Seluruh kesulitan ini murni fiksi. Tentu saja kami tidak mengakui keriilan Māyā, tapi di saat yang sama kami juga tidak berpendapat bahwa ia tak riil dari sudutpandang empiris. Secara empiris ia sat (eksis); dunia ada, tapi ia Māyā.
Di antara banyak keberatan yang kadang dilontarkan terhadap doktrin Māyā oleh pemikir-pemikir India yang tidak tergolong ke dalam mazhab Śaṅkara dan oleh berbagai penulis Timur dan Barat lainnya, kebanyakan hanya didasarkan pada kesalahpahaman terhadap signifikansi nyata doktrin ini dan sikap yang tepat kepadanya, sebagaimana akan kami tunjukkan sebentar lagi. Di sini kami tidak bertujuan memperhitungkan semua keberatan demikian, pertama karena sebagian dari mereka kekanak-kanakan dan menghancurkan diri sendiri dalam pengumumannya, dan kedua karena itu berada di luar cakupan kami. Kami akan terutama membahas keberatan-keberatan di dalam ranah Vedānta, yakni yang telah diangkat oleh beberapa mazhab Vedāntik lain, dan selanjutnya akan menimbang dengan ringkas teori-teori prinsipil yang umumnya ditegakkan hari ini untuk menangkis doktrin ini.
Sistem Vedānta terbagi ke dalam empat mazhab. Mereka secara urutan diwakili oleh Śaṅkara, Rāmānuja, Madhva, dan Vallabha; dan empat jenis penafsiran mereka dikenal sebagai Advaita, Viśiṣṭādvaita, Dvaita, Śuddhādvaita. Masing-masing mazhab ini menghadirkan tipe pemikiran berbeda mengenai relasi antara Absolut dan Semesta, dan masing-masing berupaya memberikan penafsirannya sendiri terhadap petikan-petikan pokok Upaniṣad-upaniṣad dan Sūtra-sūtra Bādarāyaṇa agar cocok dengan prakonsepsi rencana idenya sendiri.
Eksistensi mazhab-mazhab berlainan ini di dalam Vedānta tidak perlu disesalkan. Tak ada gunanya mengharapkan semua Vedāntis akan sesuai dengan tipe rasionalistik absolut Śaṅkara, atau dengan tipe teistik Rāmānuja, atau dengan tipe-tipe lain. Keanekaragaman, yang sama-sama terdapat pada sifat manusia seperti halnya pada dunia eksternal, menuntut keanekaragaman dalam kepercayaan filosofi dan kepercayaan agama, dan kebhinekaan semacam itu, setidaknya dalam hal tipe atau grup, akan senantiasa ada. Adalah mimpi kosong jika berharap pada waktu tertentu dunia akan memiliki satu bentuk agama, atau akan berpikir dalam satu alur pemikiran yang tetap. Empat mazhab Vedānta ini mewakili empat tahap perkembangan pemikiran, yang mengandung kepercayaan filosofi dan kepercayaan agama.
Seluruh kepribadian kita memasuki formasi sistem filosofi atau agama kita, dan masing-masing kita menerima yang satu dan menolak yang lain sejauh itu selaras atau bentrok dengan pengalaman kognitif atau perhatian umum kita. Proses psikologis seleksi atau pemilihan senantiasa berlangsung dalam kehidupan sehari-hari kita dalam semua aktivitasnya. Oleh karenanya, bukanlah sebuah kekurangan pada Vedānta bahwa ia terbelah ke dalam empat sistem. Analisa ini esensial untuk sintesis akhir
Dalam menelusuri perkembangan konsepsi Māyā, kami sudah mendeskripsikan secara ringkas ciri-ciri utama mazhab Śaṅkara. Untuk mengikhtisarkan dengan sangat ringkas, kami dapat tambahkan bahwa seluruhnya berpusat pada teori Māyā. Oleh karenanya karakteristiknya dapat dirangkum sebagai:
- Bahwa satu-satunya eksistensi nyata adalah eksistensi Brahman.
- Bahwa Brahman identik dengan Ātman.
- Bahwa semesta adalah Māyā, hanya memiliki eksistensi fenomenal atau relatif.
Max Müller rupanya sedikit kaget, jika kita nilai dari tinjauannya mengenai Śaṅkara: “Seluruh eksistensi kompleks atau fenomenal dianggap sebagai nyata selama pengetahuan tentang Brahman dan Diri segala belum muncul, persis sebagaimana bayang-bayang sebuah mimpi dianggap nyata sampai si penidur terbangun” (ii. 1. 14), dan berkata, “Tapi aneh sekali, meski Śaṅkara memandang seluruh dunia objektif sebagai hasil ketidaktahuan, dia tetap memperkenankannya riil untuk segala kegunaan praktis (vyavahārārtham).” Tapi sebagaimana sudah kami uraikan di atas, tak ada yang perlu dikagetkan dalam konsepsi ini. Itu satu-satunya cara seseorang bisa merekonsiliasikan realitas zahir dunia dengan ide realitas absolut. Menghilangkan semua realitas relatif dari dunia secara total, untuk kegunaan praktis sekalipun, sama dengan mengusulkan sebuah doktrin yang akan segera hancur sendiri, karena itu tidak menjelaskan masalah sama sekali, tapi hanya mengabaikannya. Lebih jauh, dalam hal ini, pandangan-pandangan Śaṅkara persis serupa dengan pandangan Kant, yang muncul di panggung dunia sekitar 1.000 tahun kemudian. Kant juga, meski mengecam keras Dogmatisme dan Skeptisime masanya, melalui analisa Nalar yang kritis dan seksama, tiba pada kesimpulan independen bahwa dunia, yang dikualifikasikan oleh Waktu, Ruang, dan Kausalitas, tidak memiliki realitas metafisik, tapi tetap sebuah penampakan, yakni riil secara empiris. Kami berpandangan bahwa apapun kelemahan lain yang mungkin terdapat dalam sistem Kant, poinnya sudah pasti benar. Banyak Hegelian era modern tampil ke depan dengan serangan tersusun rapi terhadap doktrin-doktrin fundamental Kant, tapi sialnya mereka memulai dengan premis-premis tak beralasan dan alhasil kritikan mereka kebanyakan meleset. “Things-in-Themselves”-nya Kant bagi mereka terkesan bertentangan dengan fenomena, sehingga, dengan mengasumsikan belahan antara kedua dunia, mereka menyimpulkan bahwa mustahil merelasikan kedua dunia ini. Kritikan yang sama dilontarkan terhadap konsepsi milik Śaṅkara yakni Nirguṇa Brahman (Absolut total, ekuivalen dengan “Noumenon”-nya Kant atau “Will”-nya Schopenhauer) dan Saguṇa Brahman (Absolut terbatas, Īśvara, ekuivalen dengan “Phenomena”-nya Kant, atau ide Māyā Vedāntik, atau konsepsi fundamental ketidakriilan dunianya Schopenhauer, saat dia berkata, “Die Welt ist meine Vorstellung.” / “Dunia adalah imajinasiku.)
Simpangan topik pendek ini hanya untuk menunjukkan bahwa pengakuan Śaṅkara akan realitas “fenomenal” bukan disebabkan oleh penyimpangan pemikirannya, tapi cukup cocok dengan bahkan hasil filsafat kritis modern Kant dan lain-lain. Poin ini sudah dikerjakan secara detil oleh Deussen dalam
Elemente der Metaphysik-nya.
Berhubung sekarang kita berurusan dengan pemeriksaan keberatan-keberatan utama terhadap teori Māyā, kita tak usah membahas lebih lama lagi sisi konstruksinya. Sekarang kami sampaikan ikhtisar tiga mazhab lain dalam Vedānta, sebelum berurusan dengan keberatan-keberatan itu.
Para Rāmānuja mewakili mazhab
teistik Vedānta. Mereka menyembah Viṣṇu sebagai Brahman mereka, berlawanan dengan Nirguṇa Brahman-nya Śaṅkara, dan, dengan membantah dewa ini hampa dari wujud atau kualitas, mereka menganggapnya dikaruniai segala kualitas bagus dan menguntungkan, dan wujud dua lipat: roh tertinggi (Paramātmā, atau sebab/kausa), dan roh kasar (akibat/efek, semesta, atau materi). Alhasil, doktrin mereka dikenal sebagai
Viśiṣṭādvaita, atau doktrin Kesatuan beratribut-atribut. Mādhava merangkum ajaran-ajaran Rāmānuja dalam formula: “Tiga kategori ditetapkan, sebagai jiwa, bukan-jiwa, dan Lord; atau sebagai subjek, objek, dan Pengatur Tertinggi.”
Rāmānuja sendiri telah menyediakan ikhtisar ajaran-ajaran utamanya dalam kata pengantar untuk
Vedāntadīpa-nya. Dia memulai dengan apa yang disebutnya tiga kepastian primer dan tertinggi yang dikenal oleh filosofi, yakni:
- Tuhan/Dewa (Hari). Jiwa Universal, personal, dan berakal.
- Jiwa (cit). Individual, berakal.
- Materi (acit). Tidak berakal.
Masing-masing dari ketiga entitas ini berbeda dari satu sama lain: Tuhan, Jiwa Tertinggi Semesta, berbeda dari jiwa individu, yang pada gilirannya berbeda dari materi tak berakal. Perbedaan ini intrinsik dan alami. Relasi antara Tuhan dan semesta (materi dan jiwa) adalah relasi sebab dan akibat. Materi dan jiwa membentuk
tubuh Tuhan, yang dalam kondisi
halusnya adalah semesta dalam status sebab-akibatnya, dan dalam kondisi
kasarnya adalah semesta ciptaan itu sendiri. Jiwa individual memasuki materi, dan dengan begitu menjadikannya hidup; dan, demikian pula, Tuhan memasuki materi dan jiwa dan memberi mereka kekuatan dan karakter khas. Semesta tanpa Tuhan adalah persis analogis dengan materi tanpa jiwa.
Brahman (yang diidentikkan dengan Hari dalam sistem ini) dianggap memiliki
svagatabheda, yakni perbedaan-perbedaan di dalam dirinya sendiri dalam aspek-aspek tiga lipatnya yang disebutkan di atas. Ia dibayangkan seperti sebatang pohon, yang, meski
satu, memiliki perbedaan-perbedaan
di dalam dirinya sendiri dalam bentuk cabang-cabangnya, dll.
Madhva (juga dikenal sebagai Ānandatīrtha dan Pūrṇaprajña), di abad 13, mengusulkan satu sistem lain dalam Vedānta, yang dia sebut
Dvaita. Itu disebut demikian karena dia meyakini
dualitas prinsip-prinsip tertinggi, yang dia namakan
independen dan
dependen. Relasi individu dengan Tuhan, Lord Tertinggi, adalah relasi budak dan tuan: tuan adalah objek ketaatan si budak. Māyā hanyalah kehendak Lord (Viṣṇu). Rahmat Viṣṇu dimenangkan hanya melalui pengetahuan akan keunggulannya, bukan melalui pengetahuan akan non-dualitas. Seluruh dunia adalah wujud dari tubuh Viṣṇu.
Vallabha, pendiri satu mazhab Vaiṣṇava Vedānta lain, tumbuh di abad 15 dan mengajarkan pandangan agama non-asketik, mengutuk segala jenis mortifikasi diri, yang, katanya, menghancurkan raga yang di dalamnya tinggal cetus Roh Tertinggi. Menurutnya, realitas tertinggi adalah Kṛṣṇa, bebas dari semua kualitas, abadi, berdikari, dan jiwa tertinggi dunia. Penciptaan dunia adalah melalui proses evolusi dan involusi. “Kṛṣṇa, bersendiri di
Goloka,” seperti kata Wilson, “dan bersemedi tentang kemubaziran penciptaan, memulakan seorang makhluk berwujud perempuan yang dikaruniai tiga
guṇa, dan sejak saat itu menjadi agen utama dalam penciptaan. Ini adalah Prakṛti atau Māyā.” Keterangan Wilson ini terlalu sepotong-sepotong dan samar. Nyatanya, hampir tidak ada literatur tentang ajaran-ajaran Vallabha. Sarvadarśanasamgraha tidak memiliki tempat untuk itu, dan bahkan Deussen, yang mengikuti dengan cermat rencana kitab ini, menghilangkannya sama sekali dari
Geschichte der Philosophie-nya. Max Müller juga cukup bungkam soal ini. Kami di sini tidak akan memberi keterangan rinci perihal doktrin-doktrin Vallabha, tapi kami harus menyatakan intisari-intisari mereka sejauh mereka mempengaruhi konsepsi umum Māyā.
Vallabba didahului dalam garis pemikirannya oleh Nimbārka dan Viṣṇuswāmi. Dia mencoba memurnikan viśiṣṭādvaita Rāmānuja dan lainnya. Menurutnya, adalah sebuah kontradiksi istilah jika kita ikut menduga bersama Rāmānuja bahwa Brahman—
cit, keberakalan—menyatu tak terpisahkan dengan
acit (materi tak berakal,
jaḍa). Brahman adalah
sat,
cit, dan
ānanda; menguras kemungkinan semua
keberadaan, dan
menjadi apapun yang ia
kehendaki melalui evolusi (āvirbhāva) dan involusi (tirobhāva) sifat-sifatnya. Sementara Śaṅkara menjelaskan fenomena semesta melalui
adhyāsa, Rāmānuja melalui perbedaan-perbedaan kualitatif dan inheren dalam Brahman, Madhva melalui manifestasi tubuh Brahman, Vallabha menjelaskannya melalui proses evolusi dan involusi Brahman.
Setelah ikhtisar singkat tentang doktrin-doktrin utama mazhab-mazhab di dalam Vedānta ini, kita tiba pada kritik Rāmānuja terhadap teori Māyā. Ini terkandung dalam karya terbesarnya,
The Śrībhāṣya, sebuah tafsir terhadap Brahmasūtra-brahmasūtra-nya Bādarāyaṇa. Perawiannya terhadap Sūtra pertama menempati ruang terbesar dalam risalatnya, dan kritik ini dimuat di bawah bagian yang sama. Rāmānuja melayangkan tujuh tuduhan terhadap doktrin Māyā. Kami mereproduksi intisari masing-masingnya, secara berurutan, disertai kritik kami sendiri.