“Mereka jadi suka mencampuri urusan orang lain dengan mencoba melakukan banyak hal yang mereka tidak tahu apa-apa, dan dengan melakukannya serba salah. Sebab demos adalah binatang berkepala banyak, lebih enteng dan lebih plin-plan.”
Aku habis pergi ke kota pada tanggal Empat bulan ini untuk menyaksikan bagaimana mereka merayakan Festival, dan sedang pulang dengan santai ketika Chærephon melihatku dari jauh dan menyuruh puteranya lari dan memintaku menunggunya. Anak itu memegangi jubahku dari belakang, dan berkata: “Ayahku menyuruhmu menunggunya.”
“Tentu saja,” kataku.
Dan tak lama kemudian Chærephon datang.
“Sokrates,” katanya, “kelihatannya kau pulang dari kota.”
“Tebakanmu tak buruk,” sahutku.
Kami meneruskan perjalanan, dan segera tiba dekat persimpangan dua jalan. Di sini, seorang bocah sedang berdiri di pinggir jalan, berteriak keras kepada semua yang lewat.
“Apa kata-kata yang dia teriakkan?” kataku kepada Chærephon.
“Republic,” jawabnya. “Itu koran baru, yang akan terbit setiap hari, dan akan menolong demos; kau tahu sampai sekarang ia terbit tiga kali saja sepekan, dan untuk segelintir. Kau belum dengar itu?”
“Ya,” kataku, “dan aku sudah berpikir banyak tentang itu. Mulai sekarang kita akan mendapat berita setiap hari, dan dengan cara berbeda.”
Kami menghampiri bocah itu, dan sedang melewatinya.
“Hei, nak,” kataku, “aku minta koranmu.”
Dia memberikannya, masih berteriak-teriak.
“Berapa banyak aku harus bayar?” tanyaku.
“Satu obol,” jawabnya.
“Baiklah,” kataku, dan memberinya obol.
“Murah, bukan?” kata Chærephon. “Dan tidakkah kau berpikir demos punya alasan bagus untuk gembira? Sekarang lebih banyak orang akan bisa membaca tentang apa yang terjadi.”
“Memang murah,” kataku, “dan sekarang demos memang dapat membaca semua yang mereka mau. Tapi aku tidak berpikir mereka akan gembira.”
“Apa aku tak salah dengar?” tanyanya. “Mungkinkah kau tidak suka perubahan ini?”
“Kau tak salah dengar,” jawabku. “Aku tidak suka.”
“Tapi itu akan mendidik demos,” katanya.
“Itu akan,” kataku, “dan itulah mengapa aku tidak suka. Menurutku itu akan mendidik mereka dengan keliru, dan kita akan dapat masalah karenanya. Tapi mari kita diskusikan hal ini, kalau kau suka.”
“Dengan senang hati,” katanya. “Tapi lihat, di sebelah sana itu rumah Megaphon, dan aku sudah bilang padanya akan mampir. Maukah kau ikut denganku, dan berdiskusi di sana dalam pendengaran kami berdua?” “Ya,” kataku, “dengan sepenuh hati.” Kami mendekat, dan Chærephon memukul-mukul lembut pintu dengan sandalnya, dan kami menunggu sampai seseorang datang dari dalam. Anak Chærephon, setelah meminta izin sang ayah, kini bergabung dengan bocah-bocah lain yang saling berlomba-lomba dalam pertandingan membuat gaduh. Nah, memainkan pertandingan tersebut begini caranya. Anak Chærephon akan mengambil dari sakunya selembar kertas merah tua yang digulung rapat, berisi bahan peledak. Ini dia ledakkan melalui seutas benang yang menjulur dari ujung gulungan, dan berisi bahan peledak yang sama, tapi tidak terlalu banyak. Benangnya disebut sumbu, dan gulungannya disebut “petasan”. Ketika dinyalakan dengan korek api, sumbu akan segera membawa api ke petasan, yang langsung meledak, menghasilkan letusan keras. Tapi terlebih dulu anak Chærephon akan melemparnya ke udara, agar tidak melukai jari-jarinya. Tapi ada anak-anak berani yang memegang petasan selagi meledak, dan tetap tak terluka; dan mereka ini adalah pemenang pertandingan. Waktu itu, ini adalah cara merayakan kemerdekaan bangsa bagi kawula muda dan kaum tua. Karena tadinya masyarakat menghamba kepada tiran.
Selagi kami berdiri menonton olahraga ini, puteri Megaphon membukakan pintu untuk kami. “Ayahku di dalam,” katanya, dan menunjuk ke pintu megaron. Pintunya terbuka, dan kami pun masuk. Mulanya kami tak lihat siapa-siapa, tapi setelah beberapa saat, kami jadi menyadari dua kaki Megaphon, satu-satunya bagian tubuhnya yang bisa dilihat. Selebihnya tubuhnya tersembunyi oleh satu lembar cetak. Lembar ini, kami lihat, adalah Republic; sebab huruf-hurufnya besar. “Salam, wahai Megaphon!” pekikku dengan suara nyaring. Megaphon menurunkan lembar itu sampai wajahnya tampak, dan kemudian melompat bangkit. “Beribu maaf, Sokrates dan Chærephon!” pekiknya. “Aku sedang asyik dengan koran, dan tidak memperhatikan. Silakan duduk.” Kami duduk di depannya, tidak jauh. Megaphon menyisihkan koran, sepertinya dengan segan hati. “Apa yang sedang kau baca, wahai Megaphon?” selidik Chærephon, untuk memulai diskusi kami. Sebab dia tahu betul, tanpa perlu bertanya. “Republic,” jawab Megaphon. “Ah, kulihat kau punya, Sokrates. Bukankah itu bagus, dan tidakkah kita mestinya gembira? Demos pasti akan membuat kemajuan besar sekarang, dan bangsa kita akan menjadi jauh lebih besar daripada sebelumnya, sebab kita akan mendapat berita setiap hari, dan hampir semua orang akan cukup kaya untuk membaca, dan hampir semua orang akan menjadi pintar karenanya.” Chærephon menatapku. “Tapi Sokrates tidak setuju,” ujarnya. “Tidak,” kataku, “demi Zeus, tidak!” Megaphon keheranan bukan main. “Aku tak mengerti,” katanya. “Bukankah pengetahuan akan tersebar di masyarakat kita tidak seperti sebelumnya, dan bukankah demos kita akan menjadi warga yang berpengetahuan luas dan berpikir, bukan lagi mangsa untuk kejahilan mereka sendiri atau untuk tipudaya musuh-musuh mereka? Sebab sekarang kita akan mendapat berita dengan harga receh, kupikir. Bukankah begitu, wahai Sokrates?” “Dengan harga receh, sudah pasti,” jawabku. “Sejujurnya, harganya bahkan terlalu kecil. Tapi bolehkah kita diskusikan hal ini?” “Tentu saja,” katanya. “Dan maukah kau mendengarkanku dengan sabar,” kataku, “dan menjawab pertanyaanku, dan tidak marah?” “Kami akan lakukan seperti katamu,” katanya. “Kan, Chærephon?” Chærephon mengiyakan.
“Dengan senang hati,” katanya. “Tapi lihat, di sebelah sana itu rumah Megaphon, dan aku sudah bilang padanya akan mampir. Maukah kau ikut denganku, dan berdiskusi di sana dalam pendengaran kami berdua?” “Ya,” kataku, “dengan sepenuh hati.” Kami mendekat, dan Chærephon memukul-mukul lembut pintu dengan sandalnya, dan kami menunggu sampai seseorang datang dari dalam. Anak Chærephon, setelah meminta izin sang ayah, kini bergabung dengan bocah-bocah lain yang saling berlomba-lomba dalam pertandingan membuat gaduh. Nah, memainkan pertandingan tersebut begini caranya. Anak Chærephon akan mengambil dari sakunya selembar kertas merah tua yang digulung rapat, berisi bahan peledak. Ini dia ledakkan melalui seutas benang yang menjulur dari ujung gulungan, dan berisi bahan peledak yang sama, tapi tidak terlalu banyak. Benangnya disebut sumbu, dan gulungannya disebut “petasan”. Ketika dinyalakan dengan korek api, sumbu akan segera membawa api ke petasan, yang langsung meledak, menghasilkan letusan keras. Tapi terlebih dulu anak Chærephon akan melemparnya ke udara, agar tidak melukai jari-jarinya. Tapi ada anak-anak berani yang memegang petasan selagi meledak, dan tetap tak terluka; dan mereka ini adalah pemenang pertandingan. Waktu itu, ini adalah cara merayakan kemerdekaan bangsa bagi kawula muda dan kaum tua. Karena tadinya masyarakat menghamba kepada tiran.
Selagi kami berdiri menonton olahraga ini, puteri Megaphon membukakan pintu untuk kami. “Ayahku di dalam,” katanya, dan menunjuk ke pintu megaron. Pintunya terbuka, dan kami pun masuk. Mulanya kami tak lihat siapa-siapa, tapi setelah beberapa saat, kami jadi menyadari dua kaki Megaphon, satu-satunya bagian tubuhnya yang bisa dilihat. Selebihnya tubuhnya tersembunyi oleh satu lembar cetak. Lembar ini, kami lihat, adalah Republic; sebab huruf-hurufnya besar. “Salam, wahai Megaphon!” pekikku dengan suara nyaring. Megaphon menurunkan lembar itu sampai wajahnya tampak, dan kemudian melompat bangkit. “Beribu maaf, Sokrates dan Chærephon!” pekiknya. “Aku sedang asyik dengan koran, dan tidak memperhatikan. Silakan duduk.” Kami duduk di depannya, tidak jauh. Megaphon menyisihkan koran, sepertinya dengan segan hati. “Apa yang sedang kau baca, wahai Megaphon?” selidik Chærephon, untuk memulai diskusi kami. Sebab dia tahu betul, tanpa perlu bertanya. “Republic,” jawab Megaphon. “Ah, kulihat kau punya, Sokrates. Bukankah itu bagus, dan tidakkah kita mestinya gembira? Demos pasti akan membuat kemajuan besar sekarang, dan bangsa kita akan menjadi jauh lebih besar daripada sebelumnya, sebab kita akan mendapat berita setiap hari, dan hampir semua orang akan cukup kaya untuk membaca, dan hampir semua orang akan menjadi pintar karenanya.” Chærephon menatapku. “Tapi Sokrates tidak setuju,” ujarnya. “Tidak,” kataku, “demi Zeus, tidak!” Megaphon keheranan bukan main. “Aku tak mengerti,” katanya. “Bukankah pengetahuan akan tersebar di masyarakat kita tidak seperti sebelumnya, dan bukankah demos kita akan menjadi warga yang berpengetahuan luas dan berpikir, bukan lagi mangsa untuk kejahilan mereka sendiri atau untuk tipudaya musuh-musuh mereka? Sebab sekarang kita akan mendapat berita dengan harga receh, kupikir. Bukankah begitu, wahai Sokrates?” “Dengan harga receh, sudah pasti,” jawabku. “Sejujurnya, harganya bahkan terlalu kecil. Tapi bolehkah kita diskusikan hal ini?” “Tentu saja,” katanya. “Dan maukah kau mendengarkanku dengan sabar,” kataku, “dan menjawab pertanyaanku, dan tidak marah?” “Kami akan lakukan seperti katamu,” katanya. “Kan, Chærephon?” Chærephon mengiyakan.
Judul asli | : | The Republic of Megaphon<i=1PGHfthhd-HIGxo4Sr6K7iX-V6smbSQC9 604KB>The Republic of Megaphon (1914) |
Pengarang | : | Grant Showerman |
Penerbit | : | Relift Media, April 2023 |
Genre | : | Jurnalisme |
Kategori | : | Fiksi, Cerpen |