Skip to content
Menjadi Bijak – Relift Media

Menjadi Bijak Cerita fiksi keluarga

author _Lesya Ukrainka_; date _NoDate_ genre _Keluarga_; category _Cerpen_; type _Fiksi_ Dan di sinilah pipit kita mulai memperoleh kebijaksanaan. Dia memutuskan harus berhenti berkelahi. Ke manapun teman-teman pipitnya terbang, dia terbang bersama mereka; apapun yang mereka temukan untuk dimakan, dia mendapat jatah. Ketika dia berhenti berkelahi dan bertengkar, mereka menerimanya. Alkisah, hiduplah seekor burung pipit. Dan dia pipit yang cukup baik, hanya sayangnya agak bodoh. Dia belum belajar apapun sejak menetas dari telurnya. Dia tidak mampu mengerjakan apa-apa: entah membangun sarang ataupun menemukan bulir lezat untuk dimakan; di manapun dia bertengger, di situ dia tertidur—apapun yang tampak di depan matanya, itu dia makan. Tapi ada satu hal darinya, yaitu bersemangat tinggi—siap berjuang untuk suatu alasan, atau tanpa alasan sama sekali. Suatu hari dia terbang di pekarangan sebuah rumah ber­sama salah satu temannya, juga seekor pipit muda. Mereka terbang ke sana kemari, bermain-main di sekitar tumpukan sampah, lalu tiba-tiba menemukan tiga bulir biji. Dan di sini pipit kita berkata: “Mereka biji-bijiku, aku yang menemukannya!” Tapi yang satu lagi juga menyela: “Tidak, mereka milikku! Milikku! Milikku!” Dan mereka mulai berkelahi. Mereka berkelahi, melompat naik-turun dan saling mencabuti begitu keras hingga bulu-bulu beterbangan. Mereka berdua berkelahi sampai letih, lalu bertengger berhadapan, terengah-engah dan sudah lupa untuk apa perkelahian tadi. Tiba-tiba ingat, mereka me­nengok ke sana kemari mencari biji-biji. Apa yang terjadi dengan biji-biji itu? Seekor ayam betina, diikuti anak-anaknya, sedang berja­lan-jalan di pekarangan, berketok-ketok: “Di mana orang-orang bodoh berkelahi, orang bijak men­dapat untung; di mana orang-orang bodoh berkelahi, orang bijak mendapat untung!” “Apa yang kau katakan?” tanya para pipit. “Ah, aku sedang berterimakasih pada kalian yang sudah begitu bodoh! Selagi kalian berkelahi dengan begitu bodoh, aku memberi makan anak-anakku dengan biji-biji yang kalian perebutkan. Apa kata orang tentang seseorang yang bodoh? Tidak ada yang mengalahkan kalian dan mengajari kalian! Jika saja ada yang mau menggandeng kalian, kalian masih bisa tumbuh menjadi burung-burung berakal!...” Pipit satu lagi jadi marah atas kata-kata ini. “Ajari anak-anakmu sendiri akal; adapun aku, aku punya cukup!” cicitnya marah, meloncat, menyentakkan satu sayap, dan terbang pergi. Tapi pipit kita tetap di tempat dan mulai berpikir. “Benar juga,” pikirnya, “lebih baik berakal. Ayam betina itu berakal, sebab dia sudah makan, sementara aku bertengger lapar di sini.” Dia berpikir dan berpikir lebih lama lagi, lalu berpaling pada si ayam betina dan memohon: “Ajari aku untuk berakal, Nyonya Ayam! Kau begitu bijak!” “Oh, tidak!” jawab si ayam betina. “Maaf, sayangku, tapi aku cukup kesusahan tanpamu—lihatlah keluarga besarku, mereka juga harus diajari akal! Cari saja guru-guru lain!” Dia pun berjalan ke kandang ayam. Si pipit ditinggal sendiri. “Harus bagaimana? Aku akan minta seseorang meno­longku, karena aku tak mau hidup tanpa kebijaksanaan!” Lantas dia terbang dan menuju hutan. Tiba di hutan, siapa yang akan dia lihat paling pertama kalau bukan seekor tekukur yang sedang bertengger di pohon bola salju, bernyanyi: “Ku-koo! Ku-koo!” Dia langsung menghampirinya. “Bibi, aku ada permintaan untukmu. Ajari aku menjadi bijak! Kau tak punya anak-anak. Tadi aku minta pada ayam betina, tapi dia bilang dia sudah cukup kesusahan.” “Well, begini!” jawab si tekukur. “Jika aku sendiri tak kesu­sahan, terus untuk apa aku harus menanggung kesusahan orang lain. Seolah tak ada kerjaan lebih baik daripada me­ngajarkan akal sehat pada anak-anak aneh! Itu bukan urus­anku! Tapi jika kau ingin tahu berapa tahun kau akan hidup, itu bisa kuberitahukan padamu.” “Selama kau hidup, jangan khawatirkan aku!” ketus pipit, lalu terbang. Dia terbang sampai tiba di rawa, dan di sana dia melihat pelikan sedang sibuk menangkapi katak. Dia terbang rendah dan mendekatinya takut-takut: “Tn. Pelikan, ajari aku untuk berakal. Kau begitu bijak...” “Apa? Apa? Apa?” lengking Pelikan. “Pergilah, kau, mum­pung kau masih hidup! Aku tak berguna untuk hewan sepertimu!...” Si pipit cepat-cepat mendesing pergi, hampir tak bernafas karena ketakutan. Menengok ke bawah, dia melihat burung gagak berteng­ger sedih di sebuah ladang bajak. “Bibi,” tanyanya sambil bergabung, “kenapa kau begitu cemas?” “Entahlah, Nak, entahlah!” “Bibi, bisakah kau ajari aku untuk menjadi bijak?” “Tidak, Nak, aku tak bisa. Aku sendiri tidak terlalu berakal, jadi mana bisa aku mengajari yang lain? Tapi jika kau sungguh ingin belajar, kenapa tak pergi ke burung hantu? Kata orang, burung hantu sangat sangat bijak, dan dia mungkin bisa memberimu suatu nasehat. Aku sendiri tak terlalu bijak. Tuhan tolong hamba!” “Selamat tinggal, Bibi!” kata pipit. “Semoga beruntung!” Pipit terbang ke sana kemari cukup lama, bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya di mana burung hantu tinggal. Dia diberitahu bahwa ia tinggal di rongga batang pohon ék kering. Pergilah dia, dan benar saja, di sana ia berada, ber­tengger di dalam rongga, tidur pulas. Pipit hinggap pada se­buah dahan: “Nyonya! Apa kau tidur? Nyonya! Nyonya Burung Hantu!” Si burung hantu lompat, mengibas-ngibaskan sayapnya dengan cepat: “Hoo! Apa? Siapa itu?” teriaknya, matanya menonjol. Pipit sedikit takut, tapi dia burung mungil yang teguh. “Ini aku, pipit...” katanya. “Pipit? Pipit apa? Aku tak bisa lihat! Apa maumu? Angin jahat macam apa yang membawamu kemari di siang bolong? Sungguh mengganggu! Orang-orang bahkan tak mengizin­kanku tidur siang...” Dan ia segera jatuh tertidur lagi. Pipit tak berani mem­bangunkannya lagi, jadi dia bertengger di pohon dan me­nunggu malam datang. Dia menunggu dan menunggu sampai lelah dan bosan dengan semua itu. Namun, ketika hari mulai gelap, burung hantu bangun dan tiba-tiba ber­teriak: “Hoo-oo-oo!... Hoo-hoo-hoo-oo-oo...” Pipit jadi kebas karena ngeri; dia ingin terbang pergi, tapi entah bagaimana tetap di tempat. Burung hantu keluar dari rongga, meman­dang sepintas si pipit dengan mata yang begitu berkilat dan cemerlang sampai dia ketakutan lagi. “Apa yang sedang kau kerjakan di sini?” teriaknya. “Ah, aku, maaf, Bu, menunggu di sini sejak pagi...” “Untuk apa?” “Well, sampai kau bangun...” “Begitu. Aku sudah bangun! Apa maumu? Bicaralah!” “Aku mau tanya, Bu, apa kau berkenan memberiku pelajaran tentang kebijaksanaan? Kau begitu bijak...” “Dia yang terlahir sebagai orang bodoh, mati sebagai orang bodoh! Larilah sekarang, karena aku sangat lapar!” teriaknya, dan lagi-lagi mata cemerlangnya bersinar sangat menakutkan. Pipit menyembur pergi buru-buru, hanya terpikir untuk bersembunyi di suatu semak. Di situ dia menghabiskan malam. Dia tidur lelap hingga bangun terkaget ketika men­dengar “chirr-r-r-r” nyaring di atas kepalanya. Mendongak, dia melihat seekor burung kucica bersayap putih bertengger pada dahan bermata kayu di atasnya, dan berkicau chirr dengan sangat konsentrasi hingga matanya terpejam. “Siapa yang sedang kau ajak bicara, Nona?” tanya pipit. “Dan apa urusannya denganmu? Mau tahu saja! Mungkin aku sedang bicara padamu!” “Well, aku sangat bahagia jika itu aku. Aku ingin memohon padamu, Nona, beri aku pelajaran kebijaksanaan.” “Nah, katakan, untuk apa kau butuh kebijaksanaan, anak muda? Jauh lebih mudah, dan sudah pasti jauh lebih bahagia, hidup di dunia ini tanpa berpikir. Andai aku jadi kau, Nak, aku lebih sudi belajar cara mencuri, seperti yang kulakukan, dan untuk itu kau tak butuh kebijaksanaan. Kau tinggal mende­ngarkanku! Aku akan ajari kau bagaimana hidup tanpa kebi­jaksanaan...” si Kucica berkicau semakin nyaring dan cepat saat menawarkan nasehat ini.
Judul asli : Adversity Teaches<i=11Oivjb-7KgVycYDOJkWfdEIl1IQGCAqQ 281KB>Adversity Teaches
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Agustus 2023
Genre :
Kategori : ,

Unduh