Apa kau pernah baca salah satu dari novel-novel terlaris ini? Maksudku jenis di mana pahlawannya adalah seorang pesolek Amerika yang jatuh cinta pada seorang puteri kerajaan dari Eropa yang sedang bepergian dengan nama alias?
Suatu hari, musim panas lalu, aku pergi ke Pittsburgh—well, aku pergi ke sana untuk urusan bisnis.
Gerbongku untungnya diisi oleh jenis orang-orang yang biasa terlihat di gerbong-gerbong. Kebanyakan dari mereka adalah wanita-wanita dalam gaun sutera cokelat berpotongan kuk persegi, bersisipan renda, dan berkudung totol-totol, yang tak ingin jendela-jendela dinaikkan. Terus ada pria-pria dalam jumlah biasa yang terlihat seolah sedang ada hampir suatu urusan dan akan pergi hampir ke suatu tempat. Beberapa penstudi sifat manusia bisa mengamati seorang pria di sebuah gerbong Pullman dan memberitahumu asalnya, pekerjaannya, dan kedudukannya dalam hidup, bendera maupun sosial; tapi aku tak pernah bisa. Satu-satunya cara aku bisa menilai teman seperjalanan secara tepat adalah ketika kereta ditahan oleh para perampok, atau ketika dia meraih handuk terakhir pada waktu yang sama denganku di ruang ganti gerbong tidur.
Portir datang dan menggosok kumpulan jelaga di ambang jendela ke lutut kiri pantalonku. Aku menyekanya dengan rasa menyesalkan. Suhu delapan puluh delapan. Salah seorang wanita berkudung totol-totol meminta dua ventilator lain ditutup, dan berbicara nyaring tentang Interlaken. Aku bersandar malas di kursi No. 7, dan melihati kepala mungil, hitam, botak yang kelihatan di atas sandaran No. 9 dengan rasa penasaran hangat-hangat kuku.
Tiba-tiba No. 9 melempar sebuah buku ke lantai antara kursinya dan jendela, dan saat kutengok ternyata itu adalah “The Rose-Lady and Trevelyan”, salah satu novel terlaris masa ini. Dan kemudian si kritikus atau Filistin, yang manapun dia, membelok kursinya ke arah jendela, dan aku langsung mengenalinya sebagai John A. Pescud, dari Pittsburgh, wiraniaga keliling dari sebuah perusahaan kaca pelat—seorang kenalan yang sudah dua tahun tidak kujumpai.
Dalam dua menit kami sudah berhadap-hadapan, berjabat tangan, dan menamatkan topik-topik seperti hujan, kemakmuran, kesehatan, kediaman, dan destinasi. Politik bisa saja menyusul selanjutnya; tapi aku tidak sesial itu.
Andai saja kau kenal John A. Pescud. Dia terbuat dari bahan yang para pahlawan seringkali tidak cukup beruntung untuk terbuat darinya. Dia pria mungil dengan senyum lebar, dan sebuah mata yang seolah terpaku pada bintik merah kecil di ujung hidungmu. Aku tak pernah lihat dia mengenakan kecuali satu jenis dasi, dan dia percaya pada gagang manset dan sepatu kancing. Dia sekeras dan setulen apapun yang pernah dihasilkan oleh Cambria Steel Works; dan dia percaya bahwa begitu Pittsburg mewajibkan smoke-consumer, St. Petrus akan turun dan duduk di kaki Smithfield Street, dan mempersilakan orang lain menunggui gerbang di cabang surga di atas sana. Dia percaya kaca pelat “kami” adalah komoditas paling penting di dunia, dan bahwa ketika seseorang berada di kampung halamannya, dia mesti sopan dan taat hukum.
Pada saat berkenalan dengannya di Kota Malam Seharian, aku tak pernah tahu pandangannya tentang kehidupan, romansa, sastra, dan etika. Setiap bertemu, kami menjelajahi topik-topik lokal, dan kemudian berpisah usai menikmati Chateau Margaux, rebusan Irlandia, keik flanel, puding cottage, dan kopi (hei, di sana!—dengan susu terpisah). Sekarang aku akan tahu lebih banyak tentang pikiran-pikirannya. Bahkan, dia bilang padaku bisnis mengalami kemajuan sejak konvensi-konvensi partai, dan bahwa dia akan turun di Coketown.
“Nah,” kata Pescud, menggerak-gerakkan buku buangannya dengan ujung sepatu kanan, “apa kau pernah baca salah satu dari novel-novel terlaris ini? Maksudku jenis di mana pahlawannya adalah seorang pesolek Amerika—kadang bahkan dari Chicago—yang jatuh cinta pada seorang puteri kerajaan dari Eropa yang sedang bepergian dengan nama alias, dan membuntutinya ke kerajaan atau kepangeranan ayahnya? Kutebak kau sudah pernah. Mereka semua serupa. Kadang hidung belang pelancong ini adalah seorang koresponden suratkabar Washington, dan kadang seorang Van Fulan dari New York, atau seorang makelar gandum Chicago berharta lima puluh juta. Tapi dia selalu siap untuk menerobos ke dalam baris raja suatu negara asing yang mengirimkan ratu-ratu dan puteri-puteri mereka untuk mencoba kursi-kursi mahal baru di Empat Besar atau B dan O. Rasanya tidak ada alasan lain di dalam buku itu untuk keberadaan mereka di situ. “Well, orang ini mengejar rumah pemalas kerajaan, seperti kukatakan, dan mencaritahu siapa perempuan itu. Dia menemuinya di corso atau strasse suatu pagi dan memberi kita sepuluh halaman percakapan. Perempuan itu mengingatkannya akan perbedaan kedudukan mereka, dan itu memberinya kesempatan untuk menyisipkan tiga halaman padat tentang raja-raja Amerika tanpa mahkota. Jika kau ambil pernyataan-pernyataannya dan menyetel mereka dengan musik, dan lantas mencabut musiknya, mereka akan terdengar persis seperti salah satu lagunya George Cohan.
“Nah,” kata Pescud, menggerak-gerakkan buku buangannya dengan ujung sepatu kanan, “apa kau pernah baca salah satu dari novel-novel terlaris ini? Maksudku jenis di mana pahlawannya adalah seorang pesolek Amerika—kadang bahkan dari Chicago—yang jatuh cinta pada seorang puteri kerajaan dari Eropa yang sedang bepergian dengan nama alias, dan membuntutinya ke kerajaan atau kepangeranan ayahnya? Kutebak kau sudah pernah. Mereka semua serupa. Kadang hidung belang pelancong ini adalah seorang koresponden suratkabar Washington, dan kadang seorang Van Fulan dari New York, atau seorang makelar gandum Chicago berharta lima puluh juta. Tapi dia selalu siap untuk menerobos ke dalam baris raja suatu negara asing yang mengirimkan ratu-ratu dan puteri-puteri mereka untuk mencoba kursi-kursi mahal baru di Empat Besar atau B dan O. Rasanya tidak ada alasan lain di dalam buku itu untuk keberadaan mereka di situ. “Well, orang ini mengejar rumah pemalas kerajaan, seperti kukatakan, dan mencaritahu siapa perempuan itu. Dia menemuinya di corso atau strasse suatu pagi dan memberi kita sepuluh halaman percakapan. Perempuan itu mengingatkannya akan perbedaan kedudukan mereka, dan itu memberinya kesempatan untuk menyisipkan tiga halaman padat tentang raja-raja Amerika tanpa mahkota. Jika kau ambil pernyataan-pernyataannya dan menyetel mereka dengan musik, dan lantas mencabut musiknya, mereka akan terdengar persis seperti salah satu lagunya George Cohan.
Judul asli | : | Best-Seller<i=1MdFDJG75VeAJyNxnwxMTk-B3r6kE7i5y 329KB>Best-Seller (1909) |
Pengarang | : | O. Henry |
Penerbit | : | Relift Media, September 2022 |
Genre | : | Romansa |
Kategori | : | Fiksi, Cerpen |