Skip to content
Mengapa Aku Menolak Agama Universal dan Memeluk Nasionalisme Hindu Arya – Relift Media

Mengapa Aku Menolak Agama Universal dan Memeluk Nasionalisme Hindu Arya Bacaan non-fiksi religi

author _Savitri Devi_; date _1978_ genre _Religi_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ Kita menyembah kekuatan-kekuatan alam semesta. Kita harmonis dengan alam semesta dan bukan dengan manusia. Itu tidak berpusat pada manusia. Agama-agama kita tidak berpusat pada manusia. Tidak ada agama-agama purbakala yang berpusat pada manusia. Aku akan sangat blak-blakan tentang agama Kristen. Dulu aku biasa pergi ke gereja. Aku dibaptis di Gereja Ortodoks Yunani. Dan dulu aku biasa pergi ke gereja sampai berumur 21, sampai aku sadar akan jati diriku sebagai seorang Sosialis Kebangsaan (Nazi). Di masa itu gereja bukan benar-benar gereja. Itu cuma sebuah ruangan di kota kelahiranku. Nah orang-orang Yunani Lyons memiliki gereja sungguhan dan indah. Aku pergi ke sana kadang-kadang. Aku masih pergi ke gereja itu saat aku di sana. Aku biasa pergi, tapi bukan karena aku mencintai nilai-nilai Kristen. Aku tak pernah bisa me­nerima nilai-nilai Kristen. Tapi, aku suka gereja. Aku suka gereja karena ia bersifat nasional/kebangsaan, setidaknya disangka nasional. Aku selalu diberitahu: “Gereja nasional Yunani adalah Gereja Ortodoks. Yunani Modern adalah anak perempuan Bizantium. Ia adalah keterusan dari apa yang dulunya Bizantium, apa yang bangsa Turki hancurkan. Kebangsaan Yunani tidak akan tetap hidup kalau bukan karena gereja dan karena biara-biara di bawah domini Turki selama empat ratus tahun.” Dan ini, dan juga keindahan musik Bizantium dan nyanyian Bizantium. Dulu aku biasa pergi ke gereja, dan aku suka itu. Aku masih suka itu. Tapi se­panjang menyangkut nilai-nilai Kristen, itu lain hal. Ngomong-ngomong, aku benar-benar percaya bahwa banyak sekali orang Yunani modern tidak mempercayai nilai-nilai Kristen sama sekali. Banyak dari mereka bahkan mungkin tidak mempercayai fakta-fakta yang mereka raya­kan, misalnya Paskah, kebangkitan, dan hal-hal semacam itu. Jika kau betul-betul tanya mereka, kalau mereka jujur mereka akan menjawab, “Gereja bilang begitu pada kita, tapi itu terasa agak ganjil untuk dipercaya, agak sulit untuk diper­caya.” Itu tak jadi soal. Mereka terikat dengan gereja hanya karena itu adalah gereja nasional. Tesis doktoralku yang kedua adalah tentang seorang filsuf Yunani, Theophilos Karris, lahir pada 1784, mati di penjara pada 1853. Dia dijebloskan ke penjara oleh pemerintah Yu­nani karena terang-terangan tidak mengimani Gereja Orto­doks, gereja nasional. Tema asli tesisku tidak terlalu tentang sosok Karris, melainkan mentalitas Yunani menyangkut agama. Mentalitas Yunani modern sama persis dengan mentalitas Yunani Kuno. Sokrates dihukum karena dia tidak mengimani dewa-dewa yang diimani oleh kota. Andai dia bukan orang Athena, tak seorangpun di Athena akan peduli. Andai dia orang Mesir, orang Persia, orang Asyur, tak se­orangpun akan peduli apakah dia mengimani dewa-dewa Yunani sama sekali. Wajar jika dia mengimani dewa-dewa­nya sendiri. Masing-masing negeri memiliki dewa-dewanya sendiri. Dan terdapat kerukunan di antara mereka semua. Mereka biasa meminjam dewa-dewa milik satu sama lain sekali-sekali, ketika mereka betul-betul ingin melayani seorang dewa, melawan penyakit atau semacamnya. Itulah purbakala. Itulah Yunani modern. Yunani modern tidak akan merasa perlu untuk mengkon­versi seorang Turki ke dalam agama Kristen. Dia orang Turki, well, tak masalah. Wajar seorang Turki adalah Muslim. Dia orang Eropa Barat, dan wajar seorang Eropa Barat adalah Protestan atau Katolik. Dia orang asing. Seorang Katolik, seorang Katolik Yunani sekalipun, adalah orang asing. Kau bisa dengar seorang Yunani berkata padamu, “Well, ada tiga orang asing di bangunan kami. Ada seorang Katolik di lantai satu. Ada seorang Yahudi di lantai tiga. Dan ada seorang Amerika di lantai dasar.” Seorang Amerika, seorang Yahudi, seorang Katolik: mereka semua orang asing. Well, aku sendiri punya semangat ini semasa remaja. Kendati itu bukan semangat ayahku. Ayahku bukan orang beriman sama sekali. Dia dibaptis, tapi dia tidak mengimani itu. Dia adalah apa yang kau sebut pemikir bebas. Ibuku penganut Gereja Inggris sebagai seorang wanita Inggris, tapi semakin tua, dia semakin mengarah pada skeptisisme, agno­tisisme. Pada akhirnya dia biasa mengatakan, “Well, aku tidak tahu apakah jiwa eksis atau tidak, apakah kita memiliki jiwa atau tidak. Itu persoalan metafisik yang berada di luar pe­mahamanku.”

Kristen dan Nasionalisme

Dan keberatanku terhadap Kristen sejak awal adalah, pertama, ia tidak bersifat kebangsaan. Ia tidak kebangsaan. Di Yunani kita punya sesuatu sebelum Kristen. Mengapa kita tidak berpegang pada itu? Kita punya sesuatu yang sama indahnya dan lebih indah darinya. Kita menyembah mata­hari. Kita menyembah dewa-dewa yang melambangkan ke­kuatan-kekuatan alam. Kita menyembah kekuatan-kekuatan alam semesta. Kita harmonis dengan alam semesta dan bukan dengan manusia. Itu tidak berpusat pada manusia. Agama-agama kita tidak berpusat pada manusia. Tidak ada agama-agama purbakala yang berpusat pada manusia. Kecuali satu. Yudaisme tidak hanya berpusat pada manusia, itu berpusat pada Yahudi. Agama-agama lain, tentu saja, bersifat kebangsaan. Tapi di saat yang sama mereka bersifat kosmik. Apapun yang ada kaitannya dengan penyembahan matahari atau bulan atau kekuatan alam adalah sudah sewajarnya kosmik. Dan manu­sia purbakala tak pernah kepikiran menyembah dewa-dewa milik orang lain. Firaun Amenhotep III, ketika dirinya sakit, tidak menemukan pelipur melalui dewa pengobatan Mesir, dewa penyembuhan Mesir, Khons puteranya Amon dan Mut. Tidak. Tapi dia mendengar bahwa Ishtar dari Niniwe bagus untuk penyembuhan. Wanita ini punya kemampuan me­nyembuhkan. Dia membawa patung Ishtar Niniwe dari tem­pat dua ribu kilometer jauhnya. Dia membawanya ke Mesir. Dan rupanya wanita ini menyembuhkannya. Dia tinggal dua tahun di Mesir, dan kemudian dikirim kembali beserta pen­deta-pendetanya ke Niniwe. Itulah semangat purbakala. Ke­bebasan, tidak ada intoleransi sama sekali. Tidak ada ke­kurangan toleransi. Tidak ada yang seperti “Jika kau bukan golongan kami, kau dilaknat. Jika kau tidak memeluk agama kami, kepercayaan kami, kau dilaknat.” Tidak ada yang se­perti itu di zaman purbakala. Tidak ada yang seperti itu sebe­lum Kristen. Kaum Yahudi agak berbeda. Agama Yahudi agak berbeda. Agama Yahudi bersifat kebangsaan, kesukuan. Yahweh, Yehovah, adalah Tuhan kaum Yahudi. Kaum Yahudi akan berkata, “Jika kau bukan golongan Yehovah, kau dilaknat. Oh, tidak. Oh, tidak. Kau seorang Moabite, sudah sewajarnya kau menyembah Chemosh. Kau seorang Ammonite, kau me­nyembah Milcom, sudah sewajarnya. Kau seorang Filistin, kau menyembah Dagon, kau menyembah yang lain, dewa-dewa Filistin. Tapi jika kau ada di Bezirk kami, di wilayah kami, kau harus dibinasakan. Tempat ini hanya untuk kami.” Itulah Perjanjian Lama. Aku tidak mau bercakap panjang-lebar tentang itu. Aku hanya meminta orang-orang yang tidak percaya padaku untuk membuka Alkitab dan membaca Ulangan pasal tujuh, ayat-ayat pertama pasal Tujuh. Semua itu ada di dalamnya. Aku sangat tidak suka itu. Itu punya satu keunggulan saja, yakni orang Yahudi dilarang menikahi non-Yahudi. Bukan karena non-Yahudi itu buruk. Kadang dia memang menikahi non-Yahudi. Sebagai contoh, Mahlon, putera Naomi, meni­kahi Ruth yang merupakan wanita Moabite. Dan wanita Moabite yang sama ini menikah dengan Boaz, putera Rahab dari Yerikho, yang mana Rahab sendiri terkenal suka me­nampung para mata-mata Yahudi-nya Yosua. Pokoknya, mereka ditampung sekali-sekali. “Tuhanmu adalah Tuhanku, dan kaummu akan menjadi kaumku,” kata Ruth kepada ibu mertuanya, Naomi, ketika dia mengikuti Naomi ke Yudea pasca kematian suaminya. Tapi itu sebuah pengecualian. Secara umum orang Yahudi dilarang mengambil wanita di Kanaan. Walaupun secara rasial mereka sama. Tidak ada perbedaan di antara orang Yahudi dan orang Kanaan, secara rasial. Tapi mereka menyembah tuhan/dewa yang berbeda. Dikhawatirkan mereka bakal membujuk suami mereka un­tuk menyembah tuhan/dewa mereka. Itu ide hebat. Dengan begitu, tentu saja itu menahan orang-orang Yahudi di antara sesama mereka sendiri. Itu hal yang bagus, dari sudut­pandang rasialis.

Agama-agama Internasional dan Percampuran Ras

Keberatanku terhadap agama-agama internasional—entah itu Kristen, Islam, dua agama yang lahir dari Yudaisme, entah itu bahkan Buddhisme yang lahir dari kredo Arya—adalah bahwa mereka bersifat internasional dan bahwa mereka tidak keberatan dengan perkawinan antar ras. Dalam Buddhisme, itu tidak umum dilakukan. Kau tidak melihat seorang Buddhis India menikah dengan seorang Buddhis Jepang. Buddhis Jepang tidak akan suka itu toh. Orang-orang Jepang sebetulnya rasialis. Tapi kau bisa melihat orang-orang Arab dengan harem perempuan-perempuan dari semua ke­bangsaan. Orang-orang Arab Spanyol, para pendiri Kekha­lifahan Kordoba, bukan orang Arab sama sekali sesudah generasi ketiga. Puteranya Musa bin Nusair, penakluk Spa­nyol di awal abad 8, bernama Abdul Aziz. Dia menikahi se­orang wanita Visigoth, Egilona, janda dari raja terakhir bang­sa Visigoth. Dan puteranya menikahi seorang Arya lain, atau setengah Arya, dan anak laki-lakinya juga melakukan hal yang sama. Sesudah tiga atau empat generasi, praktisnya tidak ada darah Arab sama sekali pada para penguasa Kor­doba. Dan kau menjumpai hal yang sama di negara-negara lain. Kau menjumpai perkawinan campur Arab dan Negro. Orang Habasyah adalah campuran dari keduanya. Kau men­jumpai campuran Arab dan bangsa apapun yang Muslim. Jika kau Muslim, kau bisa menikah dengan Muslim manapun. Dan jika kau Kristiani, tak ada alasan kau tidak boleh me­nikah dengan Kristiani manapun. Menurut gereja itu tidak dilarang. Itu tidak dilarang sama sekali. Dan aku tidak suka itu. Aku selalu syok oleh propaganda Sosialis Kebangsaan, propaganda yang sangat oportunis, yang isinya mengatakan, “Kami tak punya keberatan apa-apa dengan Kristen. Kami Kristiani yang sangat baik.” Itu selalu membuatku syok. Satu hal yang kugarisbawahi ketika membaca 25 poin untuk per­tama kali—25 poin merupakan dasar Sosialisme Kebangsaan, setidaknya untuk khalayak—adalah poin ke-24, “Kami men­dukung tipe Kristen positif.” Apa yang Führer maksud dengan Kristen positif? Mungkin: saling membantu. Semua institusi seperti NSV, Bantuan Musim Dingin, Bantuan untuk Ibu dan Anak, semua hal ini melambangkan apa yang bisa publik pandang sebagai Kristen positif: kasihi tetang­gamu. Tak masalah. Dan kemudian muncul ujung poin ke-24: “Partai bersikap netral dalam urusan agama. Kami mengakui agama jenis apapun, asalkan itu tidak menggoncang perasaan moral ras Jerman dan tidak bertentangan dengan negara.” Well, aku memikirkan ini, dan aku berkata pada diriku sendiri, “Agama apapun yang mengizinkan perkawinan dengan tujuan repro­duksi antara seorang Arya dan seorang non-Arya, asalkan mereka berdua dibaptis di gereja yang sama, sudah tentu bertentangan dengan perasaan moral bangsa Jermanik dan dengan kepentingan negara, dan Kristen termasuk salah satu dari agama-agama ini. Seorang Negro Katolik bisa menikah dengan seorang Katolik dari negara manapun termasuk Katolik Jerman. Kenapa tidak? Mereka sama-sama Katolik.” Aku kenal sejoli, sejoli campuran seperti itu. Si wanita, seorang Arya yang cantik, muda, pirang, bermata biru, anak perempuan dari seorang tentara Jerman dalam Perang Dunia I dan seorang wanita Alsatia. Tak menikah. Itu tak bikin beda. Seorang Arya. Di suatu ruangan bar di Lyons, kota kela­hiranku, dia bertemu seorang Dravida cokelat sempurna, cokelat gelap, dari India Selatan, yang dianggap sebagai paria oleh orang-orang India kasta-kasta tinggi. Dan dia seorang Katolik, dan si wanita seorang Katolik, dan keduanya me­nikah. Dan mereka memiliki empat anak, tiga putera dan satu puteri. Untungnya anak-anak itu tak menikah. Kuharap mereka tak pernah menikah. Mereka sangat bahagia ber­sama, kelihatannya. Pria itu tidak jahat. Aku tak punya kebe­ratan terhadapnya. Tapi aku lebih suka dia menikahi paria Dravida, harijan Dravida, kata orang-orang, seperti dirinya. Dan wanita itu seharusnya menikah dengan orang Prancis, atau orang Alsatia, atau orang Jerman. Dia sendiri orang Jerman. Tapi karena mereka Katolik, mereka menikah. Sean­dainya mereka bukan Kristiani sama sekali, seandainya si pria adalah penyembah Mariama—Mariama adalah dewi ibu dari India Selatan, salah satu dari banyak sekali dewi ibu India Selatan—dan seandainya si wanita adalah penyembah Wotan, seperti di zaman purbakala, mereka takkan pernah bersama. Begitulah. Itulah keuntungan dari kredo-kredo ke­bangsaan ini. Mereka menahan setiap orang di tempatnya masing-masing. Dan ketika mereka tidak melakukan itu, well, itu sebuah pengecualian. Atau, kalau tidak, kedua kaum saling berde­katan. Kau memiliki, contohnya, perkawinan campur antara kaum yang menyembah Thor di zaman purba dan bangsa Slavia. Bagaimana bangsa Polandia bisa ada? Bangsa Polan­dia adalah bangsa Slavia dengan campuran Jerman. Mereka bukan Slavia murni, dan begitu banyak orang Rusia juga bukan Slavia murni. Orang-orang Rusia, leluhur orang Rusia, sebelum Kristen, juga menyembah satu dewa berpalu, ber­kepala empat, Perun. Dewa Perun dan dewa Thor sangat akur. Mereka bertetangga. Mereka melambangkan hal yang sama. Well, kenapa tidak? Mereka bersaudara. Mereka sangat dekat dalam semua ini. Dan tentu saja kau melihat orang-orang Gaul menikah dengan orang-orang Jerman di masa dinasti Meroving. Sebelum bangsa Gaul menjadi Kristiani, mereka memiliki dewa-dewa sendiri. Mereka memiliki beberapa dewa inter­nasional, dewa-dewa kosmik, matahari dan bulan, sudah tentu. Matahari dan bulan. Ada sebuah dialog kecil indah dalam dongeng Prancis, cerita pendek karangan Anatole France, tentang seorang Gaul yang mengikuti Caesar ke Ing­gris. Dan mereka berdua kembali, dan si Gaul melihat dengan matanya sendiri porak-porandanya armada Romawi di pantai Inggris akibat pasang. Dan dia tahu bulan memerintah pasang. Dan dia berkata kepada Caesar dalam perjalanan pulang, “Kau lihat, bulan adalah dewi yang sangat kuat, dan dia mencintai bangsa Gaul. Dia ada di pihak Gaul.” Caesar tertawa dan berkata, “Well, setiap orang menganggap bulan sebagai dewi. Kami menganggap begitu. Bangsa Yunani menganggap begitu. Setiap orang menganggap begitu. Bah­kan orang-orang Kartago menganggap begitu. Dan bulan itu, katamu, milik bangsa Gaul, tapi dia sekarang sedang bersinar di atas Roma.” Dan si Gaul memandang Caesar dan berkata, “Bersinar di atas Roma, bulan? Itu pasti bulan berbeda.” Itulah semangat kebangsaan. Aku bakal mengatakan itu. Se­mangat kesukuan sejati. Itu mungkin terlihat agak naif bagi seseorang yang hidup di abad 20. Tapi itu ada untungnya. Itu ada untungnya. Orang-orang Gaul cepat-cepat menikahi orang-orang Romawi, dan menghasilkan bangsa Gallo-Romawi. Tapi se­bagian dari mereka juga menikahi bangsa Jermanik. Seluruh Utara Prancis adalah Jermanik. Dan aku ingin tunjukkan bahwa tak hanya Utara Prancis tapi semua kaum aristokrat Eropa, semua raja-raja dan ratu-ratu Eropa sejak masa pertama, adalah Jermanik. Bahkan bangsa Rusia. Siapa itu Rurik? Rurik adalah orang Jerman, atau orang Swedia. Sama saja. Siapa para penguasa Italia? Well, kaisar-kaisar Jerman tentunya. Siapa para penguasa Prancis? Dinasti Meroving, dinasti Caroling, dan lain-lain. Mereka semua keturunan dari orang Jerman, dari orang-orang Frank yang menaklukkan Prancis. Prancis dinamakan Prancis karena orang-orang Frank itu, dan orang-orang Frank adalah orang Jerman. Mereka Kristiani. Itulah kejatuhan mereka. Dengan kata lain, mereka tidak tetap murni Jermanik karena mereka Kristiani. Mereka seharusnya tidak menikah dengan orang-orang dari Selatan Eropa. Mereka seharusnya menikah dengan orang-orang dari Utara Eropa. Dan kau menjumpai beberapa kaisar terbesar Jerman yang menikah dengan orang asing. Contohnya, Otto II. Otto II menikahi Theophano, anak perempuannya Romanos II dari Bizantium, saudari dari Basilius, pembasmi bangsa Bulgaria, atau kita menyebutnya Basilius II. Theophano adalah saudarinya. Saudarinya yang lain, Anna, menikah dengan Vladimir dari Rusia yang baru di-Kristenisasi, dan Rusia menjadi Kristiani mulai hari itu, setidaknya secara ofisial. Pertanda Kekristenan adalah, mulanya, kawin campur. Dan aku tidak suka itu. Tentu saja, aku tahu ada beberapa kelompok Nazi di AS seperti kelompok Sword of Christ ini di Arkansas yang me­nyebut Alkitab tidak mendorong kawin campur. Alkitab tidak mendorong itu, barangkali. Alkitab tidak mendorong kawin campur Yahudi dengan non-Yahudi, dengan non-Yahudi secara agama. Tapi Alkitab tidak keberatan jika seorang Yahudi menikahi seorang Semit yang berkonversi ke Yudaisme. Dan kau menjumpai konvert-konvert ke dalam Yudaisme di masa Kristus dan sesudahnya. Siapa Timothy? Setengah Yunani, setengah Yahudi. Dan orang-orang ber­takwa ini ada banyak. Mereka menyebut diri mereka ber­takwa dalam Alkitab, Perjanjian Baru. Mereka setengah Yahudi, setengah Yunani, atau mualaf, orang-orang yang tinggal dekat sinagog, yang tidak dikhitan tapi tetap me­nyembah Yahweh. Dan ini, semua ini mempersiapkan Kristen. Itulah pendapatku tentang Kristen. Aku tidak menentang­nya. Aku tak bilang ingin menjauhkan orang-orang darinya. Jika mereka tak punya pilihan lain, biarlah mereka memeluk itu. Tapi aku berpikir, berdasarkan prinsip, itu tidak cocok bukan hanya dengan Sosialisme Kebangsaan, tapi juga dengan sikap apapun yang berpusat pada ras, berpusat pada bangsa dan ras. Untuk menjadi seorang nasionalis dan se­orang Kristiani, kau harus memelintir Kristen. Kau harus menganggapnya sebagai agama kebangsaan, seperti yang dilakukan bangsa Irlandia. Bangsa Polandia melakukannya, terlepas dari adanya Komunisme. Seperti yang dilakukan bangsa Spanyol. Dengan cara itu mereka baik-baik saja. Tak ada yang akan terjadi pada mereka. Tapi itu disebabkan oleh salah paham terhadap semangat Kristen, terhadap semangat Kristen yang telah datang kepada kita melalui legenda Kristus, mungkin bukan melalui Kristus historis, kalau memang benar—aku tidak bilang demikian, tapi sebagian orang berpikir demikian—bahwa Kristus historis sebetulnya adalah nasionalis Yahudi yang memerangi bangsa Romawi.

Robert Ambelain Tentang Kristen

[Aku ingin merekomendasikan tiga buku karangan Robert Ambelain.] Wanita Prancis meminjamkan mereka padaku. Mereka luar biasa, dan mereka lebih-lebih meyakinkan, dalam artian penulisnya bukan orang Yahudi. Dia orang Arya, tapi dia pro-Yahudi. Dia cendekiawan Ibrani yang sangat cakap. Dia menguasai bahasa Ibrani seperti aku menguasai bahasa Prancis, bahasa Inggris, atau bahasa Yunani. Dan dia seorang sejarawan. Dan terutama dia seorang Freemason derajat tinggi. Yang sebetulnya membuat dia kesal adalah antagonisme antara Kristen, khususnya Kristen Zaman Pertengahan, dan kaum Yahudi. Dia menyebut bahwa kata-kata “Biarlah darah-Nya ditanggungkan atas kami dan atas anak-anak kami” merupakan sebuah penyisipan. “Kaum Yahudi tak pernah mengatakan itu. Kenapa mereka diper­sekusi lantaran mengatakan itu padahal mereka tak pernah mengatakan itu?” Secara pribadi, aku tak peduli apakah mereka mengatakan itu atau tidak. Bagiku, itu tidak penting. Baginya, sosok Yesus adalah putera dari seorang agitator Yahudi anti-Romawi, dan Yesus sendiri merupakan agitator anti-Romawi dan bukan yang lain. Bukan guru agama apapun. Cuma seorang anti-Romawi yang dihukum mati oleh Romawi di atas salib. Well, benar belaka bahwa se­andainya dia betul-betul dihukum oleh kaum Yahudi ber­dasarkan hukum Yahudi, atas tuduhan penistaan lantaran menyebut dirinya Tuhan, dia tidak bakal disalib. Dia bakal dirajam. Kebiasaan Yahudi adalah perajaman, lapidasi, dan bukan penyaliban. Tentu saja dia tak pernah menyebut dirinya Tuhan. Dia selalu mengatakan, “Bapak dan aku”, “Ada hal-hal yang aku tidak tahu tapi Bapak tahu”. Tapi kalaupun dia menyebut dirinya Tuhan dan dia di­hukum oleh kaum Yahudi atas penistaan, dia disalib oleh Romawi. Dia dihukum oleh Romawi, bukan karena menyebut dirinya Tuhan tapi karena aktivitas perlawanan. Dia adalah maquisard Yahudi. Menurut Ambelain, ayah Yesus dan kakek Yesus juga seorang maquisard. Kakeknya, Ezekias, di­duga disalib di bawah pemerintahan Herod. Nah, menurut Ambelain, Paulus bukanlah orang Yahudi remeh-temeh. Dia seperempat Yahudi dan tiga perempat Idumea, dengan kata lain Arab, dari dinasti Herod. Dia adalah cucu dari Herod Agung melalui ibunya, Cypros. Dan dia tidak termasuk geng Arab ataupun geng Yahudi. Dia dikhitan. Dan dia dikhitan ketika sudah lanjut usia. Dengan kata lain, dia tidak dikhitan sewaktu bayi. Dia tak punya tempat di kala­ngan Yahudi, dan kaum Yahudi tidak menyukainya. Mereka tidak menyukai para neofit yang datang ketika mereka ber­tambah tua dan mungkin alasannya bukan keagamaan. Jadi dia mencoba mendirikan sektenya sendiri. Menurut Ambe­lain, dia mengambil sosok agitator Yahudi itu dan menjadi­kannya tokoh mistis, menambahkan padanya semua karak­teristik dewa-dewa vegetasi lampau, Mithra, Osiris, Adonis, dan lain-lain. Murid-murid Yesus menyebar rumor bahwa dia dibangkitkan, jadi separuh pekerjaan selesai. Dia hanya perlu berkata, “Ya, dia dibangkitkan, dan dia bangkit dari kematian untuk menyelamatkan dunia.” Dia menjadikannya tokoh dunia, padahal dia bahkan bukan tokoh Yahudi. Dan dengan melakukan itu, dia menyebar pengaruh Kaum Yahudi ke seluruh dunia. Kau menjumpai seorang gadis Arya sempurna, seorang Jerman bernama Ruth atau bernama Sarah, atau kau menjumpai seorang Inggris bernama David. Kau menjumpai seorang Inggris, Isaac Newton, yang disebut Isaac. Apa semua itu? Apa itu? Kau menjumpai seorang pria yang disebut Johannes. Johannes adalah Jokannan dalam bahasa Ibrani. Jokannan adalah John. Semua telah berubah. Setelah menyebarkan Kristen, setelah penerimaan Kris­ten sebagai agama negara oleh kaisar-kaisar Romawi sesu­dah Konstantin, rupanya pada saat itulah injil-injil yang kita kenal hari ini ditulis. Mereka belum punya injil-injil ini. Tidak ada manuskrip injil apapun kecuali satu atau dua, yang mereka sebut Apokrifa. Dan bahkan saat itu, di dunia ini tidak ada manuskrip yang sezaman dengan Kristus. Injil-injil per­dana adalah dari abad keempat. Injil-injil yang kita miliki, Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes (well, kenyataannya ada nama-nama lain) bermula dari abad keempat. Injil-injil yang biasa digunakan oleh Kristiani sebelum abad tersebut, injil-injil itu dibawa kembali ke Konstantinopel atas perintah Konstantin. Dalam paket-paket berisi lima puluh. Dan paket-paket berisi lima puluh versi baru diberikan kepada mereka, versi baru yang kita miliki hari ini. Dan ada hal-hal aneh di dalamnya. Sebagai contoh, dalam injil Matius, Kristus dilahirkan di bawah pemerintahan Herod. Herod mati pada tahun 4 SM. Berarti, Yesus dilahir­kan sebelum 4 SM. Mungkin 5 atau 6 atau 7 SM. Menurut Lu­kas, dia dilahirkan di bawah kehakiman Quirinius Romawi. Quirinius memerintah Palestina sebelum Pilatus, dengan kata lain sekitar 6 M. Artinya, jika Yesus dilahirkan pada 4 SM, dia bakal berumur sekurangnya 10 tahun. Yang mana tanggal lahir yang benar? Mengapa satu bilang ini dan satu bilang itu? Intinya, Ambelain ini memeriksa injil-injil, versi kanonis dan versi apokrifal yang bertahan dalam terjemahan Koptik, dalam terjemahan Slavonik, terjemahan Etiopia, dalam semua jenis terjemahan. Dia memeriksa mereka semua. Dan itu menghasilkan tokoh Yesus yang sama sekali bukan tokoh klasik. Kaum Yahudi adalah orang-orang di balik institusi Kris­ten. Aku sungguh yakin akan itu. Kristen adalah alat untuk mengebiri ras. Ada kontradiksi antara prinsip-prinsip Kristen dan perilaku prajurit. Mereka tak bisa beriringan. Jika kau harus mengasihi musuhmu seperti dirimu sendiri, kau tak bisa bertarung. Dan orang-orang Kristen awal tidak berjuang untuk Romawi. Tapi ada kompromi. Ketika Konstantin ingin Kristen menjadi agama negara, dia berkata, “Panggil para uskup.” Para uskup berkata, “Baiklah, kami setujui itu, tapi kami harus setuju untuk berjuang untukmu. Berjuang untuk Kekaisaran Romawi tidak akan lagi sebuah pelanggaran.” Itu adalah kompromi, kompromi tak sehat. Semua kompromi tidaklah sehat. Kau tidak boleh berkompromi, tidak boleh berkompromi. Yesus lemah-lembutnya kaum Kristiani, Yesus lemah-lembut klasik tak pernah eksis. Aku percaya pada teori Ambelain. Yesus asli adalah orang Yahudi yang berjuang untuk rasnya sendiri, pria yang sangat terhormat. Aku tak punya keberatan apa-apa terhadapnya. Bahkan aku lebih suka dia daripada citra klasik Yesus. Dia tak menginginkan keselamatan seluruh dunia. Dia ingin negerinya keluar dari Kekaisaran Romawi. Aku memahami itu. Aku sungguh me­mahami perjuangannya. Tapi perjuangan itu tidak menarik umat manusia. Itu menarik kaum Yahudi. Dan kaum Yahudi tentu saja menemukan bahwa cara terbaik untuk memper­sembahkan dia kepada umat manusia adalah memberinya kepribadian mistis, kepribadian perdamaian dan apa yang manusia inginkan, dan mengasimilasikan kualitas-kualitas­nya dengan kualitas dewa-dewa yang sudah ada. Nah pada 1.400 SM ada sebuah agama, masih eksis di masa Kristus, yakni agama Mithra, dewa Irania. Bahkan, kata-kata yang dinisbatkan pada Kristus pada saat konse­krasi roti dan anggur, “Barangsiapa tidak makan dagingku dan minum darahku tidak mempunyai hidup yang kekal”, kita menjumpai replika sama persis dalam kultus Mithra 1.400 tahun sebelumnya: “Barangsiapa tidak makan dagingku dan minum darahku tidak mempunyai hidup yang kekal”. Dan ini ditemukan oleh Tertullian, bapa gereja Kristen Latin di abad 2. Dan Tertullian tentu saja menemukan penjelasan. Dia harus menemukan penjelasan. Bagaimana mungkin Kristus dan Mithra berbicara bahasa yang sama? Dia berkata, “Oh, tidak, itu bukan fakta. Kristus adalah benar, tapi iblis memasukkan kata-kata ini ke dalam kultus Mithra 1.400 tahun sebelumnya sebagai olok-olok terhadap apa yang suatu hari kelak menjadi agama Kristen.” Iblis yang mela­kukannya. Itu penjelasan. Itu bukan penjelasan menurutku, bagaimanapun juga. Kenyataannya, orang-orang Kristen-lah yang mengambil kata-kata ini dan menerapkannya pada tuan mereka sendiri. Tanpa itu, tuan mereka tidak bakal menjadi tuhan. Dia hanya akan menjadi manusia. Dan penya­liban bakal memiliki makna yang sangat berbeda. Penyalib­an: dia dihukum atas pemberontakan terhadap Romawi, itu saja. Orang-orang Kristen menjadikan dia kambing hitam pengorbanan. Dia memikul dosa-dosa dunia. Penerjemahan atas seizin The Savitri Devi Archive (savitridevi.org).
Judul asli : Religion<i=1aKefGnsqlxjdzm1Rxx_wGoGVqEx2jtHW 646KB>Religion
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Desember 2022
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Mengapa Aku Menolak Agama Universal dan Memeluk Nasionalisme Hindu Arya

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2022)