar-gemborkan kemunculan busuk hantu-hantu keluarga terbaik, demikian menurut pemahaman Tn. Puce sejak dulu. Tn. Puce, kau bisa lihat, tidak percaya hantu. Satu-satunya hantu yang dia percayai adalah Holy Ghost, sebab Tn. Puce adalah orang yang agamis dan rutin ke gereja. Namun, mau tak mau dia berpikir suatu trik rendahan bisa saja dimainkan padanya, karena dia tidak menaruh kepercayaan sedikitpun pada kehormatan Sir Charles Hillier, biarpun seorang peer—sebab Tn. Puce, sebagai orang Amerika sejati, tidak cocok dengan semua ihwal gelar yang rumit ini. Tapi terkait hal supranatural, sikap Tn. Puce selalu berupa skeptisisme sehat—dan bahkan skeptisisme yang agak agresif, seperti kata Hillier dengan geli saat bicara tentang hantu di rumah bibi Kerr-Anderson. Sir Charles berkata: “Ada dua jenis manusia yang dapat terpengaruh oleh hantu: mereka yang cukup pandir untuk mempercayainya, dan mereka yang cukup pandir untuk tidak mempercayainya.” Tn. Puce kesal. Dia benci tanggapan tak tahu malu yang pintar. “Itu tak berarti apa-apa,” kata Tn. Puce, “dan membuatmu pusing tujuh keliling.” Tn. Puce, terbaring di ranjang besar, yang gantungan-gantungannya menekannya, memeriksa pistol otomatis dan mendapatinya dalam kondisi baik. Dia berniat untuk tidak menolerir omong-kosong, dan sepucuk pistol otomatis adalah, Tn. Puce ingat pernah baca di suatu tempat, sebuah Argumen. Bahkan, Tn. Puce kenyang dengan guyonan-guyonan masam itu, tentang efek “pistol” terhadap kehidupan sehari-hari yang membuat film-film kurang ambisius jadi begitu menghibur. Tn. Puce menempatkan pistol otomatis mungil mengkilap di atas meja kecil dekat ranjang, yang padanya bercokol lilin dan, untuk pertama kali dia sadari, sebuah buku. Pandangan sekilas ke sampul kertas cukup untuk meyakinkan tuan dari Amerika bahwa buku itu ada di situ karena salah satu ide letih Hillier. Itu memperlihatkan seorang wanita dengan kecantikan mencolok, meski konvensional, sedang bertarung demi nyawanya dengan suatu sosok yang mungkin, atau mungkin bukan, roh anjing pelacak, tapi itu sudah pasti di luar pengalaman sehari-hari seorang wanita jelita. Tn. Puce tertawa. Keterangan pada buku itu berbunyi: “Kisah-kisah Teror: untuk selingan orang-orang yang menderita depresi, masalah kulit, dan umumnya keluhan septik. Oleh Basil Spain, pengarang ‘Tikus and Rheumatik: sebuah Romansa dari Cornish Riviera’.” Tuan dari Amerika adalah orang yang sehat, dan butuh tidur; jadi dengan lega dia berpaling pada buku rancunya Basil Spain sebagai sarana untuk tetap terjaga. Kisah yang kebetulan dibuka dalam buku itu berjudul “Langkah-langkah Kaki Dedemit”; dan Tn. Puce bersiap-siap untuk dihibur, sebab dia tidak termasuk golongan mereka yang membaca untuk mencari pelajaran. Dan inilah kisah luar biasa yang dia baca:
Tuan dari Amerika, seorang diri di kamar berhantu, tak kehilangan sikap tenangnya sedikitpun. Bahkan jika ada yang mengganggunya sama sekali, itu adalah dibuat jengkel oleh sikap Hiller di sebuah pesta makan malam beberapa malam sebelumnya; tahu Hiller pemboros bangkrut, dia biarkan dirinya ditantang ke dalam petualangan konyol ini dan dengan begitu kehilangan satu malam sarat fasilitas di suitenya di Claridge’s Hotel. Sebab lima ratus pound tidak berarti banyak bagi Tn. Howard Puce Junior—meski rasanya terhibur mengetahui bahwa lima ratus pound pasti berarti cukup banyak bagi Sir Charles Hillier, terlepas dari lagaknya. Tn. Puce memuaskan diri dengan memeriksa sepintas lalu kamar besar suram itu; dia mengetuk secara amatiran panel-panel ék di sana-sini kalau-kalau ada tanda “sampah lorong rahasia”, tapi hanya berhasil mengotori buku jarinya; dan baru ketika menjatuhkan diri ke ranjang besar dalam pakaian lengkap, terbersit dalam kepalanya bahwa lima ratus pound sterling adalah angka yang sangat besar untuk dipertaruhkan untuk sebuah kamar berhantu konyol. Kesimpulan yang sudah sewajarnya lompat ke dalam benak seseorang, pikir Tn. Puce, adalah pasti ada yang tak beres dengan kamar ini; kalau tidak, apakah seorang elang seperti Hillier bakal mempertaruhkan uang pada kualitas-kualitas terornya? Tn. Puce sebetulnya sudah mengusulkan, ketika pertama kali taruhan diajukan, bahwa lima ratus pound mungkin terlalu banyak untuk dipertaruhkan pada imajinasi seidiot itu; tapi Hillier bilang dengan sangat letih bahwa dirinya tak pernah bertaruh kurang dari lima ratus, tapi bahwa jika Tn. Puce lebih suka bertaruh dengan omong-kosong dan uang receh, dia, Hillier, akan senang memperkenalkannya kepada beberapa anak kecil riang kenalannya. Pikiran-pikiran itu membujuk Tn. Puce untuk bangkit dan memeriksa lebih seksama dinding dan perabot kamar. Tapi karena furniturnya sebatas barang keperluan paling sederhana, dan karena dalam penerangan yang redup dinding berpanel ék tampak sama saja seperti dinding lain, tuan dari Amerika berserapah tak karuan dan kembali berbaring di ranjang. Namun, dia sudah mengambil keputusan tidak akan tidur. Dia akan memantau, pikir Tn. Puce, kalau-kalau ada tanda hantu tua ini, dan dia akan mendengar-dengarkan sekuat tenaga, pikir Tn. Puce, kalau-kalau ada isyarat bunyi ketok meletihkan, angin kasar, bau apek, gemerincing rantai dan semacamnya itu, yang senantiasa menggembar-gemborkan kemunculan busuk hantu-hantu keluarga terbaik, demikian menurut pemahaman Tn. Puce sejak dulu. Tn. Puce, kau bisa lihat, tidak percaya hantu. Satu-satunya hantu yang dia percayai adalah Holy Ghost, sebab Tn. Puce adalah orang yang agamis dan rutin ke gereja. Namun, mau tak mau dia berpikir suatu trik rendahan bisa saja dimainkan padanya, karena dia tidak menaruh kepercayaan sedikitpun pada kehormatan Sir Charles Hillier, biarpun seorang peer—sebab Tn. Puce, sebagai orang Amerika sejati, tidak cocok dengan semua ihwal gelar yang rumit ini. Tapi terkait hal supranatural, sikap Tn. Puce selalu berupa skeptisisme sehat—dan bahkan skeptisisme yang agak agresif, seperti kata Hillier dengan geli saat bicara tentang hantu di rumah bibi Kerr-Anderson. Sir Charles berkata: “Ada dua jenis manusia yang dapat terpengaruh oleh hantu: mereka yang cukup pandir untuk mempercayainya, dan mereka yang cukup pandir untuk tidak mempercayainya.” Tn. Puce kesal. Dia benci tanggapan tak tahu malu yang pintar. “Itu tak berarti apa-apa,” kata Tn. Puce, “dan membuatmu pusing tujuh keliling.” Tn. Puce, terbaring di ranjang besar, yang gantungan-gantungannya menekannya, memeriksa pistol otomatis dan mendapatinya dalam kondisi baik. Dia berniat untuk tidak menolerir omong-kosong, dan sepucuk pistol otomatis adalah, Tn. Puce ingat pernah baca di suatu tempat, sebuah Argumen. Bahkan, Tn. Puce kenyang dengan guyonan-guyonan masam itu, tentang efek “pistol” terhadap kehidupan sehari-hari yang membuat film-film kurang ambisius jadi begitu menghibur. Tn. Puce menempatkan pistol otomatis mungil mengkilap di atas meja kecil dekat ranjang, yang padanya bercokol lilin dan, untuk pertama kali dia sadari, sebuah buku. Pandangan sekilas ke sampul kertas cukup untuk meyakinkan tuan dari Amerika bahwa buku itu ada di situ karena salah satu ide letih Hillier. Itu memperlihatkan seorang wanita dengan kecantikan mencolok, meski konvensional, sedang bertarung demi nyawanya dengan suatu sosok yang mungkin, atau mungkin bukan, roh anjing pelacak, tapi itu sudah pasti di luar pengalaman sehari-hari seorang wanita jelita. Tn. Puce tertawa. Keterangan pada buku itu berbunyi: “Kisah-kisah Teror: untuk selingan orang-orang yang menderita depresi, masalah kulit, dan umumnya keluhan septik. Oleh Basil Spain, pengarang ‘Tikus and Rheumatik: sebuah Romansa dari Cornish Riviera’.” Tuan dari Amerika adalah orang yang sehat, dan butuh tidur; jadi dengan lega dia berpaling pada buku rancunya Basil Spain sebagai sarana untuk tetap terjaga. Kisah yang kebetulan dibuka dalam buku itu berjudul “Langkah-langkah Kaki Dedemit”; dan Tn. Puce bersiap-siap untuk dihibur, sebab dia tidak termasuk golongan mereka yang membaca untuk mencari pelajaran. Dan inilah kisah luar biasa yang dia baca:
Judul asli | : | The Man from America<i=1CS-mssdsQAjtfwfsL552yIwXV71ZF7Aw 444KB>The Man from America (1925) |
Pengarang | : | Michael Arlen |
Penerbit | : | Relift Media, September 2023 |
Genre | : | Horor |
Kategori | : | Fiksi, Cerpen |